Pagi buta diterjang fajar, di celah tirai jendela menembus kamar. Membangunkanku disaat mimpi masih tertatih dalam imajinasi. Tak sedikit pun suara kudengar, sepertinya alam memilih membisu dari semestanya.
Sedikit kecewa ketika mimpi pagiku diterjang. Berharap disambung dengan episode baru, dan masih tentang tema yang sama. Tapi sudahlah, semuanya hanya sebatas gambaran belaka.
Masih seperti hari-hari sebelumnya, memasak air untuk menyeduh kopi. Sepertinya kopi sudah menjadi tradisi tersendiri bagiku. Sudah ada sejak dahulu, dan tak memudar dimakan waktu.
Sembari menunggu air mendidih, perlahan kubuka tirai jendela itu. Tanpa sedikitpun mengganggu waktunya pintu yang masih membeku. Kupandangi fajar pagi yang cerah dan sempat pula berkat di depan kaca jendela. “Kehadiranmu fajar kunantikan tanpa memikirkan hal yang terjadi jika engkau datang, namun kehadiran gadis cantik rupawan yang masih kuragukan. Aku belum tahu itu. Karena aku masih merana atas penantian kedatangannya.”
Sekitar 30 menit berlalu dan airnya sudah mendidih. Aku seduh secangkir kopi di pagi itu. Kunikmati tanpa henti sambil memandangi fajar pagi yang merona. Setengah dari kopi itu sudah mengkroyok ingatanku. Ingatan yang tidak pernah kuharap untuk datang. Namun, kopi pagi mengundangnya begitu saja. Mungkin terlalu pagi untuk merindu, terlalu pagi untuk bertemu. Tapi hanya lewat ingatan Aku dapat menembus bayangannya. Teringat Aku pada gadis itu, gadis yang setiap saat kudamba dan gadis yang tak henti kunantikan. Karena minum sambil melamun, kopi memperingatkan Aku dengan panasnya. Dia membuat bibirku memar memerah. Tapi tak apalah, karena jika Aku marah padanya, entah siapa lagi yang menemani penantianku kali ini.
Setelah tirai jendela kamar terbuka, selanjutnya giliran pintu untuk Kubuka. Sepertinya fajar di pagi buta perlahan digantikan. Sedikit terasa panas dan mencekam segala sesuatu dalam tubuhku. Bukan lagi hal baru, panas terik matahari itu seperti santapan siang di kamar sempit itu. Kerap kali Aku berteduh tanpa ragu, bersandar kepalaku pada ranting pertama dari sebuah pohon di teras kamar sempit itu. Berharap bukan pohon lagi nanti yang menjadi sandaran ternyamanku dan semoga gadis itu bisa menggantikan pohonnya. Karena menurutku, satu-satunya yang dapat menggantikan posisinya pohon hanyalah gadis yang selalu kunantikan. “Aku sudah berusaha atas penantian, semoga engkau tak membuat aku kecewa hingga berujung penyesalan.”
Penantian bukanlah hal yang mudah, apalagi jika seseorang memberikan waktu yang cukup lama untuk menerima rasa di dalam benak jiwa yang membara. Seperti orang gila yang berbicara tanpa ada orang disisinya. Namun apalah daya, hanya itu yang mampu kulakukan seutuhnya.
Hari pun berlalu disambut petang. Malam juga tak diam, tak memendam segala kesedihan dan tak menolak segala kehampaan. Terlalu sunyi tanpa bunyi, rasanya hampa menikamku di ruang sempit itu. Namun, dengan tangan kosong aku ambil secarik kertas usang dengan tinta pena tua sisa kenangan kakeku dulu.
Yang kutulis bukan lagi tentang masa laluku. Apalagi tentang masa lalumu. Namun, yang pasti aku menuliskan segala tentang aku dan dirimu. Dirimu yang memberikan waktu untuk kunantikan dan aku yang tersiksa dengan itu semua. Waktu yang kau berikan untukku mungkin terlalu panjang, sudah lama terjebak atas penantian dan menunggu bagaimana selanjutnya.
Malam semakin larut, di sepertiga malamku engkau datang dengan notif pesan yang suara nada deringnya berirama. “Selamat malam kak. Maaf baru aktif lagi WhatsApp-Nya saya.” “Selamat malam juga gadis manisku. Sudah hampir satu bulan tidak kasih kabar, ada apa ya?” “Maaf kak, terlalu banyak kesibukan.” “Baiklah. Aku sudah terlalu lama menantimu. Bagaimana dengan pintaku di waktu itu?” “Oh iya kak. Hampir lupa lagi.” “Tidak apa-apa. Tapi apakah engkau sudah ada waktu untuk menjawabnya. Sudah terlalu lama aku terjebak dalam penantian ini?” “Iya kak. Maaf jika membuatmu harus menunggu bersama waktu. Dan aku juga minta maaf untuk semuanya. Terlalu banyak memberikan harapan untukmu, sehingga membuatmu harus menunggu. Malam ini, di balik rembulan ku menyatakan segalanya. Maaf, aku tak bisa menitik hati untukmu kak.”
Penantian selama ini sia-sia saja. Tak sempat lagi ku menjawabnya malam itu. Rembulan yang awalnya bersinar kini kembali redup. Begitu juga dengan asaku. Terlarut dalam penantian hingga lupa untuk pulang melihat dan menatap kembali fajar pagi di sisi tirai. Ternyata benar, seharusnya dari awal kusadari. Bahwa yang kunantikan seharusnya bukan dirimu lagi. Namun aku terlena dengan semuanya.
“Berusaha aku menantimu. Dari fajar hingga petang, dari malam hingga kelam, yang kudapatkan hanylah deretan penyesalan.”
Cerpen Karangan: Ronaldus Heldaganas Blog / Facebook: Ronaldus Penulis merupakan Mahasiswa Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng.