“Sin, pulang bareng gue, ya?” Suara yang terdengar tiba-tiba itu mengejutkan Sinta yang tengah asyik makan bakso di kantin. “Eh?” Sinta menoleh dan mendapati seorang cowok jakung berdiri di belakang bangku yang dia tempati. “Gimana? Mau nggak?” Tanya cowok itu. “Eh? Apanya?” Sinta balik bertanya karena nggak tau apa yang dibicarain sama cowok itu. “Pulang bareng. Mau nggak?” Jawab cowok itu. Pipi Sinta memerah seketika. Diajak pulang bareng sama cowok ganteng? Siapa sih yang nggak mau? “Kok nggak jawab? Oh, artinya lo mau, ya? Oke deh. Ntar pulang sekolah gue jemput lo di kelas lo. Oke? Bay,” ucap cowok itu kemudian melenggang pergi begitu saja. Sinta yang masih terpaku di tempatnya duduk hanya bisa menatap kosong ke depan. Pikirannya kosong.
“Ciiee… yang diajak pulang bareng sama Kak Bima,” goda Riana yang duudk di depannya. Ya, Kak Bima adalah cowok yang dua minggu lalu hampir tabrakan sama Sinta. Dan sekarang, Kak Bima lagi PDKT sama Sinta. Sinta masih diam. Tidak merespon. Namun sedetik kemudian… “AAAA!!!! GUA DIAJAKIN PULANG BARENG SAMA KAK BIMAA!!!” Teriaknya keras yang membuat seisi kantin langsung menutup telinga. Wajarlah. Orang teriakannya Sinta sama anak gajah yang kakinya kejepit aja kerasan teriakannya Sinta. “Astaga Sin! Gua tau lo seneng. Tapi ya jangan teriak-teriak gitu lagi!” Ucap Riana yang nggak betah sama teriakannya Sinta. “Astaga!!” Sinta masih sibuk kesenengan sampai nggak tau kalo Rama udah jalan ke arahnya.
“Oi, Tepos!” Panggil Rama. Sinta yang ngerasa kepanggil langsung melemparkan delikan ke arah Rama. “Apaan tepos tepos?!” Protes Sinta. Namun Rama tak acuh dengan protesan itu. “Nanti pulang sekolah kita disuruh ngumpul buat latian. Pentas tinggal tiga minggu lagi. Dan lo harus hadir karena lo adalah pemeran utamanya selain gue,” ucap Rama. “Heh?! Gak bisa! Nanti gue mau pulang sama Kak Bima!” Jawab Sinta protes. “Apaan nggak bisa nggak bisa?! Pokoknya harus bisa!!” “Gak bisa! Gue udah janjian mau pulang bareng Kak-” “Gak boleh! Pokoknya lo harus ikut latian! Titik!” Ucap Rama final kemudian pergi dari sana.
—
“Sinta!” Seseorang memanggil namanya yang membuatnya menoleh. Kak Bima ada di luar kelasnya. Sinta segera menyandang tasnya kemudian berlari kecil ke arah pintu kelas. Namun tepat sebelum kakinya melangkah keluar, sebuah tangan menahannya. “Gak bisa! Sinta harus latian! Lo kan cowok, pulang sendiri bisa, kan? Kayak cewek aja pulang minta ditemenin,” ucap cowok yang ternyata adalah Rama. “Eh, Ram?! Apa-apaan, sih?!” Protes Sinta berusaha menyingkirkan tangan Rama dari depan tubuhnya. “Nggak bisa. Lo harus latian. Pentas ini yang nentuin karir lo sebagai penari! Udah, ayo!” Dengan kasar, Rama menarik tangan Sinta untuk pergi dari sana. Sementara itu, Bima masih tetap diam di tempatnya. Kemudian, seulas seringaian terbentuk di wajahnya. ‘Ini bakalan menarik.’
—
“Asem banget hari ini!” Maki Sinta sambil berjalan di koridor sekolah yang sepi. Sekarang sudah jam setengah lima dan semua orang di sekolah sudah pulang. Mana mendung lagi! Sinta harus cepet-cepet cari angkot. Sinta berlari ke halte depan untuk menyetop angkot. Itupun kalo masih ada.
Tiba-tiba sebuah motor sport warna hitam berhenti di depannya. Pengendara sepeda motor itu membuka kaca helmnya hingga menampakan mukanya. Muka yang bikin Sinta enek ngeliatnya. “Jam segini mah angkot udah abis lagi. Nungguin apa lo? Tukang ojek payung lewat?” Seloroh Rama. Sinta hanya memalingkan muka. “Apaan sih lo?” Gumam Sinta. Jujur, Sinta capek dan ingin segera istirahat. “Sini, gua bonceng. Mumpung gua lagi baik,” ucap Rama menawarkan. Sinta terkejut. “Eh?” ‘Ini bocah..?’ “Ram, lo nggak panas, kan?” Sinta mengukurkan tangannya dan memeriksa dahi Rama. Baik-baik aja. Nggak panas. Tapi pipi Rama yang panas. Semburat merah muncul di pipinya. “Enggak. Buruan naik. Sebelum gua berubah pikiran dan ninggalin elo di-” BLUK!! Boncengan motornya sudah terisi. “Iya, iya. Udah buruan jalan. Udah mau ujan, nih!” Ucap Sinta. Tanpa berkata-kata lagi, Rama menghidupkan motornya kemudian tancap gas menuju ke rumah Sinta.
Namun naas, di tengah jalan, tiba-tiba turun hujan deras. Rama menghentikan motornya di pinggir jalan kemudian melepaskan jaketnya. “Nih, pake,” ucpanya seraya memberikan jaketnya kepada Sinta. “Eh?” “Tenang aja. Itu anti air kok. Dan ada tudungnya. Jadi lo nggak bakalan kehujanan,” ucap Rama. Sinta menerima jaket itu tanpa memakainya. Sementara itu, hujan makin lebat.
“Malah diem. Buruan dipake!” Suruh Rama. Namun Sinta masih tetap diam. “Lo nggak tau caranya pake jaket, ya? Sini!” Rama merebut jaketnya dari tangan Sinta kemudian segera memakaikan jaket itu ke tubuh Sinta. Ternyata badan Sinta lebih kecil dari yang Rama kira. Dan dadanya, nggak setepos yang dia kira. Sontak, pipi Rama memerah memikirkan itu. “Nah udah!” Ucap Rama begitu selesai memakaikan jaketnya ke tubuh Sinta. “Gua jalan. Pegangan, lo!” Ucap Rama kemudian kembali menjalankan motornya.
Menembus hujan lebat dengan motor seperti kemarin ternyata bisa berbahaya juga. Buktinya, udah tiga hari Rama di rumah dengan alasan sakit. Dan emang bener sih sakit. Dan itulah yang bikin Sinta bete hari ini.
“Sin, kantin gak?” Tawar Riana. Sinta melirik bosan padanya. “Enggak deh. Lagi gak mood,” ucap Sinta kemudian memalingkan muka. Riana kemudian duduk di samping Sinta yang sedari tadi mengamati bangku Rama yang kosong. “Lo kangen Rama, ya?” Tanya Riana melihat Sinta yang hanya diam. “Hah?! Kangen Rama?! Gila apa?!” Seru Sinta. Riana tersenyum. “Gua tau kok lo lagi kangen sama Rama. Tiga hari nggak ketemu dan nggak berantem. Lo pasti kangen banget, ya?” Ucap Riana lagi. Kali ini Sinta hanya diam. “Sin, kita udah sahabatan dari kelas tiga SD. Gua tau banget gimana lo waktu lo lagi kangen,” lagi-lagi Riana berucap. Dan kembali Sinta hanya diam sambil bertopang dagu tetap menatap bangku Rama yang kosong. “Ya udah, gue ke kantin dulu, ya?” Ucap Riana menepuk pundak Sinta sekali kemudian pergi.
—
“Sin, gimana nih? Dia nggak mau pergi!” Bisik Riana pada Sinta. Sinta hanya melirik sedikit kemudian menjawab, “Biarin aja. Gua mau pulang deh!” “Yah justru karena ngajakin lo pulang itulah dia ada di sana!” Ucap Riana sambil menunjuk pintu kelas yang tertutup. “Bilang gua lagi bete. Lagi gak mau diajak kemana-mana,” jawab Sinta asal kemudian berdiri, mau pulang. “Eh?! Sin! Sin!” Pintu terbuka dan nampaklah sosok Kak Bima di pintu. “Maaf kak. Hari ini Rama nggak masuk. Dan gua lagi nggak mood banget. Jadi gua lagi pengen pulang sendiri. Permisi.” Tiba-tiba tangan Sinta ditarik. “Eh, nggak bisa dong. Lo harus pulang bareng gue,” ucap Bima kemudian menariknya untuk menuju ke mobilnya.
Selama di perjalanan, Sinta lebih banyak diam. Sedangkan Bima asik berceloteh mengenai apa saja. Sesekali Sinta menanggapi hanya dengan senyum atau kata ‘oh’. “Sin, gua mau ngajak lo ke suatu tempat. Lo mau, kan?” Tanya Bima. Awalnya Sinta ingin menolak. Namun Bima terlanjur membelokkan mobilnya ke arah lain. Perjalanan yang cukup jauh itu ternyata membawa Sinta ke sebuah hutan. Bukan hutan sebenarnya. Tenpat itu seperti hutan, namun sudah bukan hutan lagi. Sudah banyak orang berjualan di sana. Bima memarkirkan mobilnya di tempat parkir kemudian segera turun diikuti oleh Sinta. “Ayo, Sin,” ajaknya sambil menarik Sinta. Sinta hanya mengikuti, sampai di depan rumah tua yang usang dan berantakan, mereka berhenti. “Berani masuk?” Sinta hanya mengangguk. Kembali Bima membawanya masuk ke dalam.
“Kok serem gini sih, kak?” Tanya Sinta. Bukannya takut atau apa. Dia hanya risih dengan pemandangan seperti itu. Tiba-tiba… “Hmmph!!!” Mulut Sinta dibekap oleh seseorang dari belakang. Siapa? Kak Bima berjalan di depannya. Namun bahkan tidak berbalik sedikitpun. “Dudukin dia di kursi trus ikat dia!” Kak Bima! Itu suara Kak Bima! Sinta hanya bisa pasrah ketika dirinya didudukkan di sebuah kursi kayu kemudian diikat di sana. “Apa apaan sih kak?! Lepasin!” Teriak Sinta. “Oh, bentar ya. Gua telepon cowok lo dulu,” ucap Bima kemudian mengambil handphone-nya di saku celana, lalu mengetikkan nomor yang sudah dia hafal diluar kepala.
“Halo? Rama.” Sinta terkejut bukan main. Rama?! Jadi kenapa dia diikat dan kemudian Kak Bima menelfon Rama?! “Ram, cewek lo ada di gue, nih.” Di seberang sana, Rama yang baru saja akan meminum obatnya berhenti kesetika. “Maksud lo apa?” Tanya Rama dingin. Cewek. Cewek Rama. Satu-satunya cewek yang sedang dekat dengannya saat ini hanyalah Sinta. Dan itu berarti, Sinta… “Lo apain Sinta?!” “Oh, nggak gua apa-apain. Cuma gua iket doang sama-” “Awas lo berani ngapa-ngapain Sinta.” “Oh tenang. Gua nggak ngapa-ngapain Sinta. Seenggaknya gua nggak ngelakuin apa yang lo lakuin ke Melani,” bisik Bima di satu kata terakhir. “Jangan sangkutin Sinta ke masalah Mela-” “Oh, harus, dong. Harus!” “Udah gua bilang bukan gua yang-” “Gua nggak peduli! Nyawa Sinta ada di tangan gua sekarang. Lo tinggal pilih. Ke sini dan selamatin Sinta ato… Tuuuut…” sambungan terputus. “Sialan lo Bim!” Sementara itu, di seberang sana, Bima tersenyum puas. Pembalasannya baru akan dimulai!
—
“Sinta!” Sinta sontak menoleh ke arah seseorang yang memanggilnya. Rama datang. “Rama! Tolongin gue Ram!” Rama berusaha mendekati Sinta. Namun sayang, dua orang preman yang disewa Bima membuatnya terhadang. “Lepasin Sinta!” Bentaknya pada Bima yang berdiri tepat di sebelah kiri Sinta. “Lepasin? Oh nggak mungkin. Lo udah bikin Melani mati. Dan sekarang, gue juga harus bikin cewek ini mati!” “Udah gue bilang bukan gue yang bunuh Melani!” “Lo berdua, keluar dari sini. Pergi. Tugas lo berdua udah selesai. Masalah duit, udah gua siapin di mobil. Lo tinggal ambil.” Dua orang yang diperintahkan Bima tadi langsung patuh.
Setelah dua preman itu pergi, Bima kembali mengalihkan fokus kepada Rama. “Bukan elo? Terus siapa?” “Melani bunuh diri, Bim!! Dia bunuh diri!!” “Dan dia bunuh diri karena elo!! Dia bunuh diri karena elo, Rama wijaya!!” Rama tercenung. Karena dia? Memangnya dia ngapain? “Tunggu, maksud lo-” “Iya, penyebab Melani bunuh diri setahun lalu itu karena elo.” Bima menghela nafas. “Dari kecil, gua udah jatuh cinta sama Melani. Gua berusaha ngelindungin dia apapun yang terjadi. Ketika dia dibikin nangis sama anak lain, selalu gua yang ngelindungin. Sampe gue pernah kena marah gara-gara bikin anak tetangga babak belur demi ngelindungin Melani. Awalnya gua sama Melani bahagia hidup berdua, temenan. Tapi semua itu berubah sejak lo masuk ke kehidupan kami dua tahun lalu. Melani jatuh cinta pada pandang pertama sama lo. Dia cinta mati sama lo. Tiap hari dia mikirin lo. Bahkan dia selalu curhat tentang lo, ke gue. Tanpa dia mikirin gimana perasaan gue. Gue sih nggak terlalu berharap sama perasaan Melani. Bagi gue, yang penting dia bahagia. Tapi elo bikin semua impian Melani hancur. Lo malah suka sama cewek yang lo panggil tepos itu. Lo jatuh cinta sama cewek yang belom tentu bales perasaan lo! Bahkan setiap hari lo curhat ke dia tentang lo yang dipaksa nyium Sinta gara-gara nama kalian. Berulang kali lo cerita tentang gimana cantiknya Sinta sampe lo jatuh cinta. Ya, apa yang lo lakuin ke Melani itu sama kayak apa yang Melani lakuin ke gue. Tapi gue masih bisa sabar. Tapi Melani? Dia bukan gue. Dan nggak akan pernah jadi gue. Di sini. Di tempat ini Melani bunuh diri. Di tempat yang jadi favorit dia. Di tempat ini lo bunuh dia, Ram!! Lo bunuh cinta pertama gue!!” BUAKH!! BRUK!!
“Rama!!” “Dan sekarang pembalasannya, Ram. Lo udah bunuh cinta pertama gue. Sekarang, gue yang bakal bunuh cinta pertama lo!!” BUG!! BRAK!! “Jangan lo pikir gue bakal ngebiarin lo deketin Sinta. Sinta punya gue. Dan Sinta nggak ada kaitannya sama Melani!” “Jelas ada, bego!!” BUAGH!! “Melani mati gara-gara tau lo suka sama cewek lain!!” BUK!! “Melani bunuh diri karena lo nggak ngebales cintanya!!” BUAKH!! “MELANI MATI GARA-GARA LO RAMA!! GARA-GARA LO!!” “CUKUP!!” Rama bangkit dari posisinya. Di dekatinya Bima. “Bim, sumpah demi apapun, gue nggak tau kalo Melani suka sama gue. Dan kalo gue tau, gue bakalan-” “Lo bakalan tetep jatuh cinta sama Sinta dan bikin Melani makin sakit hati!” “Jaga omongan lo Bima!!” BUAGH!! BRAK!!
“Melani udah gue anggep kayak adek gue sendiri. Dia udah jadi seseorang yang berarti buat gue. Kalo aja waktu itu Melani bilang ke gue tentang perasaan dia, kalo aja waktu itu gue tau tentang perasaan Melani, gue bakal berhenti buat suka sama Sinta. Gue bakal mencoba buat bikin Melani bahagia. Tapi Melani nggak pernah kasih tau gue apa-apa tentang perasaannya. Semua itu dia pendam sendiri. Gue bener-bener nggak tau apa-apa tentang Melani.” Tubuh Bima bergetar hebat menahan tangis dan marah. Hatinya panas, hatinya sakit, hatinya terluka. Tapi apa yang bisa dia lakukan untuk menyembuhkan luka itu? “Tetep aja lo yang salah!!”
Dengan segera Bima bangkit dan menerjang Rama. Namun Rama berhasil menghindar. Dan tanpa sengaja, Bima menginjak tali sepatunya sendiri yang terlepas, kemudian terjungkal ke depan. Kepalanya membentur lantai dengan keras sampai darah keluar dari kepalanya. Dan Bima tidak bangkit lagi. Kesempatan itu digunakan Rama untuk melepaskan Sinta yang kini tatapan matanya telah kosong. Entah apa yang terjadi tidak bisa Sinta cerna dengan otaknya. Semuanya terlalu rumit untuknya.
“Sinta…” panggil Rama pelan. Halus. Membuat kesadaran Sinta perlahan-lahan kembali. “Sin, lo udah bebas sekarang,” ucap Rama pelan setelah menguraikan ikatan yang melilit tubuh Sinta. “Sin, sekarang kita balik, ya? Kita pulang,” ajak Rama pelan. Sinta menatap Rama, namun sedetik kemudian menatap ke arah siluet yang bergerak cepat di belakang Rama. “Rama awas!!” BUAGH!! BUG! BRUK!! BRUK!!
Sinta hanya bisa diam. Terpaku dengan apa yang ada di depannya. Bima yang terkulai lemah dengan kepala bagian depan yang mengalirkan darah, sebuah kayu besar yang terpercik darah, dan Rama yang juga terkulai lemah di hadapannya dengan kepala bagian belakang mengucurkan darah segar. “Rama…”
Suasana di koridor rumah sakit malam itu begitu mencekam. Bukan karena suasana horor ataupun semacamnya. Namun karena seseorang yang sedang di dalam ruangan sedang mempertahankan nyawanya. “Rama…” bibir mungil nan pucat iru terus memanggili satu nama dengan air mara yang tak lagi mengalir. Bekas air mata tampak jelas di pipinya. Matanya sembab. Hidungnya merah. “Sabar Sin… Gua yakin Rama nggak bakalan kenapa-napa,” ucap Riana menenangkan. “Rama, Na…” gumamnya lagi. “Iya, Sin. Semua di sini juga khawatirin kondisi Rama. Dia pasti kuat, Sin. Dia pasti bisa. Dia baik-baik aja,” sekali lagi Riana menenagkan. Sinta benar-benar terpukul dengan apa yang terjadi dengannya dan Rama hari ini. Tentang konflik yang sebenarnya dia tak tahu akarnya, yang ternyata dirinya sangat berperan penting.
Pintu ruang ICU terbuka, lalu keluarlah seorang dokter. Mama Rama langsung mendekati dokter itu. “Bagaimana kondisi anak saya, dok?” Tanya Mama dengan keadaan tak jauh beda dengan Sinta. Hanya saja, kesadarannya jauh di atas Sinta. “Anak ibu baik-baik saja. Tidak ada permasalahan yang berarti. Hanya saja, pendarahan yang dialaminya membuatnya kehilangan cukup banyak darah. Namun sekarang sudah teratasi,” jawab dokter itu panjang lebar. Mama Rama langsung mengucap syukur. “Saat ini pasien akan dipindahkan ke ruang perawatan.” Mama Rama mengangguk tanda mengerti.
Dua hari setelah kejadian itu… “Rama baik-baik aja, Sin. Gua yakin. Selama lebih dari lima tahun sahabatan sama dia, gua tau dia cowok kuat. Dia pasti bisa bertahan. Dia pasti sadar,” ucap Veri menepuk-nepuk pundak Sinta. “Udah, sekarang lo masuk, deh, Sin. Temenin Rama. Dia pasti kesepian sendirian di sana. Dua hari dia tidur dan lo nggak jenguk buat bangunin dia. Di pasti kangen sama lo. Ayo Sin. Bantu dia buat sadar,” bujuk Riana. Selama dua hari Rama pingsan, Sinta sama sekali nggak ketemu sama Rama. Sinta kangen. Tapi dia nggak pengen Rama keganggu. Dia yang udah bikin Rama jadi begini. “Ayolah, Sin. Kasian Rama. Dia kangen banget tuh sama lo,” gantian Veri yang membujuk. Sinta memandang keduanya bergantian. “Iya, ayo masuk,” ucap Riana. Sinta memalingkan pandangan ke pintu ruangan tempat Rama dirawat. Kemudian secara perlahan, melangkahkan kaki untuk masuk ke sana.
Pintu itu terbuka ketika Sinta memutar kenopnya. Perlahan, dia memasuki ruangan dingin itu. Tidak ada siapa-siapa. Rama benar-benar sendirian. “Ram…” panggil Sinta lemah. Perlahan dia berjalan mendekat dan duduk di kursi di samping ranjang tempat Rama terbaring. Kepalanya berbalut perban tebal. Beberapa bagian pipinya memar dan membiru. Tangannya yang biasa luwes menari kini lemah tak berdaya. Diraihnya tangan itu, kemudian digenggamnya erat. “Ram…” panggil Sinta pelan. “Rama… Bangun dong…” ucap Sinta pelan. Nada suaranya bergetar. Dadanya sesak. Matanya panas. Dia ingin menangis. “Ram… Lo bangun dong… Playboy kacangan…” air mata mulai menetes ke pipinya. “Emangnya lo nggak kangen sama gue? Gue kangen banget sama lo, tau… Gue pengen lo panggil tepos lagi. Gue pengen kita berantem kayak dulu lagi… Plis Ram… Bangun…” Sinta terisak. Tak sanggup lagi membendung air matanya. Dia menunduk dalam-dalam. “Oi playboy! Bangun lo! Katanya kuat! Katanya bisa bertahan! Gue kangen sama lo! Waktu lo sakit aja gue bete setengah mati sampe hampir gila. Sekarang lo tidur nggak bangun-bangun juga bikin gue mau gila tau nggak!”
Sinta tak menyadari kelopak mata sosok yang diajak bicara mulai terbuka. “Oi, tepos…” sebuah panggilan lemah membuat Sinta menggelengkan kepala. “Lo liat sekarang, Ram. Gue udah mulai gila ketika gue denger suara elo yang lagi manggilin gue!” Seru Sinta kesal, masih bercampur tangis. Rama tertawa lemah melihat Sinta yang bicara seperti itu. “Oi, tepos. Lo nggak gila kali…” “Hah?!” Sinta mendongak. Ditatapnya mata Rama yang sudah terbuka. “Ra-Rama..?” Bibir Sinta menggumam tak percaya. “Halo, cantik.” “Rama…” Sinta tak percaya. Berkali-kali mulutnya komat-kamit tanpa suara. “Kenapa natap gue kayak gitu? Gue ganteng, ya?” Benar. Ini benar-benar Rama! Ini Rama!! “Rama!!”
—
PROK… PROK… PROK… Tepuk tangan meriah membahana di dalam aula. Pentas para penari yang membawakan sendratari Ramayana itu sukses besar. Karir mereka menjadi penari terkenal akan segera terwujud.
“Wuiiih… hebat banget lo berdua! Keren!!” Sambut Veri begitu Rama dan Sinta turun dari panggung. “Hehe… Thanks, bro!” Ucap Rama. Mereka berdua kemudian melakukan tos ala cowok. “Wah, habis ini tawaran besar menunggu…” ucap Riana mengedut-ngedutkan sebelah alisnya. “Yah semoga sih, Na. Gue berharap banget dari pentas ini!” Ucap Sinta penuh harap. “Eh tapi kayaknya ini sekalian refreshing buat elo, ya, Ram?” Ujar Veri melirik Rama yang mulai memperlihatkan wajah betenya. Sesi curhat akan dimulai. “Iya, nih. Bete banget gua. Dua minggu ga boleh kemana-mana. Dikira gue kebo apa, pake ga boleh keluar-keluar segala. Kebo aja tiap sore masih boleh tuh mandi di kali. Ampe bosen gue di dalem rumah. Mana ga sempet latian lagi! Untung aja gue udah apal tuh gerakannya dari awal sampe akhir. Ga tau deh kalo ga hapal jadinya kayak gimana,” curhat Rama panjang lebar pake ekspresi muka bete sebete-betenya. “Ya namanya aja baru keluar dari RS. Ya mana boleh keluar? Lagian cedera lo kan di kepala bagian belakang. Lumayan bahaya tuh kalo kenapa-napa,” ucap Veri menasehati. “Iya tuh, Ram. Kan orang sakit ga boleh terlalu banyak gerak. Pemulihan retakan tulang tuh lumayan lama. Untung aja lo termasuk cepet sehatnya. Kalo lama yah harus nunggu ampe berbulan-bulan baru sembuh,” sambung Riana. Muka Rama makin bete.
“Eh lo berdua kapan jadian? Cocok tuh,” ucap Rama sebel sama kelakuan dua orang itu. Sontak pipi Riana sama Veri jadi memerah. “Lah, lo berdua kenapa blushing?” Ucap Sinta melihat pipi keduanya memerah. “Ketangkep lo, Ri!” Ucap Rama bernada seram. Sontak Rama dan Sinta pun tertawa melihat Veri dan Riana yang mulai salting.
~END~
Cerpen Karangan: Fatimatuzzahra Purnama Putri Blog / Facebook: Fatimatuzzahra Purnama Putri Nah, ini adalah lanjutannya yang pertama. Nggak ada yang nyangka pasti ternyata konflik ini cerita begitu rumit :3 Kalo suka boleh di share ya ceritanya..! 🙂 /Ngarep amat sih :v