Ratih memandangi danau yang tenang sambil berandai-andai jika pikiran Ratih setenang danau. Akan tetapi pikirannya tetap kacau. Yang ada dipikiran Ratih sekarang adalah bagaimana jika dia bunuh diri di danau ini saja? lagipula disini juga tidak ada siapapun kecuali dirinya dan pohon-pohon. Ratih menggelengkan kepalanya dengan cepat. Ratih mencoba memikirkan hal lain agar tak berpikiran untuk bunuh diri.
Ratih memutuskan untuk terdiam cukup lama. Tiba-tiba terdengar suara seseorang yang sedang menceburkan diri ke danau. Lantas Ratih melihat ke asal suara tersebut. Jadi sebenarnya ada orang disini? Kira-kira siapa? Kemudian Ratih berdiri. Katanya danau ini tidak diperbolehkan untuk berenang, tetapi mengapa ada orang berenang disini? Sebaiknya Ratih harus beritahu jika danau ini bukan untuk berenang. Kata orang di sekitar sini, ada buaya di danau ini. Maka dari itu tidak diperbolehkan untuk berenang di danau ini.
Ketika sampai disana, Ratih hanya melihat sepatu dan tas yang diletakkan sembarangan di atas rerumputan. Tidak ada baju disana. Kedua alis Ratih mengerut. Jangan bilang seseorang tadi mencoba bunuh diri di danau ini. Ah tidak mungkin. Bisa saja bajunya ditaruh dalam tas. Ratih berjongkok sebentar dan mengobrak-abrik isi tas tersebut. Benar-benar tidak ada baju di dalam tas tersebut. Ratih berdiri lagi. Menunggu seseorang itu muncul dari permukaan. Tetapi tak kunjung keluar meski sudah tiga puluh menit Ratih menunggu. Benar. Seseorang itu mencoba bunuh diri.
Ratih merogoh saku roknya untuk mengambil ponsel. Setelah menemukan ponselnya, Ratih segera menelepon polisi. Melaporkan percobaan bunuh diri kepada polisi. Ingin rasanya Ratih mencari seseorang tersebut, namun Ratih tak bisa berenang. Tidak ada yang bisa dilakukan Ratih kecuali menunggu polisi datang.
—
Irham muncul ke permukaan danau. Kemudian berjalan perlahan. Irham menoleh ke kanan dan ke kiri sebentar. Irham mengernyitkan dahi dengan heran. Heran mengapa ada banyak polisi turun ke permukaan danau dengan menggunakan pelampung. Lalu kembali menatap lurus ke depan. Sekali lagi Irham mengernyitkan dahinya. Siapa perempuan yang duduk di samping tasnya? Kenapa raut wajah perempuan itu tampak pucat? Dan masih banyak lagi pertanyaan di pikirannya.
“Ada apa denganmu? Kau mencari sesuatu?” tanyanya pada perempuan itu dan duduk di samping perempuan itu dengan kondisi tubuh yang basah. Perempuan itu memutar kepalanya sejenak. Lalu memeluk Irham dengan erat. Kali ini Irham mengangkat kedua alisnya. Perempuan itu aneh sekali. Irham merasa asing dengan perempuan itu, tapi mengapa tiba-tiba dia memeluk Irham. Beberapa menit kemudian dia melepas pelukannya dari Irham.
“Untung saja kau tidak jadi bunuh diri” ujar perempuan itu dengan perasaan lega. Mata Irham membelalak. Bisa-bisanya perempuan itu mengira dirinya bunuh diri. Padahal aku hanya ingin berenang disini, tetapi ternyata ada buaya di dalam danau itu. Lantas Irham langsung keluar dari permukaan danau. Pantas polisi turun ke permukaan danau. Rupanya mencari dirinya.
“Aku? Bunuh diri?” tanya Irham lagi. Perempuan itu mengangguk cepat. Irham tak mampu berkata-kata lagi. Irham mengalihkan pandangan ke arah lain. Lalu kembali menatap perempuan itu dengan kedua alis yang berkerut.
“Kau… bisa katakan pada para polisi bahwa aku tidak bunuh… diri sekarang?” pintanya agak sedikit terbata-bata. Irham tidak akan bunuh diri hanya karena Ella. Masih banyak yang belum Irham coba dan ketahui di dunia ini. “Ehm… sebentar” jawab perempuan itu.
—
Irham masih memikirkan kejadian tadi. Juga masih merasa heran. Dirinya sama sekali tak berpikiran untuk bunuh diri di usia yang masih muda. Tunggu. Berapa usianya sekarang? Ah iya, tiga puluh dua tahun. Irham mengalami patah hati sepuluh tahun yang lalu. Ketika Irham berusia dua puluh dua tahun. Karena patah hati itu, Irham jadi mengetahui serta belajar pengetahuan baru. Meski hatinya merasa hampa tanpa kehadiran Ella.
Keadaan jalanan malam ini cukup sepi. Irham mengendarai mobil dengan pelan. Irham yakin takkan ada yang membunyikan bel hanya untuk menyalip satu mobil. Tak lupa Irham memutar lagu di mobilnya. Lagu yang dahulu pernah didengar olehnya dan Ella. Ella menyukai semua lagu yang ada di playlist Irham. Bisa dikatakan selera lagu mereka sama. Alat musik yang disukai Irham juga disukai oleh Ella. Alat musik yang disukai Irham adalah keyboard.
Timbullah kenangan-kenangan yang masih tersimpan di pikirannya. Hingga tanpa disadari, Irham menangis sesenggukan sambil mengenang masa lalu. Tak bisakah Ella memilihnya saja dan meninggalkan Yoga? Sayangnya itu hanya khayalan Irham. Khayalan yang takkan pernah menjadi nyata. Yoga dan Ella tampak bahagia selama sepuluh tahun ini. Namun Irham tidak sebahagia itu. “Aku masih mencintaimu hingga kini” gumamnya lirih di sela-sela musik yang masih diputar.
—
“Hai” sapa Ratih agak canggung pada pria di hadapannya. Lalu tertawa kecil. “Kita bertemu lagi disini. Tidak kusangka” ujarnya kemudian berdehem pelan untuk memecah keheningan diantara mereka berdua. Irham tersenyum datar. Irham adalah nama pria tersebut. Tak disangka ia dan Irham akan bertemu lagi setelah beberapa hari kejadian tersebut. Keduanya bertemu di perpustakaan.
“Apa yang kau.. lakukan disini?” tanya Irham dengan nada setengah gugup. Ratih mengangkat buku yang berada di tangannya. Tentu saja untuk meminjam buku. Untuk apalagi Ratih mengunjungi perpustakaan. Tidur? Oh tentu tidak. Setelah itu tak ada percakapan lagi diantara mereka.
“Kalau begitu, aku ingin mencari buku di rak lain” kata Irham yang dibalas anggukan oleh Ratih. Kemudian, berjalan perlahan meninggalkan Ratih. Sepeninggalan Irham, ia mencari-cari buku lagi di rak lain. Tiba-tiba saja ia menemukan sebuah buku yang menarik perhatiannya. Namun letak buku tersebut berada di rak paling atas. Ia mencoba mencari kursi disekitarnya, tapi tak ada. Terdengar deheman kecil dari arah belakang. Ia menoleh.
“Butuh bantuanku?” tawar Irham. Ia mengangguk cepat, “sebelah kiri, paling atas sendiri.” Jawabnya sambil menunjuk buku yang ingin diambil. Ratih masih tetap di tempat. Sementara Irham mendekat ke rak dan mengambil buku yang diinginkan Ratih. Kini badan mereka saling bersentuhan. Meski masih dibatasi oleh sehelai kain. Jantung Ratih berdebar kencang. Setelah mengambil buku tersebut, Irham langsung memberikannya pada Ratih. Ratih pun menerimanya.
—
Lagi? Haruskah Irham bertemu lagi dengan Ratih di tempat seperti ini? Ya. Pertama, danau. Kedua, perpustakaan. Ketiga, kafe. Apakah takdir ingin mempertemukannya dengan Ratih? Oh astaga, Irham menolak. Ratih sangat merepotkan sejak pertama bertemu. Dan menyebalkan, mungkin. Irham menghabiskan kopinya yang mulai dingin dengan cepat. Irham tak mau bertemu dengan Ratih lagi.
Uhuk… uhuk… uhuk… tiba-tiba dirinya tersedak. Mungkin karena meneguk kopi terlalu cepat dan terburu-buru. Lantas Ratih bangkit dari kursinya dan menepuk pelan punggung Irham. Irham menaruh gelas kopinya di meja. Lalu menyingkirkan tangan Ratih dari punggungnya. “Dasar tidak tahu terima kasih” ucap Ratih ketus.
Usai kejadian tersebut, mereka menjadi teman meski membutuhkan waktu yang lama. Setiap mereka bertemu, mereka selalu bertengkar dan saling mengejek satu sama lain. Tiada hari tanpa pertengkaran. Terasa aneh jika pertemuan mereka tampak damai dan tenang.
Cerpen Karangan: Purwati Blog / Facebook: tidak ada dirahasiakan