Perempuan manis ini di depanku hanya mengenakan gaun tidur berbahan sutra berwarna abu gelap, tidak ada renda dan hanya sedikit jahitan, sepintas terlihat seperti kain yang dililit untuk menutupi tubuhnya. Dan tentu dia tidak pakai apapun di baliknya, hanya gaun sutra abu gelap yang menempel. Amaru sangat luwes berpose dari mulai di atas sofa, dekat jendela, dan di atas ranjang. Aku mendekatinya untuk mengambil foto close up. Amaru menarik tanganku dan berbisik “Bon, bisakah kamu memotretku tanpa busana?” Pintanya. “Tentu aku bisa kalau kamu mau” jawabku
Amaru melepas gaun abu itu, aku memperhatikan kulitnya yang agak coklat mengkilat dan halus. Dia berpose miring sehingga lekuk tubuhnya jelas sekali terlihat. Aku tersenyum ke arahnya. Dia membalas senyumku dan aku memotretnya.” Sempurna, ini sudut dan cahaya yang paling tepat” tuturku sambil memperhatikan foto hasil jepretanku untuk mencari apa yang masih kurang ataupun salah sementara Amaru memakai gaunnya kembali. Aku tidak menemukan apapun yang salah pada foto itu. Tidak ada yang salah selain diriku sendiri, aku jatuh cinta padanya.
Keesokan harinya di malam Minggu, kami pergi ke Malioboro. Kami duduk di atas batu bundar diujung jalan dekat tugu titik nol. Yogya di malam hari tak pernah seindah ini. Aku memperhatikan beberapa bangunan tua diseberangku, PT. Pos Indonesia dan sebuah Bank swasta. Semoga belasan tahun kedepan bangunan ini tidak berubah. Aku tak rela jika bangunan-bangunan tua itu berubah menjadi mall. Aku memperhatikan Amaru sedang membalas beberapa komen positif di laman Instagramnya tentang fotonya, yang 10 menit sebelumnya kufoto dan dia beri judul Malioboro Malam. Bagiku dia sosok yang ramah, periang, dan baik hati. Tentu aku menganggapnya perempuan baik-baik tidak seperti yang digunjingkan orang-orang di Instagramnya. Tutur katanya pun baik dengan pemilihan diksi yang enak didengar dan tak pernah menyinggungku.
Kami kembali ke hotel malam itu, kali ini Amaru menyewa hotel dekat Malioboro. Aku rebahan di atas ranjang memanjangkan kakiku yang terasa pegal setelah berjalan sepanjang Malioboro. Amaru diduk di sisi ranjang asyik melanjutkan membaca buku yang dia baca di kereta pada saat itu. Aku menariknya supaya rebahan di sampingku. Dia menutup bukunya, berbaring dan menatapku. Dia mengelus rambutku, menyentuh pipi dan bibirku. Aku tak kuasa untuk tidak menciumya. Aku bertanya padanya apa dia ingin melanjutkannya. Amaru mengangguk dan melepaskan pakaianku.
Kami berbaring kelelahan dan aku meminta Amaru melanjutkan cerita tentang si pria pemain golf di tempat kerjanya “Baik akan aku lanjutkan ceritanya. Setelah hari pertama kami bertemu, dia mengajaku makan malam di salah satu rooftop tertinggi di Jakarta. Dia bilang dia ingin ditemani makan. Pria ini sering melihat jam dan sibuk dengan ponselnya ketika kami mengobrol. Dia memang pria yang sibuk, sangat. Dia menceritakanku banyak hal tentang pekerjaan dan tentang keluarganya. Tentang anaknya dan mendiang istrinya.”
“Apakah pria ini jauh lebih tua darimu?” “Iya anaknya seumuran denganmu Bono, Setiap kali dia menceritakan tentang mendiang istrinya dia selalu menangis, dia sangat mencintai istrinya. Wajah yang biasa kulihat ceria dan berwibawa mendadak lesu dan memelas. Bukan kasian yang aku rasakan tapi sejak saat itu aku mulai tertarik dengannya, bukan hanya tertarik tapi aku mulai mencintainya. Kami mulai berhubungan dekat, dia menyewakanku apartmen di daerah Selatan Jakarta. Setiap hari dia mengunjungiku kami sering tidur bersama. Aku senang setiap menghabiskan waktu dengannya dan dia selalu membacakanku novel novel yang sedang dia baca. Dia gemar sekali membaca. Dia menolongku saat masalah muncul dalam hidupku dan dia orang yang selalu ada ketika aku merasa kesepian. Aku sangat rindu padanya”
“Kemana dia sekarang?” “Aku tidak akan pernah bisa bertemu dengannya lagi, memeluknya, merasakan hangat bibirnya”
Malam itu aku tidak bisa tidur, hujan deras lagi lagi turun, terdengar butiran es kecil mengenai kaca hotel mewah tempatku menginap, tepat di seberang parkiran stasiun Tugu. Amaru tertidur di sebelahku setelah cerita panjang mengenai si pria golf. Ya si pria golf, aku sempat memanggilnya “si pria golf” sebelum aku tau namanya. Aku memperhatikan wajah Amaru yang sedang terlelap. Dia memang tidak cantik menurutku, tapi entah mengapa dia sangat manis dan menarik. Ada tahi lalat agak besar di atas pay*dara kanannya. Aku mengelusnya dan dia terbangun.
“Kok belum tidur Bon?” Tanyanya. “Amaru, aku ingin terus menemanimu setiap hari, setiap malam. Aku ingin bersama. Aku jatuh cinta padamu” kataku dengan lantang di malam itu. Amaru bangun dan duduk dia melihatku lekat-lekat sembari mengepalkan tangannya dan menaruhnya di atas pahanya. “Maaf Bono, aku tidak utarakan ini sedari awal. Pertemuan aku denganmu memang kebetulan pada awalnya. Sampai aku melihat instagrammu, dari situ aku ingin mengenalmu. Aku ingin lebih dekat denganmu, aku ingin merasakanmu Bono karena aku sangat rindu dengannya. Tapi aku salah, tetap rasanya tidak sama seperti pelukannya, meski kalian memiliki bau yang sama, gerak gerik yang sama, cara jalan, dan wajah dan senyum yang sama. Kamu tidak bisa jadi obat rinduku padanya” penjelasan Amaru sambil berkaca kaca hingga akhirnya menangis.
Hujan mulai mereda sesaat setelah Amaru selesai bicara, waktu menunjukan pukul 5 pagi. Aku masih di posisi yang sama di atas kasur itu, membeku. Pikiranku mendadak kusut. Apa yang Amaru biacarakan padaku seperti paragraf teka teki yang harus aku pecahkan sementara hatiku terasa sakit. Aku kelu tak ada satu katapun keluar dari mulutku saat aku rasa aku berhasil memecahkan puzzle ini.
Amaru membereskan kopernya mengucapkan selamat tinggal padaku dan menyerahkan buku berjudul Bumi Manusia kepadaku “aku sudah beres membacanya, saatnya aku kembalikan” tuturnya. Dia mencium keningku dan pergi, bahkan bayanganya tidak mengikutinya dibelakang. Amaru bagai lenyap di balik pintu kamar hotel itu.
Aku ingat betapa kagetnya aku saat itu. Saat aku memegang buku itu dan aku pastikan jawaban teka teki itu dengan membuka halaman pertamanya, tertera nama dan tanda tangan seseorang pemilik buku, Ramadi Prabowo, ayahku yang meninggal 1,5 tahun lalu saat menyetir dalam perjalanannya menuju Jakarta.
Akhirnya kereta yang kunaiki ini keluar dari terowongan, aku membuka mataku dan menarik nafas panjang. Nampaknya kenangan akan Amaru setahun lalu masih hatam kuingat. Aku mengeluarkan kameraku mencari poto Amaru yang pernah aku potret saat itu. Terlihat seorang perempuan manis tanpa busana di dalam kamera. Aku menghapusnya dari kameraku dan mencoba melupakanya dari ingatanku. Biarlah cerita itu berlalu. Kereta ini membawaku pada cerita baru. Aku sedang dalam perjalanan ke Bandung menemui calon istriku.
Cerpen Karangan: Eleanor Rigby Blog / Facebook: Devina putri aruma Penikmat lukisan yang terbuat dari susunan kata-kata