Ini kisahku, kisah seorang anak perempuan terakhir yang selalu memendam masalahnya sendiri. Masa kecil yang tidak begitu bahagia dan dididik dengan keras. Walaupun keluargaku utuh tapi aku merasa sangat kekurangan kasih sayang. Tidak seperti anak pada umumnya, yang bisa bercerita tentang apa saja kepada orangtuanya, aku hanya bisa memendam apa yang aku rasakan sendiri. Walaupun begitu aku sangat menyayangi kedua orangtuaku. Karena bagaimana pun merekalah yang membesarkankanku. Tapi karena didikanya yang keras, kini aku tumbuh menjadi wanita yang keras kepala, bahkan orang lain menilaiku egois. Ya benar, aku memang egois. Mungkin itu bentuk luapan emosi yang selalu aku pendam tanpa bisa bercerita.
Semakin dewasa aku merasa beban hidupku semakin berat. Usiaku kini sudah 27 tahun, usia yang tidak lagi muda bukan? Tapi sampai saat ini belum kutemukan kebahagiaanku sendiri. Aku pernah menikah di usian 22 tahun. Mungkin usia yang masih sangat muda untuk menjalani sebuah pernikahan. Tapi itu pilihanku, aku tidak ingin menambah dosa dengan berpacaran. Oleh sebab itu aku memilih untuk menikah di usia muda.
Aku menikah dengan laki-laki yang sudah berstatus duda dengan satu anak perempuannya yang masih balita. Saat itu usia anaknya sekitar 3 tahun. Aku menerimanya dengan lapang dada. Bahkan menganggap anaknya sudah seperti anak kandungku sendiri. Tapi apa yang kudapat? Pengkhianatan, ya dia malah berselingkuh dengan wanita lain disaat aku tanpa pamrih mengurus anaknya. Bahkan selingkuhannya sampai hamil diluar nikah. Sudah tidak terbayangkan bagaimana rasanya jadi aku saat itu. Kaki gemetar menahan amarah, rasa sedih dan kecewa. Pernikahan yang belum genap setahun harus hancur karna orang ketiga. Hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya akan menjadi seperti ini.
Setelah kejadian itu, aku pulang kerumah orangtuaku. Aku pulang sendiri karena dengan sangat terpaksa aku harus menitipkan anak sambungku kepada ibu mertua. Ini sungguh pilihan yang sulit, aku sudah menganggapnya seperti darah dagingku sendiri. Tapi aku tidak punya pilihan lain, karena aku sudah tidak mungkin mengurusnya.
Aku pun memutuskan akan bercerai dengan suamiku. Jujur, aku tidak tega dan tidak bisa menceritakan apa yang terjadi kepada orang tuaku. Namun rupanya mereka sudah mengetahuinya dari orang lain. Sepanjang perjalanan pulang, aku berusaha menahan tangisku. Membendung air mataku agar tidak berlinang. Namun sesampainya di rumah aku malah disambut tangisan dan pelukan dari ibuku. Seketika ketegaranku runtuh seraya aku melihat ibu menangis sambil memelukku. Ini, kali pertama ibu memeluk aku saat dewasa. Tapi seperti biasa, tanpa bisa berkata aku hanya bisa meneteskan air mata. Aku yakin ibu mengerti perasaanku saat ini walaupun aku tidak bercerita.
Beberapa tahun kemudian aku mulai melanjutkan hidupku, berusaha bangkit dari keterpurukan. Proses perceraianku pun sudah selesai. Aku bersyukur karena masih diberi kekuatan sampai saat ini untuk menjalani hidup. Jika aku lemah, mungkin saja saat itu aku sudah depresi dan menjadi gila.
Dari peristiwa ini aku belajar banyak hal tentang kesabaran dan ketabahan. Dan Aku juga bersyukur karena Allah memberiku mental yang sekuat ini untuk menghadapi setiap cobaan dalam hidupku. Aku berharap semoga suatu saat nanti aku bisa menemukan kebahagiaanku.
Pesanku untuk yang membaca ini, apapun masalahmu tetap semangat ya, yang kuat. Aku yakin, Allah tidak akan menguji seorang hamba di luar kemampuannya. Tetap semangat dan selalu bersyukur.
Cerpen Karangan: Desy Adeeva