“Kamu itu terlalu bebas, Rana.” Hardik Dimas ketika mereka berdua tengah bertengkar di ruang tamu. Dimas, adalah kakak pertama sekaligus keluarga terakhir yang dimiliki Rana dalam hidupnya. Orangtua mereka telah meninggal sewaktu mereka masih SMA. Dimas dan Rana terpaut 2 tahun, membuat Rana tak canggung untuk menganggap Dimas sebagai kakak atau seperti teman sebaya. Selama mereka ditinggal Ayah dan Ibu, mereka hidup saling melindungi, saling mengasihi dan saling menjaga satu sama lain. Meskipun masih ada saudara dari Ayah dan Ibu, tak membuat Dimas selalu bergantung kepada mereka.
Dulu, perempuan cantik yang bernama lengkap Zahrana Khoirunnisa itu adalah perempuan lembut, penuh kasih, dan selalu ramah. Namun seiring berjalannya waktu segala cemoohan dan bully dari teman-temannya menjadikan Rana menjadi pribadi pendendam, pekerja keras, dan lebih berani. Ya Rana yang sekarang berbeda dengan yang dulu. Tidak ada kelembutan yang dulu menjadi kebanggaan. Rana sudah tak mau diinjak-injak lagi. Saatnya membuktikan bahwa cemoohan itu akan berubah menjadi decak kagum.
“Terlalu bebas apanya, sih, Kak? Jangan lebai. Apa-apa dikomentarin. Aku ikut taekwondo yang kebanyakan pesertanya ikhwan, kakak protes, aku ikutan panjat tebing kakak marah, aku ikutan ini itu–yang kebanyak ikhwan disitu—kakak protes juga! Mau kakak apa, sih?” Rana melempar majalah—yang isinya sebagian besar cerpen—ke atas meja sambil beranjak.
Dimas, begitu merindukan kelembutan adiknya yang dulu sempat ada. Namun sekarang, Dimas mengenal Rana menjadi akhwat urakan meskipun hijab panjangnya tak pernah lepas dari kepalanya. Padahal cara berpakaian sang adik sangat menunjukkan kepribadiannya sendiri. Namun, Rana jauh dari semua itu.
“Kakak rindu kamu yang dulu, Rana. Kamu yang selalu lembut kalau menghadapi apapun. Kamu sopan, kamu ramah. Sekarang? Kamu jauh dari itu semua.” Dimas tak kalah menyentak ketika sang adik balas berkacak pinggang. Mukanya merah padam ketika sang kakak berkata sepenggal kalimat yang membuatnya teringat lagi kepada setiap kejadian cemoohan yang membuat hatinya sakit. “Rana yang dulu udah nggak ada, kak. Hilang nggak tau kemana. Aku, sekarang bukan lagi Rana yang selalu patuh dan tunduk. Aku realistis kak. Jangan terlalu baik jadi orang, diinjak-injak baru tau rasa. Aku bagaimana perlakuan orang lain terhadapku. Kalau mereka baik, aku akan balas baik. Kalau orang itu buruk, aku akan lebih buruk!” Rana berbicara terus terang dengan dada naik turun. Wajahnya merah padam menahan emosi yang hampir meledak. Kedua tangannya mengepal kuat hingga buku jarinya memutih.
“Istigfar, dek. Sejak kapan kamu seperti ini? Kakak udah kehilangan Rana yang dulu. Kamu kenapa?” Dimas mengelus dada seraya menghembuskan nafas kasarnya. “Aku mau ke kampus. Assalaamu’alaykum!” “Tunggu Rana! Rana..!!” Tanpa menghiraukan keluhan kakaknya, Rana melenggang meninggalkan kakaknya yang meraup wajahnya frustasi. “Wa’alaykumussalaam.”
Pertengkaran ini selalu terulang. Sudah seperti kegiatan rutin setiap hari. Namun, selalu buntu bahkan berakhir dengan adiknya pergi tanpa mengakhiri masalah. Masalahnya adalah pribadi Rana yang berubah 180 derajat. Rana yang kalem dan tenang berubah menjadi Rana yang acak-acakan dan terlalu bebas. Terlalu bebas disini bukan berarti Rana yang terbawa dengan pergaulan bebas meliputi perbuatan kriminal seperti meminum minuman haram, zina dan tindak kejahatan lain. Bukan, bukan itu. Ada hati Rana yang terluka hingga dia berubah menjadi perempuan yang selalu berontak. Dan itu efek dari apa? Ya. Jawabannya adalah akibat cemoohan dan bullying.
Menyandar pada pintu mobil sebelah kanan, Rana menangis tersedu hingga nyaris tak ada suara. Saking sesaknya, Nanda menutup mulutnya dengan punggung tangan. Sudah 5 menit Rana berdiri disini demi mengeluarkan seluruh rasa sakitnya dengan cara menangis. Apalagi? Perempuan memang begitu. Menangis adalah cara ampuh agar hatinya terasa lega dan plong. Pipinya masih basah karena air mata itu masih terus saja mengalir. Bahkan matanya sudah memerah dan sembab. Tidak tahu kemana alas bedak yang tadi pagi sudah ia ulaskan ke pipinya yang putih, kini berubah merah karena dari tadi menangis.
Seorang lelaki yang dari tadi berdiri tidak jauh dari Rana merasa iba melihat adik sahabatnya menangis kesakitan. Dia diam, memberi ruang dan waktu kepada Rana untuk menangis sesuka hati karena begitulah yang ia ketahui tentang perempuan yang tengah sakit hatinya. Menangis adalah jalan ninja alih-alih berfikir mencari solusi. Itu adalah cara lelaki, dan Rana adalah seorang perempuan yang tetap saja rapuh.
5 menit, hingga 10 menit kemudian Rana sudah tenang. Waktu yang pas untuk dia mendekati Rana namun bukan untuk bertanya perihal kejadian tadi. Melainkan ia hanya perlu bersikap seolah tidak tau apa-apa. “Assalaamu’alaykum Rana,” lelaki itu datang dengan kunci mobil ditangannya. Rana berjenggit kaget, kemudian dengan kasar ia mengusap pipinya yang memerah. “Wa’alaykumussalaam. Eh Kak Gilang.” “Dimasnya ada?” Tanyanya hati-hati. “Oh, Kak Dimas ada didalam. Masuk aja. Aku permisi ya mau ke kampus.” Rana beranjak memasuki mobil setelah berpamitan pada lelaki bernama Gilang seraya tersenyum kaku. Gilang mengangguk. Mobil Rana melaju dengan cepat membelah jalanan yang mulai macet di pagi pukul 09.00 WIB ini.
Rana berjalan cepat untuk mencapai tujuannya saat ini. Kafe dekat kampus. Temu janji dengan Andi tepat pukul 13.00 WIB di kampus itu. Seperti biasa, Rana meminta Dina untuk menemaninya bertemu Andi. Ada hal yang ingin Andi bicarakan namun begitu tak tertebak tapi terlihat penting dilihat dari rentetan hurup terangkai kata di aplikasi whatsappnya. [Andi Pradana : Assalaamu’alaykum Rana, ada yang ingin aku bicarakan. Penting.]
Setelah tempat yang pas untuk mengobrol telah ditentukan, disinilah mereka duduk berdua, berjarak, tanpa pernah bersentuhan atau melakukan hal-hal lain yang lebih dari itu. Tidak ada pacaran diantara mereka, namun kedekatan mereka sudah menunjukkan bahwa mereka seperti menjalin hubungan tanpa status.
“Ada apa, Di?” Rana membuka mulutnya terlebih dahulu, memecah keheningan meskipun di sekeliling mereka ramai pengunjung. “Begini, Rana. Maafkan aku.” Nanda mendongak menatap lelaki yang kini memancarkan raut wajah menyesal dari sorot matanya yang sendu. Lelaki tinggi, gagah dan sopan dengan mata teduh. Lelaki yang selama ini selalu memberikan angin segar tentang bagaimana indahnya rumah tangga islami yang sakinah, mawaddah wa rohmah. Tentang keluarga kecil bahagia dengan tiga anak lucu-lucu juga saleh dan salehah. Bayangan rumah tangga yang selama ini ia rindukan setelah Ayah dan Ibu Rana pergi ke alam berbeda. Dialah orangnya. Andi Pradana. Teman satu angkatan namun berbeda jurusan, tapi sama-sama terlibat di rohis. Andi salah satu anggota yang selalu digadang-gadangkan menjadi suami idaman. Namun, harapan itu seketika menjadi pudar hanya melihat gelagat aneh Andi hari ini.
“Kenapa Di?” “Maafkan aku. Aku tidak bisa melanjutkan impian kita membina rumah tangga samawa. Orangtuaku tidak setuju Rana. Maafkan aku!” Andi menunduk tajam. Hilang sudah kesan tegas dan gagah Andi setiap kali membina adik tingkat di rohis. Hati ini luntur, tergantikan dengan dirinya yang tak berdaya.
Andi Pradana, seorang anak bungsu dari keluarga terpandang dan kaya raya. Yang Rana tau, keluarga Andi tak begitu agamis, namun masih tetap menjalan syariat agama dengan baik. Namun urusan dunia masih menjadi prioritas keluarganya. Tapi, untuk Andy sendiri dia berbeda. Katanya, dia masuk rohis karena di rohis sangat menyenangkan dan membuatnya mendapatkan ikhwah yang selalu membawanya terhadap hal positif.
Rana menunduk tajam, kemudian mendongak menatap langit-langit kafe demi air matanya tidak berjatuhan. Ia menggigit bibir bawah sekuat tenaga. Kejadian tadi bersama Kak Dimas benar-benar membuatnya selalu stress, ditambah kabar dari Andi benar-benar membuat hatinya patah sampai remuk menjadi abu, dan hilang ditiup angin.
“Oh begitu?” Tanpa diduga-duga, respon Rana diluar ekspektasi Andi. Rana tenang namun jelas rasa kecewa menggelayut dalam hatinya, terlihat pula dari matanya yang berkaca-kaca namun tetap tersenyum. Siapa Rana? Anak yatim piatu yang urakan dan kasar. Berbeda dengan akhwat lain yang panjang hijabnya, lembut tutur katanya dan sopan adabnya. Rana pasti kalah.
“Maafkan aku, Rana.” Andi semakin menunduk dalam. “Tidak usah meminta maaf, Di. Anta benar, Anta sudah betul karena berbakti kepada kedua orangtuamu dengan cara patuh terhadap rasa keberatannya menolakku sebagai menantunya. Aku ikhlas. Semoga cocok dan bahagia dengan pilihan ibumu. Aku pamit, ya. Assalaamu’alaykum.” Rana beranjak tanpa menghiraukan Dina yang mendongak hingga matanya mengikuti arah Rana berjalan. Dia keluar kafe dengan terburu-buru.
Mengekori dari belakang sambil berlari kecil, Dina meninggalkan kafe setelah menyimpan selembar uang berwarna biru di meja.
Bersambung..
Cerpen Karangan: Latifah Nurul Fauziah ig: @ipeeh.h
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 18 Mei 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com