Seperti sebuah perjalanan panjang yang tak berujung, tanpa tahu kemana harus pergi, tanpa tahu kemana arah kembali. Sepi dan sunyi tidak ada bosannya menghatuiku. Perasaanku seperti sedang dikoyak-koyak tanpa henti. Bayangkan, bagaimana perasaan yang sedang tumbuh subur, tetapi dipaksa untuk mati. Beri aku jeda, aku mohon!!!
Dan kini, aku kembali lagi menyelam direlung kesedihan yang tak kunjung usai. Entah apa yang terbesit di kepala ini. Nampaknya segelas kopi dibatas senja hari itu, tidak mampu menghiburku, “ahhhhhh!” Kesalku. Aku membutuhkan rumah untuk pulang saat ini, apakah masih ada tempat pulang yang pantas untuku? Aku sedikit kurang percaya diri akan hal tersebut. Tuhan aku ingin mengeluh padamu, tetapi aku malu, sungguh malu. Bagaimana tidak? Aku sudah terlalu sering mengecewakanmu.
Awan hitam di langit jakarta sore itu mulai meneteskan air matanya, seakan-akan ia tahu dan ingin ikut serta dalam merasakan kesedihanku. Temaram mulai menghampiri pelan-pelan diantara gedung-gedung menjulang dengan membawa segenggam harapan. “Langit memang tak selamanya indah, begitupun dengan kehidupan.” Kataku.
Kita akan selalu menjadi tokoh utama di sebuah novel kehidupan, hanya saja kita tidak perlu mempedulikan bagian awal cerita, kita hanya perlu menciptakan sesuatu yang indah di akhir cerita. Teruslah hidup untuk mampu merangkai kata demi kata di dalam sebuah halaman. Selesaikan!!! Dan sisanya tinggal serahkan saja kepada pembaca dan penilai atas cerita yang sudah kita ciptakan.
Lanjutkanlah cerita kehidupan yang sudah kita mulai, Sabar, Tenang, Kuasai.
—
Bar brengsek di tepi jalan itu seakan-akan terus menerus memanggilku. Mencoba menggoda orang-orang yang sedang merasa sedih dan terpuruk akan kehidupan. Aku tidak tertarik sedikitpun, Mengahabiskan waktu di tempat seperti itu, menurutku tempat itu bukanlah sebuah pilihan yang tepat untuk megatasi masalah. Tidak ada tempat terbaik untuk menghilangkan masalah, yang ada adalah tempat terbaik untuk menenangkan diri dari masalah tersebut.
Angin malam terus berhembus kencang hingga menusuk ke dalam tubuhku, dingin sekali malam itu. Aku merasa setengah tubuhku ikut terhempas oleh angin, dan entah kapan akan kembali. Alunan musik mulai terdengar di restoran yang ada di sebrang sana, musiknya mendayu dan sedikit menenangkanku. Gedung-gedung disekitarku sudah mulai menyalakan nyawanya kembali dengan kilauannya yang warna-warni, seketika Jakarta menjadi sebuah kota yang paling bercahaya. Aku kembali duduk, merasa seperti orang terdampar di trotoar jalan itu. Sunyi sekali keadaan lalu lintas pada saat itu, tak banyak juga pejalan kaki yang melintas. Kutengok, jalan-jalan disekitar sini sudah mulai mengering, aku mulai bergerak untuk kembali pulang.
Belakangan ini hidupku terasa sedikit hambar. Akan tetapi, dikit demi sedikit aku mulai menyadari bahwa waktu telah mengubah caraku dalam menikmati hidup. Perlahan aku mulai peduli, mulai mengerti, dan berharap mampu menyebuhkan luka-luka yang tersisa ini. Aku selalu menanti hal-hal baik itu datang kepadaku, walaupun itu hanya sebentar. Seperti datangnya pelangi seberes hujan, walaupun hanya sebentar tetapi mampu membawa segelintir kebahagiaan bagi penikmatnya.
Detik demi detik, gedung demi gedung sudah kulalui. Hanya sunyi yang menemaniku saat ini, indahnya senja sudah berlalu karena telah dimakan waktu. Waktu memang sangat jahanam, kota kelewat kejam, dan kesedihan menyita harapan. Tak kutemui sedikit kebahagian pun di jalan ini. Aku seperti melihat bayangan diriku di kota ini yang segelap malam dan sedikit memuram.
Aku hanya ingin menikmati dan membuat kenangan dalam peristiwa-peristiwa kehidupan. Yang disimpan dalam setiap halaman novel kehidupanku, yang entah siapa akan membacanya. Biarkan aku menjadi manusia yang keras kepala, tidak peduli dengan apa yang nantinya akan terjadi nanti meski sudah berulang kali diingatkan. Ini kehidupanku, biar saja aku yang menulis dan menyelesaikannya.
—
Tubuh yang tadinya kuat, sekarang sudah mulai melemah. Jari jemariku sudah rindu kembali digengam, kepalaku perlahan mulai merindukan sandarannya, dan kakiku sudah lelah seakan-akan dipaksa berlari ribuan kilometer tanpa memakai alas kaki. Aku tidak ingin kembali terbelenggu di dunia yang semu. Jangan hanya karena cinta, bisa membuat hidupku menjadi berantakan.
Jika ada kau disini, wahai puan. Mungkin malam ini aku tidak akan merasa seperti ini. Tepat setelah kepergianmu, aku tak pernah berhenti menyalahkan diriku sendiri. Bagimana mungkin orang yang selama ini telah kujaga hatinya, ternyata telah meninggalkan luka yang sedemikan dalamnya. Tak kutemui seorang pun disini selain bayangmu yang menjauh pergi, bagaimana bisa aku tak merindu. Biarlah rindu ini mengeras di kepala, akan tetapi aku sudah merelakanmu. Biarlah kau tetap menjadi kenangan yang terhanyut dalam aliran air hujan sore tadi.
—
Aku mulai merebahkan tubuhku yang lelah saat sesampainya di rumah, keadaan sudah sepi. Hanya ada suara jam dinding yang memenuhi telingaku. Hatiku termangu, nyatanya berdamai dengan apa yang terjadi merupakan sebuah kunci dari semua masalah ini. Kupejamkankan mataku sejenak, ku tarik selimutku untuk tidak mendengar kebisingan apa pun.
Biarlah malam ini menjadi malam yang berat untukku. Esok akan kuhadapi kembali, walaupun entah kapan hal ini akan berakhir. Untuk kesekian kalinya, yang tidak dapat dihitung oleh jari jemari. Aku tidak ingin menjadi pengecut karena takut akan kesedihan. Biarlah kesedihan itu mengiringi jalan hidupku. Biarlah aku melanjutkan halaman demi halaman cerita novel kehidupanku ini.
Perjalanan kisahku belum berakhir samapai aku benar-benar mati.
Cerpen Karangan: Gian Rizkianto Blog: gianrizkianto.blogspot.com