Aku duduk di bangku kelas 9 SMP. Setiap hari Aku memandangi salah satu siswa laki-laki yang gagah dan tampan. Aku selalu memandanginya, aku berharap bisa bersahabat dengannya. Tanpa rasa malu aku mencari tahu tentangnya dengan cara mencari nomor whatsaapnya dalam grup kelas.
Aku menemukan sebuah nomor whatsaap miliknya. Tanpa pikir panjang, aku memberikan pesan padanya, “Hai”. “Iya, siapa ya?” tanya dia siapa diriku. “Aku siswa sekelasmu, yang duduk di bangku belakang,” balasku sambil senyum-senyum sendiri. Ia membalas pesanku, “Oke.” Tak tahu mengapa hatiku sangat senang. Tak bisa membalas pesannya dengan kata-kata. Lama-kelamaan kami selalu bertukar kabar, entah itu masalah tugas ataupun keadaan sehari-harinya.
Waktu dalam kelas ibu guru menyuruh bertukar kelompok. Dalam kelompok terdiri dari 4 anggota. Dalam kelompok harus terdiri dari, 2 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Aku berdoa agar bisa satu kelompok dengannya. Dan benar saja ketika satu per satu kelompok dipanggil, akupun dipanggil dan masuk dalam kelompok 1 bersama dengannya.
Hatiku rasanya campur aduk tak karuan. Aku tak henti memandanginya. Melihat wajahnya saja aku senang. Dia seperti penyemangat hidupku di sekolah. Aku sebenarnya tak kuasa duduk bersebelahan dengannya. Hatiku tak berhenti berdebar. Aku ingin mengucapkan sepatah katapun tak bisa. Rasa malu ini selalu menghantuiku. Tak sanggup rasanya duduk disampingnya.
Hari demi hari kita lewati. Hari ini tepat dimana aku dan dia sudah lama berteman. Aku ingin pertemanan ini berakhir sebagai pujaan hati. Aku menganggap dia lebih dari teman, aku fikir dia juga menganggapku begitu. Tetapi sikap dia kepadaku sangat tidak memungkinkan. Dia sudah tidak seperti dulu. Dia yang selalu bertukar kabar denganku sekarang selalu mengabaikan aku. Aku tidak marah karena aku juga sadar bukan siapa-siapa dia. Tetapi aku sedih, karena sikap dia sekarang dingin banget padaku. “Ada apa ya kira-kira?” fikirku, cemas.
Aku memberanikan diri menanyakan kabar pada dirinya. Aku ingin memberi pesan padanya melalui whatsaap tapi aku ragu. Tak enak rasanya jika tidak tahu bagaimana kabarnya. Akupun menunggu beberapa menit kemudian.
“Hai, apa kabar hari ini?” tanyaku. Telah lama aku menunggu. Dia baru saja membalas pesan dariku setelah sekian lama aku mengirim pesan padanya. “Iya, baik,” balasnya. “Yakin, baik-baik saja?” tanyaku sambil basa-basi. Dia membalas pesanku dingin banget kayak kulkas. Akupun terheran, apa aku punya salah sama dia. Aku mencoba bertanya pada dirinya. Mungkin saja dia begini karena aku punya salah.
“Hai, kamu kenapa?” tanyaku. “Nggak kok,” balasnya. “Apa aku ada salah ya.. sama kamu?” tanyaku sambil merenung. “Kamu nggak salah apa-apa kok,” balasnya padaku. “Tapi… akhir-akhir ini kamu nggak seperti biasanya loh…,” balasku. “Maaf ya, sebelumnya kalau aku selama ini sudah menyakiti hatimu. Sebenarnya aku sudah punya wanita yang aku inginkan,” balasnya sambil minta maaf kepadaku. “Nggak apa-apa kok, aku juga sadar diri. Aku bukan siapa-siapa kamu. Thanks for time Reza,” balasku sambil meneteskan air mata. Rasanya menusuk hati.
Akupun tak berdaya, tak bisa apa-apa. Ingin rasanya marah, mengeluarkan amarah tetapi aku juga harus berkaca siapa diriku. Aku harus belajar melupakan dirinya. Tetapi, bagaimanapun berat sekali rasanya merelakan dirinya untuk orang lain. Laki-laki lain juga banyak diluar sana yang masih berharap kepadaku. Aku tidak boleh egois. Biarkan dia pergi dengan pilihannya. Aku hanya bisa berdo’a agar dia bahagia dengan wanita pilihannya.
Berharap lebih kepada seseorang lebih menyakitkan dari pada tidak bisa rumus matematika.
Cerpen Karangan: Febriana Putri Blog / Facebook: _amlyafp