“Berkendara mengitari malam yang bising. Dengan topi yang menaungi kepala, aku berkendara tanpa tuju yang jelas. Ingin sekali berteriak, namun yang kulakukan hanya menangis di atas kendaraan roda dua milikku itu. Aku yakin tak ada orang yang peduli pada tetes-tetes airmataku itu, haha, bahkan mungkin mereka tak menyadarinya sama sekali. Tak kusalahkan mereka, siapakah aku yang harus mereka pedulikan sebegitunya?
Aku menangisi apa? Hidup berjalan baik belakangan. Ah ya kecuali satu, aku denganmu. Kita tak berjalan baik. Aku kembali memaksa diriku untuk tak menyapa dan datang padamu. Aku merindukanmu? Ya, aku merindukanmu, merindukan kita. Alih-alih menemuimu, aku berkendara menghibur diriku sendiri. Hidup juga berjalan baik padamu kan? Aku senang melihatmu bahagia dan tersenyum manis. Kau tampak sehat dan tak memikirkan aku dan kita. Haha. Lucu sekali aku, untuk apa juga kau memikirkan aku? Kita? Apakah tentang itu pernah ada di judul ceritamu? Sepertinya tidak. Kisahmu begitu menarik dan beragam, tak ada ruang untuk menulis cerita kita.
Aku berusaha beranjak. Pergi darimu, tak menyayangimu lagi seperti dulu. Belum berhasil sepenuhnya, namun aku sedang berproses. Prosesku menanjak. Kupuji Tuhanku karena tak pernah meninggalkan aku. Ada temanku berkata ‘aku penasaran apa yang akan ada di ujung jalanmu, Tan..’ Aku memikirkan perkataannya, sesungguhnya, diujung jalanku denganmu, aku tak begitu penasaran dengan akhirnya. Karena sejak ini aku tau, kau dan aku tidak akan tiba di ujung jalan bahagia. Kau dan aku hanya dipertemukan semesta untuk saling memberi pelajaran. Pada akhirnya, di ujungnya nanti, kau akan bergenggaman dengan dia, wanita yang sudah memenangkan hatimu bertahun-tahun lamanya. Apakah aku bahagia? Lalu jika tidak, apakah pilihan yang bisa kupilih? Tidak ada. Maka, aku akan berbahagia untukmu”.
Sore ini kembali kubaca buku kecil milikku yang sudah hampir berdebu karena kubiarkan tak bertuan setahun belakangan. Tulisan-tulisan tentang patah hatiku masih nampak manis disana untuk dibaca. Kau boleh memanggilku Tan. Begitu orang-orang disekitarku memanggilku. Aku si ekstrovert yang kemudian jatuh suka pada seorang laki-laki ekstrovert juga. Seorang lelaki yang pada pandang pertama sudah menarik perhatianku. Tanpa senyum dan sapa, aku sudah terpikat. Sungguh aneh sekali. Lebih aneh ketika beberapa bulan setelahnya, semesta memberi ruang untuk banyak tersenyum dan bercengkrama dengannya. Aku semakin suka padanya yang tak tahu apa-apa tentang rasaku. Aku mencintainya…
Panggil dia, Aga. Lelaki dengan badan tinggi tak terlalu tegap, yang punya senyum manis bagai gula-gula, yang begitu suka bercanda dan tertawa. Dua tahun mengenalnya, cukup membuatku jatuh suka berkali-kali tanpa jeda. Bukan dibuat-buat, dia dengan gampangnya memiliki hatiku yang kubiarkan kosong sekitar delapan tahun belakangan. Segampang dia memiliki hatiku, segampang itu pula patah dia persembahkan untukku. Pun setelah itu, aku masih dengan gamblangnya menyukainya. Aku yang bodoh, kurasa.
Satu yang semesta lupa beritahuku pada awalnya adalah, jatuh suka dengan lelaki ini akan memberiku patah yang tak terkira sakitnya. Dia sudah memiliki hati lain untuk digenggam erat. Wanita yang kuyakini pasti berparas cantik dan manis, baik budi dan menyayanginya dengan sungguh, walau kuyakin jika diadu, sayangku padanya pun tak kalah dibanding wanita ini. Wanita yang entah sekuat apa bermantra hingga memiliki singgasana di hati lelaki kesukaanku itu hampir enam tahun lamanya. Wanita yang sampai saat ini tak ingin kutemui, namun tak pernah terbersit untuk membencinya sama sekali. Wanita yang sudah kusakiti tanpa bertemu, dengan menyuka lelaki yang sudah dia perjuangkan dalam doa selama waktu yang tak bisa kubayangkan. Berdosakah aku padanya?
“untuk diriku di masa depan, hari ini aku melepaskan seorang teman dengan segala rasa di dalamnya. Kuikhlaskan temu dan tawa yang tak dapat kunikmati lagi berdua dengannya setelah ini..”
Sepenggal tulisan dari buku kecilku ini kembali kubaca pelan-pelan. Aku ingat hari itu. Sore ketika senja sudah mulai nampak malu-malu, aku memintanya bertemu dan berbicara. Berhadap-hadapan, aku menatap matanya dalam-dalam. Dua hari sebelumnya, aku menangis dipelukannya. Kali pertama kulakukan karena rasa sukaku yang semakin besar, dan ketidakmungkinan yang mengiringi logikaku hingga harus kembali menolak segala rasa yang ada. Aku terisak dengan kuat. Dia terdiam dan menenangkanku. Entah apa yang ada di kepala kecilnya kala itu. Aku membasahi kemeja coklatnya dengan airmataku. Aku memeluknya erat sekali. Seperti sudah berfirasat, bahwa itu adalah pelukan terakhirku dengannya. Dan benar saja, sore ketika kuputuskan untuk menemuinya, dia pun aku bersepakat untuk selesai tanpa kata memulai. Sakit, sungguh. Rasanya sakit sekali.
Setelahnya aku masih menyapanya dengan senyum. Dia pun begitu. Seolah hari kemarin tak pernah ada diantara kami. Seolah masalah hati hanyalah becandaan yang sekejap lenyap tak berbayang tanpa bekas. Seolah kami aktris yang sedang berlakon jatuh hati lalu kembali ke dunia nyata dimana kami hanya sekedar berteman tanpa perasaan lebih dari sekedar manusia dengan manusia lain yang saling menghargai. Hebat, bukan? Entah senyum kami yang terlalu palsu, atau memang se-iya nya kami saling menyuka, entah pernah terlintas di benaknya ingin mengenggam tanganku dan berjalan bersamaku, entah apapun yang pernah dia harapkan untukku, aku masih mengingkan yang terbaik untukknya.
Yang kusadari dari Aga, lelaki yang bukan lelakiku ini adalah, dia tak pernah berniat mengenggam hatiku. Dia menunggu aku menghampirinya, menyapanya, mencintainya. Sejatinya itu semua sudah dan akan tetap aku lakukan jika saja dia bersambut baik dengan rasaku. Jika saja dia jatuh suka pada hatiku, mencariku, mengenggam tanganku, memelukku, mencintaiku… Aga, lelaki penuh teka-teki, yang memakai banyak topeng, yang mengabaikan hatiku, yang begitu mencintai wanitanya. Ah ya, aku lupa. Untuk apa dia mencoba menggapaiku jika dia sudah mengenggam hati lain di tangannya? Dasar aku… Untuk itulah hatiku kupaksa bersepakat dengan logikaku, ‘jika tidak diinginkan, lepaskanlah. Jika tidak dihargai, ikhlaskanlah. Segala yang pergi akan terganti dengan yang lebih baik…’
Lalu kudapati pintu hatiku tertutup rapat. Setelah dengannya, beberapa lelaki lain datang dan mencoba peruntungan. Sayang sekali, aku sudah terlanjur takut untuk mempersilahkan sesiapa datang dan memasuki hatiku. Aku enggan memberi rumah pada orang yang hanya singgah. Enggan menyuguhkan hati pada orang yang hanya berniat mencicipi segelas kopi. Enggan memberikan kursi pada orang yang hanya berniat berteduh menunggu hujan yang menghalangi jalannya pulang. Aku takut menjadi bodoh untuk kedua kalinya. Persis ketika dengannya, kuberi dia kunci menuju hatiku, ternyata dia hanya singgah tanpa sungguh, karena jalan ke rumahnya sedang rusak dan sedang diperbaiki. Akulah rumah singgah, yang kemudian dia beri bunga untuk ditanam, dia beri pelangi dengan tujuh warna, hingga kemudian dia tinggalkan berantakan. Entah dia terlalu terburu-buru pulang, atau dia lupa bahwa rumah singgahnya ini juga perlu dia bereskan sebelum pergi begitu saja. Aku tak tahu…
Akhirnya tentang kita sampai disini. Aga, berbahagialah. Semoga langkahmu semakin luas dan lapang. Semoga semesta merestui segala harap dan doa yang kau panjatkan. Kau tahu, Aga? Akan ada hari dimana aku tak berdebar-debar lagi ketika melihatmu. Akan ada hari dimana senyummu tak mampu menghangatkan sudut hatiku lagi. Akan ada hari dimana merindukanmu tak pernah terpikir oleh otak kecilku lagi. Akan ada hari dimana kau tergantikan penuh disini, di hatiku. Aku bersyukur untuk hari kemarin yang begitu manis. Kau cukup istimewa untuk tetap kusimpan dalam hati. Walau perasaan tak berubah, peranan harus berubah, Ga. Karena kita sudah tiba di ujung jalan, dimana aku tak sebaitpun ada dalam puisimu, dan kau tak setintapun tertulis dalam paragrafku. Karena hidup akan selalu seperti ini. Sekuat apapun menahan, yang pergi akan tetap pergi. Termasuk kamu…, kita…
Terimakasih sudah pernah menemani, Ga. Hari-hari itu begitu baik. Kita akan saling bahagia, meski tak telusuri setapak yang sama. Mimpiku untuk berjalan bergenggaman denganmu menyusuri jalan kecil ini pupus sudah. Dengan siapapun kelak kau berdua, dengan siapapun nanti aku berbahagia, namamu selalu dengan senang hati kuingat dalam cerita panjangku. Salam untuk terkasihmu, dari aku yang begitu setia doakan bahagiamu dengannya. Pamit ya, Ga..
—
Lembar terakhir… “Aku pernah dengan sengit meminta pada Tuhan agar kau selalu bahagia, lalu aku dijauhkan darimu. Yang aku terjemahkan kemudian adalah, Tuhan tak membenciku, hanya saja bukan diriku yang bisa buatmu bahagia. Aku pernah dengan sengit meminta pada Tuhan agar aku selalu bahagia, lalu kau dijauhkan dariku. Yang aku terjemahkan kemudian adalah, Tuhan tak membencimu, hanya saja bukan dirimu yang bisa buatku bahagia. Maka jadilah kita yang demikian ini..”
SELESAI
Cerpen Karangan: Tanty Angelina