Sebelum mendapatkan hatiku. Dia gencar memberi perhatian lebih. Seperti selalu memberi selamat setiap pagi, siang, sore, dan malam. Selain itu, dia juga menawarkan diri sebagai tempat curhat. Katanya, supaya beban hidupku sedikit berkurang, setidaknya berceritalah padanya karena dia siap menjadi sandaran di kala beban yang kurasa cukup berat.
Sebenarnya aku kurang nyaman untuk terbuka dengan orang lain. Namun, dia sendiri yang mempersilakan. Akhirnya kebiasaan curhat pun tak bisa dihilangkan.
Dia benar-benar serius untuk menjadi pacarku. Tidak sehari pun dia lupa memberi kabar dan mengucapkan kata-kata manis untuk membuatku tersenyum. Setiap hari Minggu juga, dia selalu mengirimkanku paket yang berisi cokelat. Hal itu merupakan salah satu cara bujuk rayunya agar aku mau menerima ajakannya untuk menjadi sepasang kekasih.
Beberapa bulan pendekatan. Dia memberanikan diri mengajakku makan malam romantis di dekat danau dengan pemandangan yang memanjakan mata. Usai selesai makan, betapa terkejutnya aku saat dia mengatakan, “Renita Sukma Fillia, gadis cantik yang sulit diluluhkan hatinya. Semoga kali ini kamu mau menerimaku. Will you be my girlfriend?”
Satu bulan kami menjalani hubungan, semuanya baik-baik saja. Bahkan dia tak sedikitpun melupakan kebiasaannya mengirim pesan manis dan ucapan selamat.
“Sayang, aku mau curhat. Kemarin Ibuku berantem—” belum juga aku menyelesaikan ucapanku. Dia langsung memenggalnya begitu saja. “Cukup! Aku capek dengerin kamu cerita tentang orangtuamu terus!” Awalnya aku memaklumi saat dia berkata demikian.
Namun, lambat laun dia mulai menunjukkan sikap malas mendengarkanku secara terang-terangan. Seringnya dia berpura-pura teleponan dengan seseorang agar terhindar dari curhatanku.
Sebenarnya aku tak masalah jika memang dia tak ingin mendengarkan, tetapi paling tidak berujarlah jika mulai bosan mendengar keluh kesahku.
—
Hari ini aku dan doi mau makan bareng di kafe milik temannya yang kebetulan teman semasa SMA, dia perempuan. Siang kami berangkat. Sampai di sana aku disapa hangat oleh teman si doi. Kami pun duduk bersama satu meja.
Namun, entah mengapa aku merasa ganjal dengan mereka berdua. Pembicaraan mereka terlalu aneh. Seperti terselip sesuatu setiap kali doi berbicara. Aku juga heran sebenarnya, yang jadi pacar doi itu aku atau temannya. Dari tadi aku jadi obat nyamuk mereka berdua.
Memasuki sesi makan bersama pun doi enggak peduli denganku. Padahal, biasanya dia yang paling ribet kalau aku makan. It’s okay, aku masih sabar. Akan tetapi, lama-lama kesal juga. Mereka justru bercanda bersama yang jelas-jelas ada aku di antara mereka. Kelamaan melihat mereka seperti itu, membuatku gerah. Aku langsung pamit ke toilet sembari membawa tas. “Iya sana.” What? Ini beneran aku dicuekin? Argh … mending aku pulang ke rumah. Bodoamat sama mereka berdua.
Sesampainya aku di rumah, aku pun merebahkan tubuh. Kemudian membuka ponsel untuk mengecek apakah doi menanyakan kabar. Namun, sayang sekali dia tak mengirim pesan apa pun. Baiklah, kalau sudah seperti ini lebih baik aku abaikan saja dia selamanya. Terserah mau dia selingkuh atau apa pun itu. Aku tidak mau pusing mikirin doi yang berubah sifatnya kek, wujudnya kek, atau apa pun itu.
Seminggu sudah aku dan doi tak lagi kontakan. Enggak tahu kenapa aku merasa biasa saja. Toh, apanya juga yang harus disesalkan. Biasanya juga aku sendirian. Tanpa keluarga, teman dan doi. Jadi, aku baik-baik saja karena aku wanita kuat. So, enggak perlu takut buat ngejalanin hidup sendiri lagi. Walaupun … sebenarnya kadang aku merasa kesepian.
Daripada di rumah gabut dan kesepian. Aku berniat untuk ke kafe langgananku dengan doi—ralat, mantan doi.
Sesampainya di kafe, mataku menatap seluruh penjuru kafe. Banyak yang membawa pasangan masing-masing. Sedangkan aku? Yah aku berdua. Berdua dengan bayanganku. Miris, ya? Tidak juga, sih. Niatku ke kafe kan buat ngilangin rasa gabut, jadi aku tetap biasa saja melihat pemandangan mesra disekelilingku.
Okay, Ca. Time to find a seat. Sebelum aku melangkahkan kakiku mencari tempat kosong. Mataku tak sengaja menangkap dua sejoli yang sangat kukenal.
Jadi gini, ya. Rasanya diduakan. Enggak sakit, sih. Cuma kecewa sama nyesel aja. Kenapa enggak dari dulu aja aku tolak mentah-mentah pas dia nembak aku. Bodoh kamu, Ca!
Kamu harus tenang, Ca. Ayo tarik napas, embuskan perlahan. Aku meraih ponsel yang berada di tas. Kemudian menelepon seseorang. “Halo? Lagi di mana?” Amarah yang bergejolak berusaha kuredam supaya suaraku terdengar biasa saja. “Aku lagi di rumah aja, tumben nelepon? Bukannya lagi marah?” jawabnya di sebrang sana. Dapat kulihat kalau dia menjawabnya dengan wajah malas-malasan. Dari nada bicaranya juga dapat kutangkap kalau dia malas menjawabnya. “Oke, selamat bersenang-senang dengan teman cewekmu.” Aku tersenyum kecut setelah mengucapkan kalimat tersebut.
Doi terlihat mencari-cari keberadaanku. Menoleh ke penjuru arah, sampai akhirnya dia bisa melihatku berdiri mematung dengan tatapan sayu. Aku melambaikan tangan, lalu pergi dari tempat itu. Tempat di mana aku bisa melihat kebusukan orang yang awalnya aku kagumi karena usaha kerasnya meluluhkan hatiku.
Aku tidak peduli sama sekali dengan doi yang terus memohon-mohon untuk diberi kesempatan. Dia terus berteriak di depan rumah, tetapi aku abaikan. Gila saja dia minta kesempatan lagi. Sebelum kami menjalin hubungan sepasang kekasih, dia sudah berjanji untuk tidak pernah berpaling sedikitpun. Namun, apa ini? Dia sendiri yang mengingkari.
“Ca! Aku mohon. Kamu tahu kan betapa susahnya aku mendapatkan hatimu? Tolong beri aku kesempatan sekali lagi, Ca! Aku mohon!” Apa-apaan dia. Ish! Geramnya aku.
“Kamu juga yang bodoh, udah tahu dapetin aku susah malah selingkuh. Kesempatan? Enggak, ya. Sampai sini aja. Memberi kesempatan kepada pembohong kaya kamu sama aja kaya memberi peluang buat hatiku sakit lagi!” Dadaku serasa menggebu, tak mampu membendung kekesalanku selama ini.
“Apa semua yang aku lakuin enggak berarti di matamu, Ca? Semua Ca?” Iris cokelat gelap matanya menatap lekat, tetapi kubalas tatapannya dengan dingin. “Enggak, kamu ingat janjimu dulu, kan? Jadi, enggak ada lagi hubungan antara kamu dan aku lagi. Kita putus! Jadi, tolong pergi dari hadapanku. Aku muak lihat wajahmu!” teriakku berapi. Aku berlari ke kamar memungut boneka teddy beserta tas dan barang-barang lainnya yang doi beri. Lantas kulempar semua itu ke hadapan si doi. “Ingat! Jangan kembali lagi dan jangan memohon-mohon lagi!” Aku membalikkan badan hendak kembali ke rumah.
“Ca!” Aku berhenti sejenak, ingin mendengar apa yang akan diucapkan untuk terakhir kalinya.
“Semoga selalu bahagia.”
Aku tak mengindahkannya. Buru-buru masuk rumah lalu ke kamar. Di atas ranjang adalah tempatku berkeluh kesah. Mengeluarkan air mata sebanyak mungkin untuk menuntaskan rasa sesak di dadaku hari ini.
Kisah cintaku dengannya sudah berakhir. Tak ada lagi hubungan asmara yang menggelora di hati. Hanya ada luka yang tak kunjung terobati, kecuali waktu mempercepat perguliran. Semuanya terasa kosong saat hati tak juga bertuan. Namun, aku sadar. Cinta tak selamanya membahagiakan, juga tak selamanya menyedihkan. Mungkin kali ini nasibku belum beruntung. Entah jika lain waktu. Barangkali saja ada hati yang menungguku untuk mengisi kekosongannya.
Kadang berharap untuk menghibur diri lebih baik ketimbang menyumpah serapah keadaan.
Sudut_kamar Subah, 10 Mei 2021.
Cerpen Karangan: Sudut_kamar Blog / Facebook: Mairoh Sekadar memberanikan diri untuk mengunggahnya. Soalnya sudah terpendam satu tahun lalu.