Jam sudah mengarah pada pukul 12.35 di kelas, yang mengartikan waktu Istirahat telah tiba. Aku yang tidak sadar karena sibuk mengalihkan seluruh perhatianku pada Rainanda pun terkejut mendengar panggilan dari Adit, “Woy Panji! Jadi ke kantin ga? Udah.. ga usah diliatin terus, orangnya ga bakal kabur kok.”
Setelah mendengar ocehan dari Adit kami turun menuju ke arah kantin, aku yang sedang kelaparan memutuskan membeli batagor, “kaya biasa ya bu, 5 ribu, kacang sama pake tahunya 2.” Sedangkan Adit hanya membeli segelas minuman dengan harga yang sama dengan batagorku. Kami hanya mengobrol sebentar di kantin, Adit yang minumnya telah habis hanya dapat menungguku menghabiskan makananku.
Batagorku sudah habis, tiba-tiba Rainanda melewatiku dan Adit. Sebenarnya aku belum ingin kembali ke kelas, aku ingin menunggu sampai dia kembali dan kami berjalan ke kelas beriringan, tetapi Adit sudah protes, “Ji ayolah balik! Lu kan tau sendiri di sini pengapnya ga ngotak.” Mau tak mau aku menuruti permintaan Adit dan kembali ke kelas, padahal aku ingin sekali menunggu Rainanda, ya… walaupun aku cuman bisa liat dari belakang sih, dia juga tak akan peduli jika aku ada di belakang dia.
Suatu hari, hari tersialku pada SMA. Aku masih ingat betul itu adalah hari Selasa, 4 Oktober 2022. Hari itu dimulai dengan bensin motorku habis di tengah jalan jadi aku harus mengisi bensin, dan alhasil aku telat. Tidak berhenti sampai di situ, PR yang semalam aku kerjakan di ambang-ambang tidur juga tidak terbawa, padahal di ingatanku aku sudah menaruhnya diantara buku geografi dan matematika. Di saat waktu istirahat, tiba-tiba ada razia dadakan yang menyebabkan rambutku menjadi terpotong acak-acakan, rambutku hampir saja menjadi pitak. Akupun berkata asal pada Adit yang rambutnya juga terpotong, “Apakah hari ini bisa jadi lebih buruk!” dengan kesal.
Omongan asalku terkabul. Rainanda masuk kelas dengan sangat senang, satu kelas langsung melihat ke arah pintu. Aku seperti melihat anak kecil yang akhirnya dibelikan Kinder Joy setelah menangis berguling-guling di lantai. Kesenangannya bukan tanpa arti, aku melihat tangannya menggenggam sesuatu, “itu surat bukan ya Dit?” Tanyaku ke Adit, “hayo… dia dapet surat dari siapa tuh, malah seneng banget lagi,” ejek Adit. Aku menjadi diam, tak tahu mau merespons seperti apa. Aku menjadi bisu. Hatiku tak bisa menahan detakannya, tanganku bergetar, aku bingung, pasrah.
Adit membantuku untuk bangkit dan tetap semangat, dia menanyakan ke teman dekat Rainanda. “Nay, itu Rainanda kenapa kaya orang kesurupan gitu?” Tanya Adit ke Naya, Adit dan Naya tidak mempunyai hubungan khusus, tapi mereka berdua mempunyai cerita yang cukup menarik, mungkin kapan-kapan akan aku ceritakan. “Biasalah, namanya orang lagi jatuh cinta,” jawabnya dengan senyum tipis. Adit yang belum puas dengan jawaban dari Naya, mulai mengulik informasi, “Jatuh cinta gimana maksudnya?” “Iya jatuh cinta, Surat itu tuh dari Rafqi anak X-1, mereka udah deket dari bulan lalu, terus sekarang mereka lagi surat-suratan deh. Gua juga bingung sih padahalkan jaman sekarang udah ada WA ya?” “Katanya sih biar kaya jadi romantis gitu deh.” Penjelasan dari Naya sudah sangat amat jelas. Mereka sudah saling suka.
Setelah mendapat penjelasan, Adit kembali kepadaku dengan wajah kurang mengenakan, wajahnya yang biasanya sudah kusut, kini berubah menjadi suram. Adit menjelaskan semua yang dia dengar kepadaku. “Ternyata hari ini masih bisa menjadi lebih buruk,” hanya itu kata-kata yang bisa keluar dari mulutku.
Sekarang aku ingin cepat-cepat pulang dan segera berbaring, menggunakan headset dan memasang playlist lagu sad yang aku buat 2 bulan lalu. Tetapi waktu seperti melambat, aku yang biasanya mengobrol dengan yang lain, kali ini hanya bisa diam dan menyandarkan kepalaku di atas meja. Setelah 2 jam yang terasa seperti di neraka, akhirnya kami pulang. Aku dan Adit tak memilih jalan yang biasanya kami lewati, karena aku sedang ingin menghindari kerumunan.
Akhirnya kami berdua mencari tempat yang sepi, kami yang tahu bahwa pintu keluar masih sangat ramai, memutuskan untuk menunggu sementara. Karena bosan menunggu, kami berjalan keliling koridor. Tak terasa 20 menit sudah berlalu, “Udah lumayan sepi nih, turun yu,” kata Adit. Akhirnya kami pun turun. Saat kakiku ingin menapak satu anak tangga ke bawah, aku mendengar sebuah suara yang sangat amat familier. Suaranya berasal dari kelas di belakangku, X-6. Aku mengintip dari jendela, benar seperti dugaanku, mereka berdua sedang bermesraan di dalam.
Rafqi, Rainanda, dan Naya sedang ada di dalam, mereka mengobrol bersama dengan tangan Rainanda dan Rafqi yang saling menggenggam satu sama lain. Seketika duniaku seperti hilang, lenyap. Penglihatanku seperti menjadi hitam-putih, warna-warni yang biasanya aku lihat saat melihat Rainanda kini berubah menjadi kesedihan yang mendalam.
Aku tahu betul posisiku, aku tidak punya hak sedikitpun untuk merasa cemburu. Jadi aku hanya bisa melanjutkan jalan tanpa satu kata pun yang keluar dari mulutku. Adit juga hanya melanjutkan langkahnya sambil mengelus punggungku, aku sudah tau apa yang ingin dia sampaikan. Aku hanya bisa berpikir bahwa hari ini mungkin sudah tidak bisa menjadi menjadi lebih buruk lagi.
Hari yang sangat melelahkan itu berakhir dengan headset yang terpasang di telingaku dan suara menghela nafas di sepanjang malam. Aku memerlukan beberapa hari untuk merelakan apa yang sudah terjadi, belajar untuk mengetahui bahwa memang beberapa hal akan lebih menyenangkan saat masih berada di etalase bukan saat di genggaman. Beberapa hari setelah itu hanya kuhabiskan dengan rutinitas biasa, sekolah, nongkrong, makan, mandi, tidur. Teman-temanku banyak yang menanyakan bagaimana kondisiku, karena aku terlihat sedih dan menjadi pendiam. Aku hanya bisa menjawab dengan mengatakan, “Gapapa kok, lagi ada pikiran aja.” Mereka menanyakan apa yang sedang aku pikirkan, tapi untungnya skill mengelesku cukup bagus.
Sekarang aku sudah terbangun dari mimpi burukku, aku sudah bisa menjadi Panji yang dulu lagi. Panji yang bahagia saat dapat membuat orang lain tertawa. Walaupun aku tidak bisa menyangkal jika aku masih memiliki rasa kecewa saat melihat Rainanda dan Rafqi berdua. Tapi mau bagaimana lagi, aku hanya bisa menyembunyikan perasaan itu agar tidak ada satu pun orang yang tau, dan tidak menjadi canggung jika aku dan Rainanda bertemu.
Saat ini aku berpikir bahwa aku sudah puas soal cinta-cintaan dan ingin fokus ke sekolah terlebih dahulu. 2 bulan aku lewati dengan fokus giat belajar. Namun, semua fokus itu seakan sirna saat datangnya seorang wanita yang sangat menawan. Wanita itu bernama Reya Adila Putri.
Cerpen Karangan: Pandu Jatu Pradityo