Keadaan masih belum berubah, meski delapan tahun sudah berlalu. Kau masih bertahan diam, menolak bicara dengan siapapun. Sebagian dari dirimu telah membatu, aku tahu itu, tapi aku merasa perlu membawamu keluar dari rasa bersalah yang kau pendam dalam-dalam. Rasa bersalah yang bertahun-tahun memenjarakanmu dalam ruang yang sama sekali tidak aku pahami.
Sabtu sore, sebagaiamana telah menjadi kebiasaanmu, aku kembali mengantarmu ke pemakaman yang terletak di tepi sebuah danau. Dan seperti yang sudah aku duga, kau datang untuk sekedar menatap kosong sebuah makam, berdiri mematung, dan sesekali mendongak ke langit. Di belakangmu aku hanya bisa menerka-nerka, barangkali kau sedang bercerita, tentang hari-hari berat yang harus kau tempuh dalam delapan tahun terakhir. Atau mungkin kau sedang menyampaikan bahwa selama delapan tahun berlalu, kau tidak pernah benar-benar sendirian. Sebab ada seorang lelaki yang keras kepala menemanimu, memperlakukanmu dengan sebaik-baiknya. Ah tidak, tidak mungkin. Aku terlalu jauh menerawang. Atau lebih tepatnya: menghayal, sorry.
Aku melirik arloji di pergelangan tangan kiri. Dari sana aku kemudian menyimpulkan, sekira lima belas menit lagi azan magrib akan berkumandang. Itulah saat dimana kau akan memutuskan untuk beranjak dari tempatmu berdiri, pulang.
Belum juga lima menit berjalan, rintik hujan turun perlahan. Beruntung aku sudah mempersiapkan kemungkinan tersebut. Maka kudekati kau yang masih bergeming, lantas kukembangkan payung persis di atas kepalamu. “Kali ini kau tidak harus menunggu magrib. Mari pulang. Percaya padaku, dia juga pasti akan mengerti.” Meski aku tahu kau tak akan menjawabnya, tapi toh kalimat itu keluar juga. Iya, bagiku sudah tidak penting lagi kau bakal menjawabnya atau tidak. Sebab urusanku denganmu, sudah bukan lagi perihal kata-kata.
Kau berbalik tanpa merasa perlu melihatku—melintas begitu saja—seolah aku tidak sedang berada di sana. Tidak mengapa, aku toh sudah delapan tahun hanya menjadi bayanganmu, ada tapi tidak terlihat dalam pandangan matamu.
Setiba di rumahmu, aku menitip pesan kepada adikmu, Ara, untuk mempersipakan makan malam. Sementara aku harus bergegas ke salah satu coffee shop di tengah kota. Ada janji yang harus kupenuhi. “Hujan lebat begini Kak, apa nggak sebaiknya Kakak nunggu reda.”, tawar Ara kepadaku. Aku tersenyum, lalu mengacak-acak rambutnya. “Aku sudah ditunggu Ra. Nggak enak kalau membuat temen-temen nunggu lebih lama lagi”, jawabku sekenanya. “Kalau begitu kakak pakai mobil rumah saja”, dia kembali memberi tawaran. Setelah kutimbang, ah rasanya tidak perlu juga. Mobil rumah hanya khusus untuk mengantarmu dan Ara. Untuk urusanku pribadi, ya tetap harus menggunakan milikku sendiri.
“Ra, nggak apa-apa, aku pakai motor saja”, aku mencoba meyakinkan Ara. “Tapi kak”, tanggapannya memprotes keputusanku. Kudekati dia dan kuyakinkan sekali lagi, “Udah, amaaannn”. Ara pun luluh. Setelah mengenakan mantel dan menstarter motor bututku, aku perlahan menancap gas sambil melambai ke arah Ara. Setelahnya motor kupacu menyibak kerumunan hujan.
—
Setelah mempersiapkan makan malam, Ara kemudian mengantar satu nampan berisi nasi goreng dan segelas susu hangat untuk kakaknya. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Ara langsung masuk ke kamar kakaknya yang jendelanya berhadapan dengan taman belakang. Dan di hadapan jendela itulah sang kakak menghabiskan hari demi hari tanpa bicara. “Kak Gigih baru saja pergi, kak. Katanya sih ada urusan kerjaan”, meski kalimat itu hanya akan memenuhi kebebelan, namun Ara merasa hal tersebut tetap perlu disampaikan.
Tanpa banyak bicara lagi, Ara beranjak meninggalkan kamar sang kakak. Namun tiba-tiba saja dia berhenti di muka pintu. Dia berbalik dan menatap nanar kondisi kakaknya. Sudah sekian psikiater, namun semuanya tidak ada yang berhasil mengembalikan kehidupan sang kakak. Sang kakak sudah lama hilang dari dunianya. Dunia yang berisi romantisme dan keceriaan.
Di kepala Ara kini berpilin peristiwa demi peristiwa di masa lalu. Delapan tahun lalu, kecelakaan maut terjadi di ruas jalan tol yang melibatkan antara sebuah mobil pribadi dengan truk pengangkut muatan. Pengemudi truk mengalami cidera di bagian kepala dan lengan kanan, sementara dua penumpang mobil pribadi dalam keadaan kritis.
Segera setelah dilarikan ke rumah sakit, tim dokter mewartakan bahwa korban lelaki berikut janin dalam kandungan korban perempuan tidak bisa diselamatkan. Korban perempuan yang baru siuman dua hari berselang menangis histeris menerima kenyataan yang harus ia terima. Hari-hari selanjutnya, si korban perempuan berubah menjadi pribadi yang pendiam, gampang depresi, dan sangat sensitif. Dalam suatu kesempatan bahkan ia pernah hampir melakukan percobaan bunuh diri. Pasalnya dia merasa sangat bersalah atas tragedi yang merenggut suami dan bakal anaknya itu. Sebab seandainya dia tidak memaksakan diri untuk ke suatu tempat, tregadi itu tidak semestinya terjadi.
Untunglah ada Gigih, seorang laki-laki yang berkat kehadirannya, perempuan itu perlahan-lahan mulai bangkit dari keterpurukannya. Ya meski tak pernah bicara kepada siapapun, paling tidak dia sudah mau melakukan beberapa aktivitas semisal rutinitas ke makam setiap Sabtu sore. Paling tidak dia tidak terlalu mengurung diri, dan yang paling penting tidak lagi melakukan percobaan bunuh diri.
Siapakah Gigih? Sesuai namanya, dia adalah sosok laki-laki yang gigih dalam segala hal, termasuk dalam menghadapi perempuan yang tidak lain adalah kakak Ara tersebut. Gigih sebenarnya sudah menaruh rasa pada kakak Ara sudah sejak masa kuliah, namun dia tidak pernah berani mengatakannya sampai kemudian kakak Ara dinikahi oleh lelaki lain.
Gigihlah yang kemudian menemani Ara dan kakaknya selama delapan tahun terakhir.
Suara siaran televisi kemudian membuyarkan Ara dari lamunan. Laporan dari salah satu kanal berita menyebutkan telah terjadi kecalakan di jalan X, jalan menuju kota. Segera Ara mengambil telepon genggamnya, mengurutkan abjad, dan kemudian menyentuh salah satu kontak yang bertuliskan “Kak Gigih”. Hanya terdengar bunyi “nut.. nut.. nut..” sedari tadi, nomor Gigih sedang tidak bisa dihubungi. Ara semakin panik, pikirannya semakin tak karuan, hatinya kian gusar.
Dalam ketidakpastian itu, Ara melihat kakaknya berdiri di muka pintu kamarnya dengan menggunakan sweater. “Kita ke lokasi, cari Gigih.” Begitu kalimat pendek yang entah bagaimana bisa keluar dari mulut kakaknya. Ara terkejut, antara bahagia dan bingung. Bahagia karena kakaknya sudah mau berbicara lagi, bingung karena sisi lain Gigih masih belum jelas keadaannya.
Keduanya bergegas menaiki mobil dan mobilpun dipegang kendali oleh Ara menyibak hujan yang masih tak kunjung reda.
—
Amanda, aku juga tidak tahu bakal berapa lama bertahan menunggu kau keluar dari penjara yang kau ciptakan sendiri untuk pikiranmu. Tapi betapapun, aku tidak bisa berhenti begitu saja menunggumu, sebab aku percaya, tidak ada yang sia-sia dari sebuah penantian. Iya, aku terlalu keras kepala untuk terus mencintaimu.
Di tengah hujan yang luar biasa lebat, seorang perempuan dari seberang jalan berlari menghampiriku yang duduk di sebuah tempat tambal ban, menunggu roda motoku ditambal karena bocor di tengah perjalanan. Samar-samar tak kukenali perempuan itu, tapi semakin dekat dia berlari menuju arahku. Semula kupikir dia sama halnya denganku, ingin memastikan bahwa ban mobilnya bisa ditambal. Tapi entah bagaimana, tiba-tiba saja perempuan itu menyongsongku, memelukku dengan tangis sesenggukan.
“Maafin aku”. Dari suaranya sepertinya aku kenal. Perlahan kukendurkan pelukannya, dan benar saja, perempuan itu adalah Amanda.
“Kak Gigih nggak kenapa-kenapa kan?”, seorang perempuan di belakangnya turut bersuara. “Ara?”.
“Ada berita kecelakaan motor di jalan X, ku pikir Kak Gigih”. Mendengar itu tawaku meledak begitu saja. “Iya Ra, aku kecelakaan. Nih liat, ban motor kakak bocor. Kakak telat kumpul juga akhirnya..”. Kali ini kualihkan pandangan ke Amanda, matanya yang redup hari ini kembali menyala. Aku mengusap air hujan yang membasahi wajahnya dengan kedua telapak tanganku. Dia kemudian menggenggam tanganku sambil berkata lirih, “Kamu nggak boleh kenapa-kenapa. Kamu masih harus menemaniku tiap Sabtu sore”.
Cerpen Karangan: Aly Reza Facebook: Muchamad Aly Reza Muchamad Aly Reza -Hamba Literasi