Lail merangkai beberapa tangkai bunga di tangannya, sedari tadi pembeli memang hilir mudik mengunjungi toko bunganya. Gadis berumur seperempat abad itu mendadak disibukkan dengan permintaan bunga yang tidak sedikit. Beberapa kali mengusap tangannya yang berdarah–tertusuk duri bunga. Entahlah … mungkin sekarang hati manusia diberi kelembutan oleh Tuhan hingga mereka tergerak sekadar membeli bunga hingga berpuluh-puluh buket. Lail tak mengerti, apakah yang sedang berlangsung di luaran sana? Apakah ada festival hari bunga di kota Roma hari ini?
Lonceng itu berbunyi, Lail berdiri di depan meja kasir, seorang pria berperawakan jangkung memakai topi gelap berdiri di hadapannya. Pria bermanik kelam itu sesekali menilik arloji di tangan kanannya, sepertinya pria ini begitu sibuk hingga enggan membuang waktu walau hanya sedetik saja.
“Ada–” “Katakan, bunga apa saja yang kau punya di sini?” Pria itu keburu memotong sapaan Lail, membuat pipi gadis itu merona malu sekaligus kesal. “Mawar berduri, melati yang wangi, sebuket dandelion yang indah tapi ringkih, dan edelweis si bunga abadi. Sebenarnya … masih banyak lagi jenisnya namun, kami kehabisan stok bunga hari ini. Aku tidak tahu, di luar sana ada apa hingga pesanan–” “Aku mau edelweis, satu buket saja untuk istriku. Antarkan lima belas menit lagi.”
Kembali pria itu memotong ucapan Lail, Lail menghela napas sekuat-kuatnya demi menahan emosi yang bergejolak dalam dadanya. Tanpa bersuara apa-apa lagi, pria itu meletakkan beberapa lembar uang dan kertas berisi alamatnya–meninggalkan Lail yang masih bersungut-sungut sebal karena temperamen buruk si pria bertopi.
“Darwis … tampaknya kau tidak bisa mengerti artinya sabar dan menunggu!” gumam Lail setelah membaca kertas tersebut.
—
Sesuai permintaan laki-laki dingin itu, Lail tiba pada alamat yang dituju; tak kurang dari lima belas menit. Ia sedikit kagum dengan interior rumah yang tampak menyatu dengan alam. Di luar ia disuguhi dengan air mancur buatan yang dibuat ornamen bunga edelweis, di bawahnya diberi lily pad hingga tampak seperti nyata. Begitu pun dengan pagar rumah yang terbuat dari kayu akar tanaman jati, sepertinya … pria itu pecinta flora.
Saat bel ditekan, Darwis keluar. Mengisyaratkan dengan mata agar Lail mengikuti langkahnya, lagi-lagi pemandangan luar biasa yang didapatinya; sebuah ruang tamu yang tak biasa, di atasnya terpasang atap yang terbuka otomatis bila pengunjung memasukinya. Ada kursi taman sebagai pengganti sofa, dan lantai yang dipasangi bebatuan alam, adapula kolam berukuran sedang yang berada di sudut ruangan. Sisanya dihiasi oleh bunga yang begitu indah nan wangi.
“Istriku belum juga bangun dari tidurnya, aku akan memberikan bunga ini. Pasti ia akan langsung bangun.”
Sorot mata pria itu melunak ketika menyebut kata ‘istri’, tampak sekali jika ia menyimpan rasa cinta yang dalam. Lail pun mengikuti langkah Darwis, mereka memasuki sebuah kamar. Lail memandang ke arah wanita yang masih setia terpejam di sana–namun, bukan di atas ranjang, ia tertidur di atas peti.
“Istrimu … meninggal?” Seketika Darwis si dingin itu melunak bagai ikan kehilangan durinya.
“Aku sungguh tidak tahu, bagaimana membangunkan dia. Katanya, edelweis adalah bunga keabadian. Kau tadi melihatnya ‘kan, hampir seluruh perabotan rumah ini identik dengan edelweis. Kata istriku, jika kita menyimpan bunga itu cinta dan nyawa akan abadi.”
Mereka berdua dalam keheningan lama, lalu tiba saatnya Lail buka suara. “Tuan, pantaskah dipertanyakan kembali apakah manusia itu kekal? Sementara kau sudah jelas mengetahui, jika kekal hanya milik Tuhan? Kita tidak bisa terpaku dengan makna suatu benda–entah itu bunga, benda antik. Bunga adalah bunga, tugas mereka adalah memperindah, menyeimbangkan alam dengan mahkota mereka. Soal keabadian ini … edelweis akan mati juga.”
Darwis terpaku dengan ucapan Lail, lalu kembali pria itu buka suara, “Selamat, kau berhasil membungkamku Nona, aku tidak akan lagi memotong ucapanmu.” Mendengar itu, Lail tersenyum canggung yang ditanggapi senyum tipis Darwis.
Cerpen Karangan: Linda Kartika Sari Blog / Facebook: Linda Kartika Sari