“Apa dia menyukaimu?” aku menoleh sebentar dan cepat saja aku ucap padanya “Tidak, aku yakin tidak, dia sudah memiliki seseorang.” Lantas aku menelan ludah sejenak. Kenapa Karina bisa berpikir demikian? Apakah sikap ‘nya’ beda terhadapku? Kurasa sama saja. Dia selalu begitu kepada setiap wanita. Aku menoleh sekali lagi, bukan pada Karina, tetapi pada ‘nya’. Aku tersenyum pelan, aku menyukai tingkahnya yang selalu bisa membuat sekitarnya tersenyum. Itu mulia bukan? Membuat orang lain tersenyum itu sangat mulia.
Bukan aku yang mati rasa karena tingkahnya terhadapku, tapi aku tidak ingin cepat mengambil kesimpulan yang pada akhirnya kesimpulanku tidak akurat sama sekali. Apa aku kan sakit hati jika ternyata kesimpulanku tidak akurat? Tidak, dia baru dalam duniaku, bukan bagian dari urusanku. Saat ini aku bisa mengatakan tidak. Tapi selanjutnya… entahlah. Simak saja kelanjutannya.
Jam berganti jam, hingga berganti malam. Ia meminjamkan sebuah kain padaku, bukan tanpa alasan, aku lupa membawa alas tidur. Sekali lagi aku mengelak bahwa sikapnya itu berbeda. Ia pasti sudah melakukan itu pada semua orang. tidak ada yang spesial dari ini, jangan membuat kesimpulan lebih jauh. Aku cukup tau bahwa dia orang yang baik, sangat baik.
Aku nyaman berada di sampingnya, mendengarnya bercerita seakan-akan ia yakin aku pasti tertarik dengan setiap yang ia ucapkan. Pada kenyataannya setiap kata dari mulutnya selalu membuatku memusatkan perhatian hanya pada dirinya. Kurasa bukan hanya aku, semua juga begitu. Dia sosok yang menyenangkan.
Hari mulai berganti dengan diiringi tingkahnya yang semakin membuatku yakin bahwa perlakuannya berbeda. Aku tidak bisa lagi mengelak, hatiku pun tidak bisa lagi berbohong bahwa aku turut hanyut akan hari-hari itu. Pesan demi pesan aku terima, apakah ini yang dilakukan oleh seorang lelaki kepada wanita yang belum lama dikenalnya? apa pesan-pesan ini wajar? Aku harap ini wajar. Setidaknya aku mencoba berpikir demikian.
Sebenarnya aku tau, sejak awal aku merasa nyaman di dekatnya saja sudah menjadi satu kesalahan. Tapi aku tidak bisa membuat diriku berhenti dan segera menjauh. Sungguh aku menyesal, kenapa tidak sejak awal aku menjauh. Setiap kali aku duduk di dalam mobil bersamanya dan menatap wajahnya, aku mulai berpikir, ada seseorang jauh di sana yang merindukan saat-saat seperti ini bersamanya. Tapi kenapa dengan tega aku melakukan ini? Tidak, kami hanya berteman, tidak ada sepercik rasa berbeda antara kami. Semoga saja.
Aku baru menyadari bahwa aku mulai menyimpan perasaan ini ketika tidak sengaja aku melihat fotonya bersama seseorang itu dalam dompetnya. Seketika aku bangun dari pikiranku yang menyatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Aku tidak akan terluka sama sekali karena dia bukan bagian dari duniaku. Memang bukan, tapi ternyata dia sudah mengambil tempat di hatiku dan duduk manis di sana.
Harus apa? Haruskah aku menjauhinya sekarang? terlambat, aku sudah membuatnya nyaman berada di dekatku dan aku sudah hanyut di dalamnya. Aku memilih untuk menutup mata. Selama menutup mata itu pun hati dan pikiranku terus berteriak bahwa aku salah. Aku benar-benar dalam titik kesalahan. Tuhan, aku yakin Kau mengerti, aku tidak ingin menyakiti seseorang itu, tapi aku tidak ingin kehilangannya. Aku egois, sebut saja begitu, aku pun sadar.
Hari-hari selanjutnya kujalani dengan menutup mata. Yang aku tau hanya aku ingin bahagia sebentar saja, bersamanya, walaupun ada saatnya ia harus pergi meninggalkanku dan kembali padanya atau… ia tidak lagi bersamanya dan aku terus dibayangi rasa bersalah ini.
Handphoneku bergetar pelan, aku berhenti sejenak di salah satu anak tangga. Pesan itu… pesan itu membuatku campur aduk. Aku lantas berlari ke luar menemui sahabatku yang memang sedang menjemputku. Demi Tuhan, aku tidak berani mengucapkan isi pesan itu, aku hanya menunjukan padanya dan menarik napas panjang.
“Apa ini karena aku? Kurasa seseorang itu tidak tau tentang aku, apa ini salahku?”
Sahabatku tersenyum ragu.
“Ia mengatakan ini padamu, karena ia ingin kau mengetahui ini langsung dari dirinya, bukan orang lain, itu berarti kau spesial untuknya”
Tidak, jangan ucapkan itu lagi. Apa kau tau betapa aku merasa bersalah dua kali lipat. Tapi sejujurnya aku sedikit lega. ‘ia’ tidak lagi bersama seseorang itu. Berarti aku tidak perlu merasa bersalah lagi. Kenyataannya pernyataan itu salah total. Aku semakin menganggap diriku brengsek. Membiarkan milik seseorang menjadi nyaman di dekatku dan membuatnya semakin yakin untuk tidak bersama lagi.
Seseorang itu memilih untuk berpisah dengannya, dengan alasan yang belum aku tau, dan kuharap ini bukan tentangku. ‘Ia’ tidak lagi menahannya, kemudian hari-hari berikutnya aku masih mendapat pesan-pesan darinya. Aku jahat, sebut saja begitu. Apa aku punya pilihan lain selain dirinya? Tentu, tapi aku ingin dia, aku nyaman bersamanya.
Sampai pada akhirnya aku menemukan seseorang baru. Orang itu mulai mengisi hari-hariku ketika ia dan aku mulai renggang. Aku mengerti mengapa kami renggang, ia baru saja berpisah dengan seseorang jauh di sana. Tapi.. apa pantas aku menunggunya kembali padaku? Sudah cukup aku merasakan seperti menjadi tali untuk menarik ia dari seseorang itu. Aku mencoba menjalani hari-hari baru bersama orang baru. Tetap saja hatiku masih ingin ia kembali. Aku ingin dia.
Kali ini, aku yakin untuk melepaskan tali itu. Maaf, aku lebih baik belajar untuk mencintai orang baru itu daripada harus melangkah lebih jauh bersamanya. Aku tidak ingin lagi dibayangi rasa bersalah.
Malam ini aku ingin duduk bersamanya dan meluapkan semuanya. Aku ingin melepasnya, melepas perasanku yang memang sejak awal merupakan sebuah kesalahan. Salahku membiarkannya tumbuh. Aku bisa melihat matanya yang tidak sedang baik-baik saja. Tapi ia lebih bisa melihat dengan jelas mataku yang mulai nanar dengan air mata yang terus jatuh. Tangan itu menyentuh pipiku dan segera saja menghapus air mataku. Kata perkata aku jelaskan padanya, semua rasa bersalahku serta perasaanku yang mulai menyayanginya.
“Aku menyayangimu, kau wanita pertama yang benar-benar aku sayang sejak aku berada di kota ini” ucapnya. “Aku merelakannya pergi, untukmu” ucapnya lagi.
Aku terdiam. Akhirnya aku bisa mendengar bahwa ia selama ini benar-benar menyayangiku. Itu berarti… tidak hanya aku yang bersalah pada jalinan ini. Kami berdua salah, kami tau itu. untuk itulah aku berada di sini, duduk berdua bersamanya.
“Aku tau kau juga menyayangiku, aku tau” ucapnya sekali lagi.
Ia benar. Aku tidak hanya menyisakan ruang hatiku untuknya, tapi aku pernah ingin menahannya karena aku menyayanginya. Aku pernah ingin dia tidak pergi dariku. Tapi… itu sebatas pernah, malam ini aku ingin melempar semuanya jauh-jauh. Aku menjelaskan kepadanya tentang kehadiran orang itu, dan sebenarnya ia sudah tau. Maafkan aku, aku memilih orang itu. Aku memilih untuk belajar mencintai orang itu, seperti aku perlahan menyayanginya dalam salah. Aku tidak ingin salah lagi.
Perlahan aku meraih tangannya, kemudian ia menggenggam tanganku. Bisakah aku menggenggam tangannya sampai malam ini berakhir? Tidak, cukup sudah. Semua harus selesai malam ini. Aku menyayanginya. Aku tidak ingin ia terluka. Tapi entah bagaimana caranya. Harus ada yang terluka untuk ini. Aku egois karena telah melepasnya? Tidak, aku ingin ia mendapat seseorang yang lebih tepat, bukan seseorang yang ia cintai dalam satu kesalahan. Jika ia terluka karena ini, lantas bagaimana denganku? Aku lebih terluka karena harus membiarkannya pergi serta mengubur perasaanku terhadapnya.
Tenang saja, waktu akan menyembuhkan semuanya. Aku yakin, ia harus bahagia, bagaimanapun caranya.
Untuk dirinya, Aku menyayangimu. Sejak awal aku tidak sadar bahwa aku menanamkan perasaan ini dengan hatiku. Aku menyayangimu. Aku tidak bercanda, aku benar-benar menyayangimu.
Selamat tinggal kesalahan manis dalam duniaku.
Sekali lagi, Aku sangat menyayangimu, andai saja… sejak awal semua pada titik yang seharusnya. Aku bisa lebih leluasa menyayangimu dan bahkan mencintaimu. Semuanya hanya berupa pengandaian. Tidak lebih.
Selamat tinggal.
Cerpen Karangan: NN