Sesudah akad nikah berlangsung, kesunyian merayap menjalar ke tembok rumah; lampu-lampu meredup; sudut demi sudut ruangan menggelap; dan kamarku -kamar ibu, semakin pengap. Aku berusaha sadar bahwa pernikahan ibu dan bapak keduaku bukanlah disebabkan nafsu semata. Aku meyakini bahwa keduanya memang didasari saling mencintai.
Sunyi semakin menyeruak tatkala bapak keduaku malah wafat di hari ke tiga setelah akad nikahnya bersama ibu. Akhirnya ibu sering menatap halaman rumah dengan pandangan kosong. Seperti membelakangi kehidupan, ibu sudah tidak tahan lagi menerima kenyataan.
Ingat dulu, selepas masa idah ibu sebab bapakku meninggal karena kecelakaan. Aku tidak begitu yakin kenapa masih ada pria yang mau melamar janda satu anak seperti ibu. Iya, bapak keduaku mendatangi kediaman ini dengan beberapa pendamping. Tujuannya tak lain untuk menikahi ibu berumur tiga puluh delapan tahunan yang disertai anak satu berumur tiga belas tahunan.
Mahar disepakatkan sekian juta rupiah. Namun bapak keduaku menambahkan maharnya beberapa kali lipat. Rumah dijadikannya mahar, perhiasan emas, beberapa toko, dan bahkan semua yang dia miliki dijadikannya mahar.
Akad nikah dilangsungkan dengan khidmat. Pokoknya seperti umumnya pernikahan dilaksanakan. Tapi untuk sekarang tak ada resepsi pesta gegap gempita. Bapak keduaku membuat tasyakuran sederhana dengan biaya yang tidak sedikit: makan besar sekampung.
Dikenal sebagai perantau sejak remaja, bapak keduaku bukan tipe pemuda manja terhadap kelimpahan nama baik dan banyaknya harta keluarga besarnya. Ceritanya sejak ibu terpaksa menikahi lelaki yang dipilihkan kakek nenekku, akhirnya bapak keduaku merantau sejak saat itu juga. Merantau agar bisa melupakan gadis yang dicintainya.
Namanya Husein Abdillah. Husein julukannya, sedangkan Abdillah nama bapaknya sendiri yang sengaja disematkan di namanya. Entahlah, nama bapak keduaku ada kesamaan dengan namaku. Namaku sendiri Ibni Abdillah. Konon dibuat ibu sebagai pengingat terhadap kekasihnya dulu.
Ra Husein, begitu orang kampung menjulukinya. Dia anak rantau penjelajah pesantren-pesantren. Aku sempat menanyakan ke nenek kenapa Ra Husein menjadi perantauan. Kata beliau -nenekku dari bapak keduaku Ra Husein: “Husein bukanlah anak biasa. Dia satu penentang adat desa. Dia tidak mau dinikahkan dengan sepupunya”. Sama halnya dengan Ra Husein, sebenarnya ibu menolak keras untuk dijodoh-jodohkan. Tapi begitulah, takdir berkata lain. Mau tidak mau ibu menikahi bapakku, dengan kerelaan hati.
—
Ibuku bernama Hindun. Nama yang biasa. Nama yang bahkan membuat kalian berpikir bahwa si pemilik nama ini hanya perempuan culun dengan guncir dua melintang ke kanan kiri. Barangkali kalian menambahkannya dengan karakteristik si kutu buku yang pendiam.
Dan memang ibuku begitu. Namun tidak dengan guncir dua di kepalanya, melainkan pendek rambut terurai sampai bibir. Serta merona pipinya tidak dibuat-buat. Senyum malu-malu kucing yang selalu ibu tawarkan ke hadapan dunia membuat yang lain segan menatapnya lama.
Bukan main manisnya paras ibu bagi remaja kampung di pedalaman Pasuruan. Tak ayal diam-diam ibu menjadi incaran Ra Husein anak si penghulu kampung. Dan adat bermain peran di sini. Kandas cinta keduanya oleh perjodohan. Tidak sekufu (maksudnya, tidak sederajat) pula. Itu sebab saat resepsi pernikahan ibu dan bapakku, Ra Husein sudah tidak ada lagi di kampung.
Kini masih di kursi rotan sambil menatap halaman rumah, ibu menerawang jauh masa lalu. Pancaran rindu terhadap mendiang Ra Husein begitu kentara. Diduga kuat kerinduan tersebut seakan ibu menonton layar lebar masa-masa di mana keduanya masih bisa bertatap muka. Menyaksikan bagaimana dahsyatnya kerinduan lelaki yang kabur dari desa sebab ingin menampik mahabah yang membara.
—
“Aku akan kembali beberapa tahun lagi. Sekiranya engkau sudah menikah, aku ikhlas.” Ucap ibu mengenang kata-kata terakhir Ra Husein selepas ditolak keluarga calon mempelai wanita. Maka itu sebabnya saat Ra Husein balik kampung, dia hanya fokus kepada tujuannya sendiri.
“Ra Husein orangnya sok sibuk”, usil ibu mengghibahi mendiang bapak keduaku itu. Ibu menggaruk-garuk pelan belakang lehernya, tanda bahwa ibu tengah terbawa suasana. Sesekali tersenyum tanpa sebab dan juga nyeletuk tak berdasarkan apa-apa. “Kau ini, nak” sambil mengelus-ngelus kepalaku.
Tapi benar, kesunyian menjalar di rumah peninggalan Ra Husein ini. Meski ibu sudah menjadi bagian keluarga besar pesantren, namun ibu masih sungkan berbaur. “Setidaknya kita harus sadar diri, nak” hela napas ibu memanjang diakhiri tiupan napas keluar perlahan.
Dan sunyi semakin menjadi. Hari demi hari berlalu cepat. Ibu masih sering duduk menatap halaman rumah. Di depan ada musalla bertengger menjadi pasak bumi, taman di sampingnya, dan aula-aula untuk para santri. Sebenarnya suasana begitu ramai, namun ibu tidak. Ibu seringnya tersenyum masam sampai hari-hari terakhirnya hidup. Aku sendiri hanya mendengarkan petuah dan kisah dari ibu. Tidak ketinggalan juga aku mengembangkan usaha Ra Husein di kemudian hari, saat aku dewasa nanti.
26 Oktober 2022. Batam.
Cerpen Karangan: Uwais Qorni AS Blog / Facebook: Ibnu Arsip Uwais Qorni AS lahir di Pasuruan 07 februari 2003. Bernama pena Ibnu Sya’nah. Aktif belajar menulis sejak 2014. Beralamat lengkap Pejaten, desa Tampung, blok PonPes Raudlatun Najah Pajaran 2, kecamatan Rembang, kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Ia bisa disapa di fb-nya yaitu Ibnu Arsip.