Aku dalam perjalanan saat melewati terowongan gelap yang nyaris panjang dan sempat membuatku takut. Dinginnya AC dan heningnya suara di dalam kereta menambah rasa sepi yang kurasa. Terowongan ini mengingatkanku pada seseorang yang tidak takut gelap. Perempuan hitam manis yang gemar membaca buku di kereta.
Amaru, pertama kali aku melihatnya tepat di gerbong ini 1 tahun yang lalu. Dia duduk di kursi sebelahku, menyilangkan kakinya dan asyik membaca buku. Sepintas kulihat judul dengan tulisan besar pada bukunya “Bumi Manusia”. Tampilannya terlalu necis untuk orang yang gemar membaca di kereta, rok pendek jeans di atas lutut dipadukan dengan crop top yang ketat dan sedikit terbuka di bagian dada membuatnya mencolok di kereta yang kami tumpangi ini. Saat kulihat ke bawah, heels tinggi yang berwarna hitam dan kuku kakinya yang berwarna merah pucat terlihat sangat serasi. Aku menutupi kuku kakiku yang belum sempat kupotong dengan selimut. Memang tidak terlihat jorok, tapi aku khawatir dia memperhatikan.
Tiga jam berlalu, perjalanan masih menempuh 5 jam lagi untuk sampai di kotaku, Yogyakarta. Si perempuan manis tampak tidak banyak bergerak. Jangankan melihat kebawah kakiku seperti yang kukhawatirkan, mengganti posisi duduk saja pun tidak. Dia fokus membaca novel itu dengan nafas yang tenang. Sesekali kulihat bibirnya yang merah merona seperti sedang komat kamit membaca mantra.
Dari kejauhan kulihat terowongan panjang, spontan kubilang “sial! sebentar lagi masuk terowongan” membuat Amaru menoleh ke arahku. Tidak sempat kubilang maaf padanya kereta sudah masuk ke mulut terowongan yang mulai gelap dan aku merasa pengap. Tangan dan kakiku bergetar hebat, aku takut gelap. Tiba-tiba kumerasa ada jari-jari hangat yang memegang tanganku “Tenang ya mas, sebentar lagi kita keluar dari terowongan ini. Tutup saja matanya mas!” Aku menuruti kata-katanya sampai akhirnya aku membuka mata dan melihat cahaya. “Sudah tak cemas kan sekarang?” Tanyanya. “Makasih mba, maaf saya punya fobia dalam kegelapan” seruku sambil menahan malu. Amaru tertawa kecil dan memperkenalkan diri “saya Amaru”. “Saya Bono” sambil menyodorkan tangan untuk bersalaman.
Baru sebulan lalu aku putus dengan pacarku pada saat itu, tapi sepertinya jantungku sudah bisa kembali berfungsi merasakan debaran-debaran karena perempuan. Amaru perempuan yang manis dan menyenangkan sepanjang perjalanan kami berbincang. Dia seorang caddy yang menyambi pekerjaan menjadi seorang selebgram. Usianya 2 tahun di bawahku, dengan make up nya yang agak tebal sebetulnya kukira umurnya lebih tua dari umurku yang hampir menginjak 27 tahun. Hampir semua obrolan Amaru aku tak begitu paham, dia menceritakan beberapa tempat Hype di Jakarta yang sering dia kunjungi. Tidak ada satu tempat pun yang cukup familiar buatku. Karena aku memang lelaki kuper.
Aku sendiri seorang mahasiswa S2 jurusan manajemen yang mengambil pekerjaan paruh waktu sebagai photographer. Bajuku mungkin memang kurang perlente tapi mukaku bisa dibilang cukup tampan, itu yang dibilang oleh teman teman perempuanku. Terbalik denganku yang sedang dalam perjalanan pulang, Amaru malah sedang akan berwisata di Yogya, dia tinggal di Jakarta sedari lahir dan tentu saja ini bukan trip pertama kalinya ke Yogyakarta dia sering bulak balik ke Yogya hanya untuk keperluan konten di Instagramnya. Entah itu berupa review tentang objek wisata maupun kulener setempat.
Tentunya sebagai selebgram banyak sekali foto dirinya di laman instagram. Dia memberitahuku nama akunnnya. Jujur saja aku tidak memperhatikan soal selebgram atau hal populer lainnya. Aku hanya mengikuti tren fotografi dan musik country favoritku, dan mengenai Amaru Biru nama yang aku baca di lamannya, dengan 1,3 juta pengikut ini adalah seorang selebgram populer.
Amaru tertidur dan tak ragu untuk menyenderkan kepalanya di bahuku. Sekitar 2 jam lagi kita akan sampai. Sambil melihat pemandangan sesawahan di balik jendela aku melihat laman instagramnya Amaru. Ada sekitar 150 foto dirinya. Nampaknya dia senang dengan warna hitam, sebagian fotonya bergaun hitam. Beberapa dengan gaun terbuka di punggung dengan belahan paha yang tinggi, dan sisanya pakaian tidur berenda hitam yang menerawang. Tampak dadanya terlihat lebih besar dari pada aslinya. Ada ribuan like yang sebagian besarnya adalah laki-laki. Tak sengaja aku baca beberapa komentar dari beberapa fotonya, ada yang berkomentar Amaru orang yang sombong, dan yang terparah adalah yang sebut dia “l*nte virtual”.
“Segala hal yang kamu lihat di media sosial adalah kepalsuan. Begitupun aku, aku tak pernah senyum segirang itu selain hanya untuk keperluan foto. Badanku pun tidak sesexy itu. Lihatlah gak sebegitu besarnya kan!” Sambil membusungkan dadanya dan tertawa lalu melanjutkan “Instagram ini sumber penghasilan utamaku, kalau ada foto yang kurang pantas, biarlah orang berpikir apa, aku gak peduli. Yang aku pentingkan hanya brand-brand yang masih mengkontrak aku sebagai ambassador produk. Sebetulnya aku ini hanya seorang cady yang gemar membaca”.
Aku hanya menganggukan kepala mengiyakan yang dia katakan. Sebetulnya akupun tidak peduli dengan dunia selebgram atau apapun yang ada di media sosial. Aku tak peduli apakah dia perempuan baik-baik ataupun l*nte seperti yang dibicarakan orang. Aku sudah menganggapnya temanku.
“Jadi kamu menginap dimana selama di Yogya?” tanyaku. “Hari pertama di Yogya aku menginap di Kaliurang, ada sesi foto di sana. Hari berikutnya aku masih tunggu kabar untuk jadwallku. Hey barangkali kamu mau menemaniku di Yogya? Atau boleh kan aku menginap di rumahmu saat senggang? Atau kamu bisa mengantarku kemanapun, kamu kan orang Yogya, aku gak paham betul jalanan Yogya” jawabnya. “Urusan gampang toh aku free, urusanku sudah beres semua di Jakrta. Aku memang pulang untuk istirahat.”
Kereta sampai di stasiun Tugu jam 8 malam. Aku dan Amaru bertukar nomor ponsel agar kami bisa saling berkabar lagi. Setelah ucapkan selamat tinggal dan jalan beberapa langkah kudengar langkah ketukan sendal ber-hak tinggi menyusul di belakangku. Aku menoleh ke belakang dan melihat lagi senyumnya, senyum manis si perempuan di kereta. “Bono, bagaimana kalau kamu temani aku di Kaliurang, malam ini kita menginap bersama di hotelku” pintanya.
Malam itu aku melihatnya secara dekat, dekat sekali hanya sejengkal sebelum kami berciuman dan menghabiskan malam tanpa tidur. Aku memecah sunyi saat dia sedang asyik kudekap.
“Bagaimana pekerjaan caddy itu, apa cukup sulit untuk terus berdiri tegap di tengah lapangan saat cuaca sedang terik?” “Hmm caddy cukup asyik, awalnya aku tak tertarik, sampai suatu hari di lapangan aku bertemu seorang pria yang payah sekali bermain golf sampai aku gemas untuk mengajarinya. Pria ini sungguh unik dan menarik. Setiap habis bermain golf dia menghadiahiku novel-novel favoritnya sebagai tanda terima kasih. Dia alasanku satu-satunya yang membutku tetap menjadi seorang caddy, karena dia juga aku tertarik membaca buku. Persetan dengan selebgram, aku ini seorang caddy pro” sambil tertawa seakan merasa puas atas profesi caddynya.
“Nah terus apa lagi yang terjadi?” “Hey Bono aku sudah cukup banyak cerita, giliranmu sekarang. Ceritaku akan kulanjutkan jika malam-malam berikutnya kamu masih mau menemani aku di Jogja” “Setuju”.
Aku mulai menceritakan tentangku malam itu, dari mulai nama panjangku, Bono Prabowo, orangtuaku yang sudah tiada, hobiku, dan ambisi hidupku. Aku pun mulai terbuka kepadanya dengan menceritakan perempuan-perempuan yang pernah singgah dalam hidupku. Aku bukan seorang bangsat yang memainkan perempuan. Walau mantanku banyak tapi tak pernah sekalipun aku berselingkuh. Kami selalu berakhir dengan baik baik.
“Sepertinya kamu tidak pernah post foto mantanmu, aku hanya melihat foto keluargamu, kemarin di kereta sesaat setelah aku accept friend requestmu. Banyak foto ayahmu” tutur Amaru. “Ahh hanya kebetulan saja, aku gak tertarik untuk selalu upload foto” jawabku. Amaru melihat mataku dalam-dalam lalu tersenyum.
Pada pagi itu hujan deras mengguyur Kaliurang dan kami tidak bisa keluar berpergian, jadwal foto Amaru pun ditunda keesokan harinya. Amaru memperpanjang sewa kamar. Dan aku masih berbaring di dalam selimut, memikirkan rencanaku untuk hari ini. “Hey Amaru, kenapa gak aku saja yang foto kamu. Hotel ini punya banyak spot keren” aku bilang kepadanya ide yang tiba-tiba muncul. “Ide bagus aku lupa kalau kamu seorang photographer, kita mulai dari dalam kamar” sahutnya.
Cerpen Karangan: Eleanor Rigby Blog / Facebook: Devina putri aruma Penikmat lukisan yang terbuat dari susunan kata-kata