Aku termenung dalam kamarku. Melihat jalanan dibawah dari jendela. Separuh semangatku telah menguap entah kemana. Sejak hari dimana dia mengatakan tidak mau melanjutkan hubungan denganku, aku lebih banyak termenung sendirian.
Bel rumah tiba tiba berbunyi. Aku malas malas berdiri, terhuyung. Lalu membuka pintu. Dan berdirilah seorang pria tegap dan tinggi menjulang. Arfan namanya, dia sahabat sejatiku. Sontak aku berbalik dan kembali duduk di pinggir jendela. Arfan mengikutiku setelah menutup pintu..
“Lu kenapa bro?” Tanya Arfan melihat raut wajahku lemas, letih, dan lesu. Aku diam memandang jalanan dibawah sana.
“Yaelah, sama temen sendiri lu nggak mau cerita?. Parah lu!” Sergah Arfan, lalu bangkit dan mengambil dua kaleng soda di lemari pendingin yang ada di sudut ruangan. “Minum dulu” ucap Arfan sambil menyodorkan kaleng soda. Aku menerimanya. Lebih tepatnya, terpaksa menerimanya. Lalu meminumnya sedikit.
“Sekarang lu cerita ke gue, apa yang udah bikin lu kayak gini!” Ucap Arfan. Sebenarnya, aku malas mengingat kejadian beberapa hari yang lalu. Lebih tepatnya aku tak mau mengungkit lagi kejadian itu sampai kapanpun. Tapi karena Arfan memaksa, aku pun mulai menceritakannya perlahan.
Beberapa hari yang lalu.. Aku memergoki dia sedang jalan dengan laki laki lain. Namanya Zara. Wanita yang kupacari selama setengah tahun terakhir. Aku mengikutinya. Hingga akhirnya dia kupergoki. Aku berdiri dibelakangnya, lalu memanggilnya. Dia dan laki-laki itu menoleh padaku. Dia sedikit terkejut. Aku segera berjalan mendekatinya. Menariknya agak menjauh untuk bicara berdua.
“Apa maksudnya ini?” Tanyaku padanya. “Bukan apa-apa.” Jawabnya “Bukan apa-apa!!? Terus dia siapa?” Tanyaku agak emosi. “Dia pacarku yang baru.” Ucapnya seakan tidak ada beban saat mengucapkannya. Aku meremas jemari.
“Bisa-bisanya kamu ngelakuin ini sama hubungan kita!” Bentakku, aku sebenarnya masih bisa menahan emosi. Tapi sepertinya dia bertindak di luar batas. “Terus kamu mau putus? Oke kita putus.” Ucapnya ringan saja. Aku membelalakkan mata. Menatap tajam matanya. “Apa kamu bilang?!” Aku emosi. “Kita putus. Aku lebih milih dia, dia perhatian dan pastinya punya banyak waktu buatku!. Nggak kayak kamu!” Ucapnya. Aku hampir kelepasan akan menamparnya. Aku mati-matian menahan tanganku.
“Beraninya kamu ngomong kayak gini sama aku.” Ucapku. Gigiku bergemeletuk menahan rasa kesal. “Sekarang diantara kita nggak ada hubungan apa-apa lagi. Kita udah putus.” Ucapnya lalu pergi dengan laki-laki itu. Aku mengusap wajah dan mengacak acak rambut. Aku frustasi, benar-benar frustasi.
Hingga dimulailah hal konyol yang aku lakukan sekarang. Termenung di dekat jendela sambil memandang jalanan dibawah sana. Entah kenapa, semangatku menguap begitu saja. Menyisakanku dengan jiwa yang tidak utuh.
Arfan cengengesan. Bahkan tertawa, tetapi dia tahan-tahan. Aku melotot kearahnya. “Nggak lucu!” Sergahku galak. “Lucu aja liat lu kayak gini cuman gara gara cewek modelan begitu. Kalo emang dia nggak mau sama lu lagi, ya lu tinggal move on. Cari yang lain, yang lebih baik dari dia!” Ucap Arfan. Aku menggeleng perlahan. “Susah” ucapku. “Ya emang susah, butuh usaha ekstra. Coba deh lu buka hati buat cewek yang lain. Perlahan lahan pasti lu lupa sama mantan lu itu.” Ucap Arfan.
“Buka mata lu. Buka hati lu buat yang lain. Cewek modelan mantan lu emang nggak cocok sama cowok baik dan cerdas kayak lu.” Ucap Arfan sambil menepuk bahuku dengan sedikit keras. Aku menampik tangannya, sakit. Arfan tertawa. “Udah, percaya sama gue. Lu bakalan baik baik aja. Hidup lu bakalan terus berjalan kayak biasanya tanpa adanya mantan lu yang jahat itu. Percaya sama gue!” Ucap Arfan.
Aku meminum sisa minuman soda. Benarkan apa yang dikatakan oleh Arfan?. Hidupku akan baik baik saja tanpa Zara?. Apakah aku mampu bertahan?. Ya! Aku yakin aku akan baik baik saja dan bertahan. Tapi… entahlah aku bingung dengan diriku sendiri. Bisakah aku bersikap baik baik saja jika separuh semangatku menguap begitu saja?.
Tamat
Cerpen Karangan: Seli Oktavia Blog / Facebook: Sellii Oktav Ya