Sang mentari telah di penghujung pagi. Bersedia menyebarkan kilau gemerlapnya. Butir-butir embun hiasi pelosok jendela rumah. Angin bersiul mengiringi nyanyian merdu burung-burung. Gadis itu siap membuka lembaran baru. Dengan langkah pasti, ia melangkah meninggalkan kediamannya. Dan menyapa sosok sahabat yang selama ini mengukir kisah indah bersama dirinya.
“Pagi, Van,” sapa gadis itu melebarkan bibirnya dengan manis sembari melambai ke sahabat sejak kecilnya itu. “Pagi juga, Rel,” sapa balik anak laki-laki itu dengan senyum khas yang tidak bisa dilupakan Aurel.
Seketika sebuah kenangan indah terputar kembali di otaknya. Kenangan yang berisi tentang pertemuan pertama kalinya dengan Revan dan pertama kalinya ia melihat senyum indah Revan. Waktu itu, mereka masih duduk di bangku TK. Hari itu juga sekolahnya mengadakan wisata…
“Puk!” suara kotak bekal yang jatuh. Kotak itu berisi makan siang Aurel yang tak sengaja terlepas dari genggaman gadis itu ketika sedang berlari. Semua yang ada di dalamnya bertebaran di tanah. Air mata Aurel membanjiri pipi tembemnya itu. Guru-guru pun segera menawarkan jajanan tapi alhasil Aurel tetap menangis. Tak henti-hentinya ia menangis. Mungkin kalau dihitung, bak mandi bisa penuh semua.
Tiba-tiba seorang anak laki-laki menghampirinya. “Kita makan bersama ya,” ujar anak laki-laki itu sembari menyodorkan bekalnya dan melebarkan senyum dengan bibir mungilnya itu. Seketika air mata Aurel terhenti, berganti dengan sebuah senyum bagai mentari. Sejak saat itu, kisah pertemanan mereka dimulai. Entah kenapa setiap pembagian kelas mereka selalu satu kelas, mungkin ini hanya kebetulan. Takdir itu membuat ikatan persahabatan tercipta di antara mereka.
“Heh! Ayo berangkat,” ujar Revan membubarkan lamunan gadis itu. “Eh.. iya,” jawab Aurel sembari melangkah menyusul sahabatnya itu.
Mereka selalu berangkat dan pulang bersama, sebab kediaman mereka bersebelahan. Mereka ibarat sepasang sepatu, jika satunya hilang maka yang lain tak akan berguna. Di sepanjang jalan, mereka berbagi berbagai kisah hidup mereka masing-masing dan saling memberi saran. Setibanya di halaman sebuah bangunan yang mereka sebut sekolah, langkah kaki mereka terhenti.
“Kenapa berhenti?” tanya Revan. “Bentar, Van. Firasatku buruk,” jawab Aurel. Dan tiba-tiba segerombol manusia kaum hawa berlarian seperti gerombolan yak yang akan berpindah tempat. Gerombolan itu datang ke arah gerbang depan sekolah sembari berteriak histeris “Mikho datang! Mikho datang!” Sebelum kehabisan kesempatan untuk menghindar, sesegera mungkin Aurel dan Revan menghindari mara bahaya itu. Hal itu sudah biasa terjadi, karena itu memang rutinitas cewek-cewek setiap kali cowok yang bernama Mikho itu datang. Mikho itu cowok terpopuler di sekolah tempat Aurel menimba ilmu bersama Revan. Selain popular, Mikho juga tampan dan berharta. Keluarganya merupakan keluarga terpandang. Dan itulah kenapa ia menjadi idaman para cewek. Hampir seluruh cewek di sekolah itu suka dengan Mikho. Lebih tepatnya 99% dan yang 1% adalah Aurel. Banyak alasan kenapa gadis itu tidak menyukai Mikho, bukan hanya sepuluh namun beribu alasan sanggup Aurel berikan.
“Tuh cewek matanya katarak apa?! Mikho cowok kayak gitu disukai?! Mungkin otak mereka sudah tidak berfungsi lagi,” oceh Aurel. “Maksudnya apa, Sayangku?” bisik seseorang dari belakang Aurel dengan memegang pundak Aurel. Aurel hampir hafal dengan suara itu, suara yang mengusik hidupnya selama ini. Dan tebakan Aurel benar itu adalah si playboy cap tikus got. “Mikho bisa ndak kalau omong itu biasa aja? Panggilanku itu Aurel bukan sayang!” jawab Aurel kesal sembari menyingkirkan tangan Mikho dari pundaknya. “Iya, Aurel cantik,” ucap si raja gombal mulai beraksi. Ucapan dan suara itu, membuat Aurel ingin segera berlari seribu cahaya dari Mikho.
“Van, ayo pergi! Ni anak ndak penting,” ajak Aurel pergi sembari menarik tangan Revan. Setibanya di kelas… “Hhhh… Mikho punya keberanian yang besar ya, buktinya dia berani gombalin kamu,” ujar Revan tertawa geli. “Hais.. apaan sih? Mungkin itu taktiknya biar aku jadi fansnya, amit-amit aku jadi fansnya. Mending jadi fansnya monyet ketimbang dia,”
“Tapi ada kemungkinan lain, Rel,” “Apaan?” “Mungkin dia suka kamu,” “Nani?! Kalau omong dijaga woi, jangan langsung asal ceplos,” “Iya iya maaf,” “Amit-amit lah,”
“Sudah duduk sana, mau masuk ini,” “Iya iya, tuan mata empat,”
“Teeeett…!!!Teeeett….!!!!” Bel pun bicara, memerintah seluruh siswa dan guru untuk segera memulai aktivitas belajar mengajar. Ketika Bu Vira melangkahkan kaki masuk kelas VII-E, betapa gemparnya seluruh kelas dengan sosok yang ada di belakang Bu Vira. Aurel yang terkejut langsung menucek matanya, mungkin ia salah penglihatan. Alhasil itu bukan salah penglihatan namun itu kenyataan buruk bagi Aurel.
“Kenapa tuh anak di sini?! Ini kiamat besar buatku,” batin Aurel.
“Anak-anak, ini Mikho dari kelas VII-A, mulai hari ini ia akan dipindahkan di kelas ini, Ibu mohon untuk berteman baik dengannya. Mikho silahkan duduk,” utus perempuan berhijab yang selama ini memberi ilmu kepada seluruh muridnya. Musibah ke-2 datang lagi, bangku di belakang Aurel kosong. Maka dengan terpaksa Mikho harus jadi tetangganya.
“Hai,” sapa Mikho sok baik. Sikap itu membuat Aurel muak dan ingin segera menendangnya keluar kelas bahkan angkasa. “Hm,” balas Aurel tersenyum getir.
Kala istirahat… “Rel, ayo kek kantin,” ajak Revan. “Oke,” jawab Aurel bergegas menghampiri Revan. Ketika on the way ke kantin, ada serangga pengganggu nyelonong di antara Aurel dan Revan yang asik bercanda. “Aku boleh ikut?” tanya Mikho tanpa rasa bersalah. “Hih! Kagak boleh,” jawab Aurel mulai terganggu. “Boleh ya? Pliss,” pinta Mikho dengan wajah melas. “Ayo, Van tinggalin aja ni setan,” ajak Aurel menarik tangan Revan tanpa peduli Mikho. “Ternyata Aurel si nona pecinta kucing kejam juga ya,” ledek Revan. “No comment,” jawab Aurel. “Haha.. iya iya,”
Usai dari kantin, mereka pergi ke ruang musik. Tempat favorit mereka. Suasana di sana tenang. Hanya canda tawa mereka yang terdengar. Tiba-tiba hawa dingin menusuk tubuh Aurel. Tanpa Aurel bicara, Revan mengerti. Revan segera melepas jaket yang ia kenakan, lalu memakaikannya ke Aurel. Tangan Revan kemudian meraih tangan Aurel dan menggenggamnya dengan erat.
“Thanks, Van,” ucap Aurel dengan senyum berjuta bintang. “Iya, sama-sama,” balas Revan. Ada suatu getaran terasa di lubuk hati mereka masing-masing. Saling menggenggam tangan membuat hati mereka berbunga-bunga, bahagia, nyaman, dan ingin selalu seperti ini. Perasaan itu bukan perasaan seorang sahabat, melainkan lebih dari sahabat. Namun mereka tak berani mengungkapkan. Mereka sudah memendamnya cukup lama. Mereka takut bila rasa ini akan menjauhkan salah satu dari mereka. Mereka tak ingin menghancurkan ikatan persahabatan yang sudah mereka bangun selama 8 tahun. Hanya karena sebuah perasaan, apa harus menghancurkan segalanya? Tidak bisa. Menjadi sahabat saja sudah cukup menyenangkan. Walau sebenarnya rasa itu menyesakkan. “Semua tidak akan hancur, begini saja sudah cukup,” ungkap dalam batin mereka masing-masing.
Waktu berlalu, sebenarnya mereka ingin waktu berhenti. Saat dimana mereka saling menggenggam tangan, bahagia, dan merasakan hal yang sama. Namun arah jarum jam terus saja memaksa berjalan.
3 minggu berlalu. 3 minggu yang bercerita hal baru. Tentang perasaan yang terpendam di antara mereka. Serta pengganggu yang terus muncul. 2 hari kemudian, usai bel pelajaran berakhir dan murid-murid kembali ke kediamannya masing-masing.
“Van, yuk pulang!” ajak gadis periang itu. “Hmm… aku harus ke perpus, ngerjain tugas. Kamu pulang aja dulu,” ujar Revan sembari membereskannya bukunya. “Oke deh, tapi jangan lupa makan ya,” “Iya makasih, Aurel. Hati-hati ya,” “Iya,” Aurel melangkah meninggalkan sebuah ruangan yang disebutnya kelas. Berjalan menyusuri lorong-lorong kelas. Suara langkah kaki terdengar tepat dari belakang Aurel. Ketika gadis itu menghentikan langkahnya, suara langkah itu juga terhenti.
“Tuhan, di belakangku ada apa?!?? Penculik kah?! Hantu kah?!” batin Aurel dengan gemetaran. Ia takut itu penculik atau hantu, karena saat itu pula lorong sangat sepi. Tapi gadis itu mencoba positif thinking, mungkin dia Revan. Ketika ia ingin berbalik…
“Tolong jangan berbalik, Rel,” pinta cowok misterius di belakang Aurel. “Hmm… Why?” “Begini saja sudah cukup,” “Hah! Maksudnya?” “Aku tak ingin kau tau aku ini siapa,” “Apa kamu hantu?” “Bukan,” “Lalu kenapa tak boleh?” “Aku hanya tak ingin kau pergi,” jawab anak misterius itu. Aurel berpikir, mungkin anak ini Revan. Karena yang ia tau, tinggal Revan yang masih di sekolah ini. “Jika tak boleh melihatmu, perkenalkan dirimu,” “Baiklah, tak perlu memberi nama,” “Lalu bagaimana aku mengenalmu?” “Nanti kau juga tau sendiri,” ucap lelaki misterius itu. “Aku seorang cowok seangkatan denganmu, bahkan kita sekelas,” sambung laki-laki itu. “Udah itu saja?” “Mungkin,” “Ya sudah,” Aurel mulai melangkah pergi. Tiba-tiba sebuah tangan meraih tangan gadis itu. Langkahnya pun terhenti.
“Chotto matte kudasai,” ujar anak misterius tadi. “Aku mau bilang sesuatu ke kamu,” tambahnya. “Hmm… baiklah,” “Anata no koto suki desu,”
Aurel terdiam mematung dengan arti ungkapan itu. Ungkapan yang berarti “Aku suka sama kamu” Hal ini membuatnya susah untuk bernafas. Di sisi lain, Aurel berharap anak misterius ini adalah Revan. Sosok lelaki yang selama ini ia sukai, sayangi, dan cintai.
“Boku no soba ite kurenai?” tanya lelaki itu berhasil membuat denyut Aurel berhenti. “Sebenarnya siapa kau?” Aurel berbalik sembari tersenyum. Seketika senyumnya terhenti sebab suatu hal yang mengecewakan. Dia bukan Revan yang ia sukai, melainkan ia adalah pengganggu hidupnya selama ini.
“Hai,” Mikho tersenyum. “Apa kau tadi..” ujar Aurel belum sempat selesai. “Iya, itu aku,” sambar Mikho. “Ke.. kenapa?” “Entahlah,” “Apa kau bercanda?” “Apa ekspresiku kelihatan bercanda?” “Entahlah, apa kau sakit?” “Tidak, aku baik-baik saja,” “Apa kau sudah minum obatmu?”
“Apa kau tak percaya bahwa aku menyukaimu?” “Tidak,” “Kenapa?” “Aku juga tak tau,” “Apa kurang jelas?” “Mungkin,” “Rel, aku menyukaimu. Apa kau mau jadi pacarku?”
“Hmm.. aku bingung,” “Kenapa?” “Banyak cewek yang lebih cantik dariku bahkan jauh lebih cantik. Mereka juga menyukaimu, tapi kenapa harus aku yang kau sukai?” “Mereka tak tulus menyukaiku, yang mereka inginkan adalah ketenaranku,” “Tapi pasti ada beberapa yang tulus menyukaimu apa adanya,” “Tapi aku menyukaimu, bukan mereka,” “Apa yang membuatmu suka padaku? Aku cuma gadis sederhana bermuka pas-pasan,” “Itu karena kau baik, dan menurutku kau itu manis,” ujar Mikho. “Rel, bagiku wajah bukan ukuran. Tapi yang menjadi ukuran seberapa tulus hatimu,” tambah Mikho. Gadis itu hanya bisa mematung, tak tau kalimat apa lagi yang harus terucap. “Apa kau tak suka? Kau tak perlu menerimaku,” “Hmm… tidak kau salah paham, justru aku senang. Tapi biarkan aku memikirkannya,” “Baiklah aku tunggu jawabanmu,” “Hmm… iya,” ujar Aurel sembari membalas senyum Mikho.
Usai itu mereka melangkah pergi, tapi ke arah yang berbeda. Kebingungan mulai menyelimuti pikiran Aurel, bahkan aktivitasnya juga terganggu.
Cerpen Karangan: Risma Anggaranti Blog / Facebook: Risma Anggaranti