Lembayung kuning yang tersohor paling dinanti orang orang patah hati kian gencar memancar indahnya. Sedangkan bagiku, melihatnya meraba ingatan lama. Setumpuk bait bait prosa menjejal ingin diaksarakan. Ingin sebatas kutuangkan nada nada ini. Nada nada sumbang yang mengalun di pelataran hati yang sedang tak tentu arah. Namun tas yang kusampirkan hanya berbekal air mineral dan dua potong baju juga celana panjang. Handphone pun kubiarkan mati dalam genggaman, seusai kukeluarkan kartu dan membelahnya menjadi dua.
Sekarang aku tak tau kemana kaki ini akan membawaku. Hanya berbekal naluri dan seutas keinginan bahwa saat ini aku, tak ingin pulang ke rumah.
Raut senja semakin mengepakkan eloknya, tatkala pendar kekuningan membumi seluruh alam. Mataku terpaku pada semburat elok penggiring malam itu. Teringat kejadian dimana luka itu terjadi. Saat dengan mata kepala sendiri, kusaksikan pergumulan penuh nafsu itu. Cumbuan layaknya sepasang kekasih yang telah lama terpisah dan baru dipertemukan kembali. Sedang aku, yang terkhianati, terpaku pada sebongkah pintu yang terbuka. Aku terpaku pada beberapa saat, sebelum akhirnya sebuah suara kembali menarikku dan menyeretku pada sebuah kenyataan yang mesti kusaksikan pahitnya.
“Lintang, i.. ini tidak seperti yang kamu lihat..”
Mataku kian nanar memindai sekitar. Kutata kembali rasa yang berkecamuk ini. Mencoba meyakinkan diri bahwa semua tidak harus selalu seperti yang diinginkan. Bukan tak jarang, semesta memberi tahu kita pada sesuatu yang semestinya tidak kita miliki, yang konon katanya, barangkali, sesuatu itu kurang baik untuk diri. Meski tak jarang pula dengan kejutan kejutan menyakitkan.
Bahkan ketika hati ini mulai menerima kesakitan yang digoreskan gadis mata bulan itu, malam harinya aku kembali dikejutkan dengan kedatangan ayah pun bundanya dengan tampang murka dan tangan berkacak pinggang. Di hadapan seluruh keluargaku dengan tanpa tedeng tedeng mereka memintaku bertanggung jawab atas sebuah makhluk kecil yang katanya kini tengah bersemayam di rahim mungil gadis pualam itu.
Kutatap sepasang matanya yang berkaca kaca. Matanya yang mengiba, bibir mungilnya yang bergetar seolah memelas menginginkan belas kasihan. Ingin rasanya kujejal bibir mungilnya dengan bibirku, mencercanya dengan pertanyaan. Melupakan semua aturan yang selama ini kupatuhi. Namun semua hanya sebatas ada dalam angan. Aku sadar akan situasi yang mungkin saja akan semakin rumit. Maka dihadapan semua keluarga besarku turut ayah dan bundanya yang tak lain ialah bibiku sendiri, dengan lantang kukatakan bahwa sesenti pun aku tak pernah berani menyentuhnya. Kukatakan pula bahwa diri ini tak sekali pun pernah mereguk keindahan yang tak sepatutnya kudapatkan sebelum pernikahan. Dalam Isak tangis yang semakin riuh kubeberkan dengan tangan mengepal kejadian tempo hari yang mungkin akan menjadi trauma seumur hidup untukku. Kudesak gadis yang dulu teramat kusayangi itu. Dan disanalah ia mengakui perbuatannya dengan seseorang yang tak lain ialah adikku sendiri.
Semua yang menyaksikan bak tertampar petir. Seusai sang gadis menuturkan bahwa bukan hanya sekali mereka melakukan hal yang tak senonoh itu. Sepasang mata menghunus tajam padaku yang berdiri tegap tanpa ragu. Kubalas tatapan itu dengan tenang. Tak kutemukan barang setitik saja penyesalan di matanya. Maka tanpa kusadari sebuah bogem mendarat di pelipis kiriku. Dan disusul dengan pukulan pukulan pada pipi serta bibir. Aku membalasnya dengan senang hati. Memanfaatkan waktu berhargaku sebelum seseorang melerai perkelahian memalukan itu. Perkelahian antara adik dan kakak hanya karena seorang wanita.
Aku mengusap sudut bibir yang terasa asin, dengan senyum mengembang kuperlihatkan angkuhku pada adikku sendiri. Seolah tak peduli pada apa yang kini menimpa cintaku, menimpa keluarga besar kami. Kulepas cincin yang sebelumnya selalu bertengger di jari manis, kukatakan dengan tanpa beban bahwa kini aku membebaskan gadis yang teramat telah melukai hatiku ini.
“Bi, kukembalikan cincin perjodohan ini. Putrimu sudah menemukan pria yang lebih mencintainya dari padaku”.
Aku meninggalkan ruang yang penuh sesak itu menuju kamarku. Tak kuindahkan permohonan maaf dari bibi turut paman. Aku selesai. Aku telah melepaskan semuanya. Tapi bila berkata aku baik baik saja dengan pengkhianatan ini, aku jelas berbohong besar. Jauh jauh hari sebelum perjodohan itu dimulai bahkan aku sudah menyimpan perasaan padanya. Maka saat perjodohan itu tiba, kuanggap bahwa aku bukanlah sang Pungguk yang merindukan rembulan. Dimana tatkala dia juga mengatakan hal serupa, tentangnya yang juga memendam perasaan terhadapku, disanalah aku semakin yakin untuk menerima perjodohan ini.
Dengan hati yang bahagia kuukir janjiku yang tak kan pernah melepasnya sampai ajal tiba nanti. Sampai tak pernah kusangka ternyata kebohongan demi kebohongan itu mencuat dengan sendirinya. Membuka pintu pintu yang tak pernah kutemukan sebelumnya, untuk kemudian memaksaku membukanya satu persatu dan memperlihatkan aku pada sebuah kenyataan yang teramat pahit, dimana sebelumnya tak pernah kubayangkan, dia yang kucinta mampu berbuat sedemikian prasangka yang tak pernah kuduga menjadi nyata adanya.
Setitik bening jatuh tanpa bisaku hindari. Aku tersenyum menyadari perubahan waktu yang kian cepat. Langit gemintang terhampar bak permadani. Yang ku tau luka hati ini memang menganga. Tapi esok lusa, ia kan terbit kembali laksana mentari yang diiringi sang mega.
Tamat.
Cerpen Karangan: Qeenan Facebook: facebook.com/profile.php?id=100046175318877