Gegap gempita dan nyala lampu yang bersahutan di langit gelap kota sudah menjadi latar cerita sejak lama. Mereka merayakan entah apa, tak pernah berhenti berpesta di tengah hiruk pikuk rasa yang tak jelas bentuknya. Mereka jadi ramai yang terlalu ramai, hingga pengap, hingga tak ada sela untuk mengambil napas.
Oksigen sudah menyatu dengan berbagai zat karbon dan zat lain di udara. Seperti mereka, berbagai rasa dari insan-insan yang hilir mudik pun mengeruh di atmosfer, menjadi abu dan tak jelas warnanya. Dan di tengah-tengah semuanya, ada yang diam dan tak bergerak. Ada yang menanti alur maju yang berhenti — tak bisa diminta untuk melaju lagi.
Rekaman-rekaman akan ingatan lama berkejaran di udara, menjadi dukungan untuk sebuah kata tidak yang tertahan di tenggorokan, sama sekali tidak bisa disuarakan. Kata tidak itu tidak bisa hilang, tidak pernah hilang. Apakah terlalu menyakitkan untuk terus berlanjut ceritanya? Apakah terlalu buruk rupa untuk terus ditatap dan dihadap? Apakah tak bisa jika kembali lagi kita tukar kata maaf dan gantikan semua geram dengan tawa?
Serapah-serapah mungkin tak mengudara siang ini. Akan tetapi, aku tau diam adalah pertanda untuk berhenti. Kita tak akan bisa ke mana-mana lagi.
Kamu tak berkata, aku pun tidak. Kita tak bisa lagi menyelesaikan apa-apa yang telah kita mulai. Kamu habis kata, aku begitu juga. Kita sama-sama tak bertukar suara untuk sekadar menemukan jalan keluar dari semua debat-debat tidak bermakna yang lagi-lagi terulang.
Katamu, “Kita sudah tidak saling mengerti dan aku muak dengan itu.”
Apakah usahaku sia-sia dan usahamu tak bisa kutarik maknanya? Sejauh ini, kita sering larut dalam tawa dan gemerlap bahagia hingga dunia terasa hanya milik kita. Sejauh yang aku rasa, kita tak jarang mengelilingi kota hanya untuk mencari apa yang kita suka dan berbagi apa yang kita temukan. Akan tetapi, apakah segalanya memang tak memiliki nilai ketika dibandingkan dengan segala yang tidak kita setujui sama-sama?
“Lagipula, jika memang tidak bisa, tentu tidak bisa kita paksa agar terus seirama. Aku sudah tidak bisa paham akan apa yang jadi inginmu dan sebaliknya. Kita tidak bisa terikat sedang sama-sama ingin lari entah ke mana. Biar seperti yang seharusnya—”
Kamu menghela napas.
“Biar aku kejar yang aku kejar dan kamu kejar apa yang kamu kejar. Biar bebas berlari tanpa takut berhenti, biar bebas lari tanpa perlu menoleh ke belakang dan berusaha saling mengerti, kemudian gagal lagi.”
Aku menghela napas.
Kita sama-sama di stasiun, kami seolah sama-sama di stasiun dengan kereta tujuan berbeda. Kamu siap ikut ke barat, sedangkan aku terburu-buru ke timur. Kamu sudah siap berangkat, pun aku begitu. Lalu mengapa masih tak kita lepas genggam tangan dan memaksa untuk diam dan nyaman?
Namun, di tengah keputusan yang sudah siap kuterima itu. Awan-awan penuh menutupi hampir seratus persen langit kota yang tadinya biru. Mereka membawa waktu lalu yang indah dan tak ingin kulepas. Tentu aku tidak ikhlas dan rela untuk lupa akan semua yang telah dirangkai dengan indah oleh gabungan aku dan kamu yang disebut kita dalam sesaat. Mungkin bisa aku melambaikan tangan sekarang, namun apakah kemudian bisa kubuang segala bentuk ingatan dan apakah mungkin rindu tidak ikut di pundak?
“Dengan begitu, tak akan aku dan kamu saling maki dan saling umpat. Dengan begitu, kita selesai dan tak ada lagi luka yang aku toreh padamu pun sebaliknya.”
Seketika aku penasaran, apakah tak ada luka yang tertoreh di dada sejak kalimat itu disusun di kepala sampai keluar dan mengudara? Sedang buatku, pengaruhnya tak main-main luar biasa. Namun mau tidak mau, akhirnya kulepaskan semuanya. Kulepaskan apa-apa kecuali kata tidak yang masih tertahan di tenggorokan. Tidak apa-apa, terkadang memang tak semua yang diimpikan bisa jadi nyata dan yang diinginkan bisa sesuai muncul di depan mata. Tidak apa-apa sebab terkadang yang kita bisa lakukan hanya menerima dan melanjutkan perjalanannya.
Aku dan kamu sudah siap naik kereta dan tentu saja kereta yang berbeda.
“Maaf, ya,” ucapmu sebelum kemudian mundur dan menghilang. Aku bukan seorang pendendam, namun tak bisa kata iya mengudara begitu saja. Aku masih ingin bilang tidak, tidak dan tidak. Masih begitu banyak kata tidak dan terjebak di dalam kepala, ingin memberontak namun mereka terpenjara.
Tapi pada akhirnya, aku hanyalah penerima dari apa-apa yang sudah ada garisnya, sudah ada alurnya. Maka dari gerak tanpa suara, aku sudah memutuskan untuk berbalik juga dan ikut melupa, karena ada kereta yang sudah menungguku untuk segera pergi sejauh-jauhnya dan menyelesaikan semua yang tertunda.
Sejak ini, tidak ada lagi syarat-syarat sebab praduga, tidak takut apa yang bernama kita tak bisa dijaga selamanya. Semuanya sudah lepas dan aku pun kamu akan pulang ke rumah dan tujuan masing-masing, tanpa perlu saling mengerti, tanpa perlu saling menunggu dan menyetujui. Secara tidak langsung aku sudah setuju untuk naik kereta dan pergi, juga membiarkan kamu naik di jalur berbeda ke stasiun yang berbeda sesuai tiket yang sudah kamu beli.
Pada akhirnya, biar kita terbang sebebas-bebasnya dengan tanpa saling menoleh ke belakang, tak terbatas paham dan bisa mengambil jalan. Jika arah kita tak sama, biar aku dan kamu berjalan ke arah yang didamba.
Cerpen Karangan: Maulidya Putri Agella