“Apa? Jadi kau menyuruhku untuk berpura-pura menjadi Radit khayalanmu itu?” Ada kekecewaan yang terdengar dari setiap desiran nafasnya. Aku mengangguk, “aku mohon, bantu aku. Ini semua sudah terlanjur.” Kataku dengan memasang muka memelas.
Anggra menatapku dalam, lalu mendengus dan seketika memalingkan muka dariku. “Aku mohon. Bantu aku,” aku mengulangi lagi perkataan yang sama padanya seraya memegang kedua tangannya. Dia melepaskan tanganku, “apa kau yakin?” ujarnya seraya memegang pundakku.
“A a aku tidak tahu. Tapi, kau hanya perlu untuk berpura-pura menjadi Radit dan temui Nintya malam ini.” Ucapku ragu. Sebenarnya, aku tidak ingin membiarkan Anggra untuk berduaan dengan wanita lain. Tapi apa yang bisa aku lakukan? Aku sudah terlanjur berbohong pada Nintya, mengerjainya.
“Baiklah, jika itu yang kau inginkan,” sahutnya pelan, dengan melepaskan pegangannya. “Aku harap, kau tidak akan menyesal dengan apa yang kau lakukan sekarang ini.” Sambungnya dengan berangsur pergi.
Deg! Bagai tertancap ribuan anak panah. Perkataan terakhirnya sungguh membuat mataku pedih. Ingin sekali aku menumpahkan bulir-bulir bening yang telah menggenang di sudut mata.
—
Saat matahari telah kembali ke peraduannya, dan sang rembulan mulai tersenyum bagai lentera penerang diantara gelapnya malam. Bintang-bintang ibarat lampu-lampu kota yang berkerlip.
Aku harus kuat. Aku harus kuat melihat semua yang akan terjadi di hadapanku. Jangan sampai, air mata ini jatuh dan membanjiri wajahku. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, tapi yang aku lihat, Anggra telah melakukan keinginanku dengan baik. Hingga akhirnya, kristal bening mulai menggenang di mataku. Melihatnya berpelukan dengan wanita lain.
Seketika, angin berhembus, membelai wajahku, menyentuh mataku, dan kristal bening itupun menetes. Aku tak mungkin tiba-tiba muncul di hadapan mereka, meminta Anggra kembali. Aku mencoba untuk bertahan, melihat kemesraan diantara mereka. Namun, hati ini cukup perih untuk melihatnya. Hingga aku putuskan untuk pergi darinya.
Tak peduli dengan tatapan orang yang melihat ke arahku, dengan air mata yang membanjiri wajahku. Yang aku tahu, aku hanya ingin berlari sampai kaki ini terasa lelah untuk melangkah, sampai air mata ini berhenti untuk terus mengalir.
—
Rinai-rinai air yang turun dari langit, seolah menjadi tirai di sore yang mendung ini. Semilir angin mencoba mencari celah diantara nyanyian air yang terus saja menjatuhkan dirinya di tanah-tanah yang memintanya untuk terus mengguyurinya.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” ketusnya yang memecah kesunyian diantara derasnya rintikan hujan. Matanya mencoba untuk menerawang ke arah kristal bening yang jatuh ke bumi. “Tidak ada.” Jawabku singkat. Walau nyatanya, aku berbohong. “Apa yang sedang kau rasakan?” tanyanya kembali. “Tidak ada.” Jawabku sama, aku berbohong lagi. “Kau bohong!” sahutnya yang seakan bisa membaca pikiran dan ikut merasakan apa yang sedang aku rasakan. “Aku tidak berbohong. Aku mengatakan yang sebenarnya.” “Kau bohong!” dia mengulangi perkatannya kembali. Namun, kali ini terdengar lebih tegas. Dia membalikkan tubuhku untuk menghadapnya.
Tatapan itu … matanya yang teduh, mencoba untuk masuk lebih dalam pada jiwaku. Hangat. Rindu. Aku sangat rindu dengan tatapan matanya, senyumnya, jengkelnya, aku rindu semua darinya. Setelah sebulan aku merasa perih. Luka. Sendiri. Hancur! Tidak tahukah kau?
“Kau berbohong kan? Kau pasti menyesal dengan semua yang telah kau lakukan. Iya kan? Katakan yang sejujurnya.” Ujarnya yang masih menatapku dalam.
Aku menundukkan pandangan, “aku tidak pernah menyesal dengan semua yang telah aku lakukan.” Ucapku berbohong. Sungguh, bukan ini yang ingin aku katakan. Kau benar, aku menyesal dengan semua yang telah terjadi. Bukan maksudku untuk menyuruhmu pergi meninggalkan hatiku.
Dia mengangkat wajahku, memintaku untuk menatapnya kembali. “Tapi, matamu mengatakan, jika kau berbohong. Apa kau tidak merasa sakit, melihat diriku bersama wanita lain?” katanya dengan tegas. Seolah ada kekecewaan darinya.
Aku melepaskan tangannya. Memalingkan wajah darinya, dan menutup mata mencoba untuk merasakan kesejukan dari tiap-tiap tetesan air menyentuh hatiku.
“Apa yang kau lakukan?” “Aku sedang meminta kekuatan.” “Kekuatan untuk apa?” “Kekuatan untuk melihat kau terus bersama dengannya.” Ujarku dengan melihat ke arahnya. Mata itu terlihat berbeda. Datar. “Apa kau tidak merasa sakit? Menyesal? Ataupun cemburu?” Aku menggelengkan kepala. Walau sebenarnya bukan ini yang aku maksudkan. “Dengar.” Ketusnya. “Asal kau tahu. Teman yang selama ini kau bohongi, telah sepenuhnya percaya jika aku adalah Radit yang sedang kau sandiwarakan. Dan …”
Aku terdiam. Hati ini serasa berdesir hebat, siap tidak siap mendengar kelanjutan dari perkatannya. Dia kembali menatapku dalam. Entah tatapan apa itu. “Dia mencintaiku,” timpalnya.
Duaarrrr!! Seketika hati ini hancur. Hancur. Air mata mulai menggenang di sudut mataku, siap untuk kutumpahkan. Namun, aku mencoba untuk menahannya.
Dia mendekat mendekat dan mendekat. Mendongak wajahku untuk mengahadapnya. “Jangan pernah memintaku untuk meninggalkan hatimu. Aku tidak mau menyakitimu.” Ujarnya dengan desiran nafas yang seolah masuk ke dalam jiwaku. Aku merasakannya.
“Aku ingin mundur,” ketusnya. “Mundur?” kataku dengan mengernyitkan dahi. “Untuk apa?” “Akupun tidak mau menyakiti wanita lain. Dan aku ingin kau tahu, dengan cara seperti ini kau telah melukai dua hati. Kau tak perlu tahu siapa itu, tapi yang perlu kau tahu, jangan sia-siakan orang yang benar-benar menyayangimu, karena kau tidak akan pernah menjumpainya lagi.”
Air matapun mulai mengalir. Jatuh. “Aku mencintaimu sepenuhnya,” ujarnya dengan mencium keningku. Lalu dia mulai berjalan mundur dan berangsur pergi dari hadapanku.
“Anggra!” teraikku.
Dia berbalik arah, senyum hangat terlihat diantara milyaran rintikan hujan yang menghembuskan hawa dingin. Dia melambaikan tangan padaku dan kembali melangkah menjauh. Aku mencoba untuk berlari mengejarnya, namun rintikan hujan seumpama mencegahku untuk kembali padanya.
Aku terjatuh bersama dengan air mata yang menetes. Aku tidak tahu, salahkah dengan yang aku lakukan? Kemana dia akan pergi? Begitu mudahkah aku melepas orang yang menyayangiku sepenuhnya? Aku hanya bisa memandangi punggung tubuhnya, yang mulai menghilang dari pandangan, bersama dengan rintikan hujan yang mulai deras.
Cerpen Karangan: Anna Jihan Oktiana Blog / Facebook: Anna Jihan Oktiana