Ketika matahari mulai lelah. Gadis itu duduk di dekat jendela sembari melamun. Revan yang saat itu juga di kamarnya melihat sahabatnya dari jendela sedang melamun. Sahabat Aurel bahkan orang yang disukai Aurel itu mulai mengajaknya bicara.
“Hey, nona cerewet tumben diem?” Revan mencoba membuyarkan lamunan gadis itu. “Apaan sih, tuan bego’?” “Yee, manggil bego’ padahal nilai matematikaku lebih bagus dari kamu,” “Biarin, selisihnya kan cuma 5,” “Ngelamunin apa sih? Sampai segitunya,” “Haha.. kepo dia,” “Terserahlah mau dikatain apa, yang penting aku memenuhi syarat jadi sahabat,” “Oke, fine,” “Terus?” “Ya nabraklah,”
“Ayolah, Rel. Bicara aja, aku tau kok kamu ada masalah. Sikap kamu nggak kayak biasanya,” “Sok tau, emang biasanya aku kayak gimana?” “Ya, ehmm… cerewet, gokil, humoris,” “Oh… eits, cerewet?? Masa’ sih?” “Yahh, ndak nyadar,” “Hehe… nyebelin!” “Jujur salah, bohong dosa,” “Ayolah, Rel. Ceritalah. Sejak kapan si nona cerewet jadi doyan nglamun dan diem? Betah banget sih,” “Jujur sih, rasanya aneh,” “Makanya cerita, kalau bisa aku kasih saran,” “Oh iya! Kenapa dari tadi ndak bilang?!” Aurel pura-pura bodoh. “Dari tadi udah bilang,” Revan mulai greget. “Ah, masa sih?” “Terserahlah,” “Ayo!” “Ha! Kemana?” “Ke taman lah,” ujar Aurel langsung lari meninggalkan kamarnya. Mereka berdua pun pergi ke taman, di sana Aurel mulai bercerita tentang hal yang baru saja terjadi. Termasuk Mikho yang bicara menyukai Aurel dan menembak gadis itu. Seketika Aurel bercerita tentang itu, ekspresi Revan mulai berubah. Aurel yang terlalu asik bercerita tidak menyadarinya. Revan pun bangun dari duduknya.
“Aku mau beli minum,” ujarnya berlalu begitu saja, mulut Aurel yang tadinya mengoceh menjadi diam. Dalam hati Revan begitu kecewa, langkahnya melukiskan hatinya yang sedang terluka.
“Tak tau kah dirimu. Rel? Bahwa hati ini menyukaimu. Pernahkah kau sadar rasa ini begitu menyesakkan. Hingga rindu datang menyiksa malamku. Maaf bila aku mencintaimu, rasa ini tetap memaksa untuk singgah. Mungkin aku yang terlalu takut mengungkapkan, hingga akhirnya telah ada yang bicara. Sungguh rasa ini begitu menyusahkan, ingin katakan kenyataannya namun aku tak ingin kau menjauh. Memendam masalah sungguh bukan karakterku, tapi inilah kenyataannya. Biarkan aku di dekatmu tetap sebagai sahabatmu walau hari-hariku disiksa dengan rasa yang berbeda,” sesal Revan dalam batin. Disisi lain Aurel juga menyesal.
“Aku menyukainya sejak dulu. Ketika kita saling menggenggam tangan, aku rasakan getaran itu. Getaran yang selalu membuatku senang. Tersiksa itu pasti. Tapi aku takut jika aku ungkapkan rasa lebih dari seorang sahabat maka kau akan jauh dan pergi dari hidupku. Tak dapatkah kau merasakan getaran yang sama? Getaran yang selalu membuatku merindukanmu. Aku tak mengerti kisah ini. Tidak kukira Mikho menyukaiku, menyukai aku yang juga menyukai orang lain. Mau menolak, tapi aku tak ingin melukainya. Jika terus terang, aku tak ingin persahabatanku hancur hanya karena sebuah rasa aneh ini,” batin gadis itu sembari melamun. Tiba-tiba…
“Nih! Buat kamu,” ujar seorang laki-laki sembari menyodorkan minuman. Aurel pun menengok, ternyata… “Mikho? Kenapa bisa sampai di sini?” “Kebetulan aku habis les,” “Oh…”
“Jadi, bagaimana jawabanmu?” “Masih belum kutentukan,” “Aku harap jawabanmu tidak mengecewakanku,” “Ehm.. mungkin,” “Iya semoga saja. Ya sudah, aku pamit pulang dulu ya sampai bertemu besok,” “Iya..”
Mikho pun pergi meninggalkan Aurel. Beberapa menit kemudian, Revan datang membawa 2 kaleng minuman dan wajahnya tampak kusut. Ia masih menyesal hingga kedua minuman itu ia habiskan sendiri. Sedangkan Aurel hanya memasang wajah melongo…
“Lho minuman buat aku mana?” “Ndak ada,” jawab Revan masih kesal. “Kejam sekali,” “Biarin,” jawab Revan ketus.
Ketenangan menjadi-jadi di antara mereka. Ini sangat berbeda dengan biasanya. Hingga akhirnya Aurel memulai pembicaraan… “Aku bingung mau jawab apa?” “Yang penting itu benar-benar murni pilihan kamu sendiri,” Sejenak Aurel berpikir, lalu mendapatkan jawabannya..
“Ya udah yuk pulang!” ajak Aurel dengan senyum bagai pelangi.
Pada akhirnya, Aurel menerima Mikho. Yang ia harapkan, bisa menghilangkan rasa suka pada Revan. Dan inilah kesempatannya untuk melupakan rasa itu. Bukan karena benci atau tak suka, hanya saja ia tak ingin semua berakhir. Ini sangat menyakitkan untuk Revan, ia harus melihat orang yang ia sayangi bahagia dengan orang lain. Setidaknya mereka masih sahabat.
1 bulan kemudian, hubungan Aurel dengan Mikho masih berjalan. Dan persahabatan Aurel dengan Revan tetap berlanjut. Tapi semua tak semulus bayangan Aurel. Setelah semua tau status Aurel dengan Mikho, semua cewek selalu mengolok-olok bahkan tidak mau berteman dengannya. Tentu Aurel harus sabar, buat gadis itu hal ini bukan masalah. Tak masalah bila dunia menjauh, asalkan Revan masih bersahabat dengannya.
3 bulan berlalu, kisah itu tetap tertulis dengan kedua hubungan yang masih berdiri kokoh. Suatu hari, ketika Aurel dan Mikho ke kafe. Tangan Aurel digenggam oleh Mikho. Tapi Aurel merasa tak ada yang spesial, rasa senang pun tak ada. Aurel hanya bisa tersenyum getir. Perasaan itu tak seindah saat Aurel bersama dengan Revan. Namun ia tetap berusaha menghilangkan rasa itu, meski itu sangat menyakitkan.
Kala bel bernyanyi menandakan bahwa pelajaran telah berakhir. Seluruh murid berhamburan keluar, seolah-olah bagai koloni semut yang takut air hujan. Berbeda dengan Aurel dan Revan, mereka berdua sengaja tak pulang dulu karena Aurel ingin bercerita. Usai kelas sepi…
“Van, aku bingung,” “Bingung kenapa?” “Hubunganku dengan Mikho sudah berjalan selama 4 bulan, tapi setiap dekat rasanya kayak orang asing,” “Mungkin belum waktunya kamu nyaman dengan dia,” “Kamu punya solusi?” “Coba tanya pada hatimu, sanggupkah untuk singgah? Jika iya, coba lakukan. Jika tidak, lebih baik bicara baik-baik dan akhiri secepatnya daripada kamu tersiksa,” “Oke makasih, akan kupikirkan nanti. Van, kamu pernah suka seseorang?” “Kenapa tiba-tiba nanyanya gitu sih?” “Kalau dipikir-pikir aku ndak pernah liat kamu suka bahkan pacaran sama seseorang,” “Ya pernahlah, hingga saat ini aku masih suka,” “Wahh… beruntung itu cewek disukai orang super duper baik kayak kamu. Aku salut sama dia, pasti dia baik,” “Sangat baik, tingkahnya lucu pula,” “Aku harap itu aku, Van. Tapi itu tidak mungkin, karena aku tau dirimu hanya menganggapku sebagai seorang sahabat,” batin Aurel. “Aku ingin katakan itu kamu, Rel. Tapi aku takut bila kau tau kau jauh dan pergi,” batin Revan.
“Kok kamu ndak ngungkapin ke dia?” “Dia sudah punya seseorang yang lebih pantas dia dapat,” “Sabar ya. Ciyee cinta bertepuk sebelah tangan,” ejek Aurel dengan tertawa. “Ngejek nih,” “Tidak-tidak, justkid Van. Dia pasti cantik?” “Emang cantik harus jadi ukuran? Aku ndak lihat dia dari penampilan tapi yang aku sukai adalah sikap hatinya,” “Jadi kepo deh, siapa sih tuh cewek?” “Hmm… lebih baik ndak usah dibahas lagi,” ujar Revan dengan lembut. “Maaf,” “Ndak apa-apa kok,”
“Jujur aku sangat tersakiti,” “Kenapa?” “Kau tau, setiap kali ketemuan. Ia selalu bercerita tentang Ria, mantannya,” “Mungkin dia masih belum bisa move sepenuhnya,” “Aku akan berusaha membuat dia lupa dengan Ria,” “Setidaknya aku udah berjuang, meski harus berusaha sendiri,” tambah Aurel, seketika air mata gadis periang itu mencair. “Rel, aku ngerti perasaan kamu. Pasti berat buat kamu kan, harus pacaran sama anak yang hatinya entah untuk siapa,” ucap Revan meraih tangan Aurel dan menggenggamnya erat. Aurel pun melepas sendu yang selama ini melingkupi kebahagiaannya. Mungkin ini saatnya Aurel bicara, bahwa dibalik senyum cerianya ada hati yang terluka.
“Hiks.. hiks.. hiks.. aku ndak tahan, Van. Aku udah ndak bisa bertahan, kenapa aku menerimanya? Kenapa harus berjuang sendiri? Rasanya ini semua ndak adil bahkan ini terlalu menyesakkan dan menyakitkan untukku. Hiks… hik… hiks..” terang Aurel dengan air mata yang ikut bicara tentang luka yang selama ini terpendamkan. Tiba-tiba sebuah tangan meraih gadis itu dan menenggelamkannya pada pelukan hangat. “Tenang, semua akan indah pada waktunya,” ujarnya lirih dengan memeluk Aurel. Ketenangan mulai lahir di hati Aurel. Gadis itu baru menyadari bahwa yang sekarang memeluknya adalah Revan. Gadis itu hanya bisa diam, karena ini menenangkannya. “Kamu bodoh ya, meluk anak perempuan yang udah punya pacar,” ucap Aurel tertawa kecil sembari mengusap air matanya. Pelukan Revan pun terlepas.. “Sorry, aku tadi cuma niat nenangin kamu, sumpah,” ucap Revan memastikan. “Ok, fine. Aku percaya kok,” ujar gadis itu mulai tersenyum kembali. Suasana kembali hening.
“Van, thanks ya,” tambah Aurel dengan senyum yang memancar. “Buat apa?” “Karena mau jadi sahabatku,” “Iya sama-sama, Rel,” “Mungkin besok aku akan memutuskan Mikho, aku udah nyerah. Cukup sampai sini saja perjuanganku. Udah terlalu menyakitkan rasanya harus bertahan untuk seseorang yang masih mencintai orang lain,” ujar Aurel. “Selain itu, aku juga akan berjuang untuk mendapatkan seseorang yang benar-benar aku cinta,” “Siapa? Mikho?” “Ya bukanlah,” “Terus?” “Nabrak,” “Terserah kamulah,”
Keesokan harinya, sepulang sekolah. Aurel mengejar seseorang.. “Mikho, tunggu,” ucap gadis itu sembari menepuk pundak Mikho. “Ada apa, Rel?” tanyanya lirih dengan tersenyum manis. “Aku mau menjelaskan sesuatu,” “Tolong ikut aku ke kelas,” tambah Aurel. “Baiklah,” Aurel pun melangkah menuju kelas bersama Mikho.
“Aku mau terus terang,” “Ndak perlu diterangin aku juga ngerti kok,” “Maksud kamu?” “Aku ngerti kalo selama ini aku nyakitin kamu, aku egois. Aku tetap mencintai kamu padahal aku masih berharap pada pada orang lain dan…” terang Mikho yang belum sempat selesai. “Maaf ya, Kho,” sahut Aurel. “Kenapa minta maaf? Harusnya aku yang minta maaf, aku yang sudah nyakitin kamu. Maaf ya,” “Ndak apa-apa kok. Ini bukan hal yang biasa. Jika tidak keberatan kita bisa menjadi teman?” “Iya, tomodachi. Ya sudah aku mau pulang dulu,” ujar Mikho sembari menebarkan senyumnya. Mungkin dia sedang menahan kecewa. Tapi ini lebih baik daripada nanti akan lebih banyak melahirkan luka. Jujur Aurel tidak ingin ada yang terluka, tapi ini semua ia lakukan terpaksa. Gadis itu mematung di ruang kelasnya. Wajahnya tak lagi diselimuti kabut sendu, tampak pelangi terpancar dari senyumnya.
“Dan inilah pilihan terakhirku. Ini kata hatiku sebenarnya. Akan kukatakan bahwa ada sebuah rasa terpendam dibalik ikatan persahabatan ini, terdapat rasa lebih dari sahabat. Aku memendam rasa itu sejak dulu, aku mencintainya, Revan,” ucap Aurel memecah keheningan kelas. Tiba-tiba seorang anak laki-laki berlari dan mendekap erat Aurel ke dalam pelukannya. Aurel hanya bisa membisu. Aurel masih berpikir kata apa yang harus ia ucapkan pada waktu itu juga. Gadis itu tidak pernah berpikir hal ini akan terjadi. Sosok pangerannya mendengarkan ucapannya tadi. Ini membuatnya kehabisan akal.
“Akhirnya… akhirnya kamu memiliki rasa yang sama,” ujar Revan masih mendekap gadis itu. “I…iya Van. Aku memang menyukaimu,” Aurel mencoba memberanikan dirinya. “Aku sudah lama menunggu ini,” “Maaf membuatmu menunggu, hanya saja aku takut kau menjauh bila tau semuanya,” “Aku juga sama, Rel. Kita kan sudah mengerti perasaan satu sama lain. Jadi, kanojo?” Pelukan Revan lepas perlahan-lahan. “Pacar?!?? Tapi apa boleh sahabat jadi pacar?” “Mungkin,” “Tapi ada satu syarat,” “Apa?” “Bila takdir Tuhan tidak mengijinkan kita bersama, setidaknya persahabatan ini tetap berlanjut,” “Baiklah,” “Janji?” “Iya, nona cerewet,” jari kelingking mereka saling melengkung, itu tandanya sebuah janji telah terlahirkan.
Pada akhirnya, kisah mereka berdua tertulis dengan indah. Kisah yang tidak akan pernah hilang dalam ingatan mereka masing-masing. Dihiasi sebuah senyuman tulus dari dalam hati…
Cerpen Karangan: Risma Anggaranti Blog / Facebook: Risma Anggaranti