Aku diajak teman satu kos-an-ku keluar cari makan. Biasa anak kos. Seringnya memang makan di luar. Makan di luar di sini bukan berarti makan di luar ruangan. Tapi makan makanan yang bukan hasil masakannya sendiri atau sering disebut jajan.
“Indomaret samping Taman Kuliner aja, ya, Ann,” pintanya Aku bingung. Dia pengin makan nasi, tapi ngajaknya ke Indomaret?
“Sambil duduk.” Lanjutnya “Kamu pengin makan Kispray atau nasi sebenarnya? kenapa jadi ke Indomaret?” tanyaku bingung. “Nggak jadi. Beli martabak aja. Depan Indomaret ada yang jual martabak. Aku ngiler. Ayo!”
Semangat kali sepertinya temanku itu. Tak lama kemudian aku mengangguk dan bergegas ke sana. Ke tempat yang dia minta. Indomaret.
Ia duduk termenung di depan Indomaret. Tepatnya di kursi teras Indomaret yang memang sudah disediakan di sana. Sepertinya memang baru saja dipakai nongkrong seseorang sebelum kami. Di meja, masih ada bungkus rokok LA Ice dan botol bekas minuman Kopiko 78C Coffelate.
Melihatnya melamun, aku beranjak masuk ke dalam Indomaret. Membeli es krim Wall’s cup kecil rasa coklat kesukaannya. Selesai transaksi, aku keluar dan langsung menyodorkan 1 es krim Wall’s cup di depan wajahnya.
Ia kaget. Pandangan matanya berubah. Tertuju pada es krim. Lalu menatapku. Tersenyum, dan meraih es krim itu dari tanganku. Aku pun duduk di kursi sebelahnya setelah itu.
“Thank’s,” ucapnya masih riang sambil membuka penutup es krimnya. “Berantem?” tanyaku tiba-tiba. Dan dia pun berhenti melahap es krimnya. Menatapku. Kemudian menggeleng cepat.
“Lalu?” lanjutku bertanya sambil memasukan satu suapan es krim ke mulutku. “…” ia masih terus menggeleng. Nggak mau cerita. “Oh, ya, udah,” jawabku enteng.
Kami pun menjadi hening sejenak. Menikmati es krim yaang dingin. Yang punyaku tinggal separuh dari isi sebelumnya.
“Ann.. ?” “Em,” “Pengin cerita,” “Ya, udah, sih, cerita aja.” “Aku putus.” Ucapnya.
Aku berhenti menikmati es krim ku. Lalu menatapnya dengan seksama. Seolah-olah aku benci sekali mendengar satu pernyataan itu. PUTUS. Entahlah. Aku benci kali kata itu.
“Iya. Minggu kemarin dia mutusin buat udahan. Kata dia, dia udah nggak betah ngejalanin hubngan yang tanpa status. Dia nggak kuat kalau harus lihat aku mesra-mesraan di akun sosial mediaku dengan pacarku yang di Jakarta.” “Pacarmu yang di Jakarta?” tanyaku mengulang. Bingung. “Iya, Ann. Sebenarnya aku udah punya pacar. Kami LDR-an. Jarak jauh kek kamu sama pacarmu itu loh, Ann. Dan aku jalan sama yang di sini ini ya, statusnya masih pacaran sama yang di sana.” “Ih, gila, lo! Trus-trus?” “Tapi aku udah jujur sama yang di sini, Ann. Dan awalnya dia bisa nerima. Dia mau meski belum tau ke depannya seperti apa. Dan aku pun mau melanjutkan hubungan itu. Jujur aku sayang banget sama dia, Ann. Dari dulu bahkan.” “Dari dulu?” entah aku semakin bingung. “Iya. Dulu aku udah pernah dekat sama dia. Dan sekarang aku makin sayang sama dia setelah beberapa kali jalan bareng. Tapi dia ninggalin aku gitu aja. Kan sedih akunya, Ann.” “Udah. Udah. Nggak usah nangis gitu. Coba sekarang aku tanya samamu. Kalau kamu disuruh milih, kamu pilih dia yang di Jogja, atau dia yang di Jakarta?” “…” Dia nggak jawab. “Mungkin dia ada benarnya juga buat menjauh.” Ucapku.
Yang kemudian entah mengapa suasana menjadi hening. Dan aku tak sengaja jadi kepikiran sama kekasihku yang kini masih di Korea sana.
“Dia baik, Vrey,” himbuhku sambil menyentuh pundaknya sebelah kiri. Dia masih diam. “Dia baik. Dia nggak mau ngerusak hubungan kamu sama pacar aslimu. Mungkin dia juga bingung. Dia terlalu sayang samamu makanya dia takut kalau ujungnya kamu nggak bisa milih dia. Dia nggak mau terlalu sakit nantinya, Vrey. Toh, sekarang kamu juga makin sibuk, kan? Kamu kerja full time. Masih kamu tambah paruh waktu. Jam dua belas baru pulang. Ya, kan? Dari situ, aku rasa dia juga mikir kalau kamu tuh ngasih kode ke dia biar dia nggak usah terlalu mengharapkan kamu. Karna kamu sibuk, kamu juga perlu istirahat. Dia pasti mikirnya ke situ, Vrey. Kamu seolah-olah nyuruh dia jauhin kamu dengan padatnya kerjamu sekarang. Ya, walaupun sebenarnya nggak seperti itu. Tapi aku yakin, dia pasti juga memikirkan hal itu.”
Aku berhenti sejenak. Menghela napas.
“Udah, positif aja. Sekarang artinya kamu harus fokus dengan pacarmu yang di Jakarta sana.” Lanjutku kemudian. “Tapi, Ann.. Aku sama dia udah…” “Udah apa???” aku berontak karena dia ngomongnya setengah-setengah. Dia hanya diam. Lalu menyentuh bibirnya dan menatapku melas. Dan aku tahu maksudnya.
“Ha ha ha ha ha ha,” tawaku lepas. “Annnnn. Ih, kok, malah ketawa, kenapa coba?” katanya kesal melihatku masih tertawa tak henti. Geli sendiri aku melihatnya. “Annn..ih.” “Ha ha ha, iya, iya. oke.” aku menghela napas. “Gini, yaaaa mungkin dia deketin kamu biar bisa begitu kali, tuh.” Jawabku asal, kemudian. “Masa’?” “He’em.” “Iya, Ann??” “Iya, Vreeeeeeeey. Udah. Percaya samaku. Dia emang sayang samamu. Taapi dia nggak serius. Dia nggak punya rasa tanggung jawab. Dia nggak baik. Dia main-main. Dia cuma bisa lecehin kamu. Dia… ah kamu tafsirin sendiri aja deh. Udah kali. Nggak usah nangis. Kalau dia serius, dia pasti tetep ngejar kamu. Dan kamu, kamu juga jangan serakah gitu. Kamu harus bisa mutusin salah satu. Udah deh, ayo pulang!” “Tapi, Ann..” “Apa lagi? kamu mau ngejar dia? ngapain, sih? dia itu nggak pantas buat kamu. Nggak pantas kamu kejar. Orang nggak tanggung jawab gitu, kok. Kamu nggak usah ragu lagi. Yang luas dong, mikirnya, Vrey. Dia aja gampang banget ngomong gitu, dia gampang banget ngajak pisah samamu loh, Vrey. Ngapain kamu susah-susah lupain? Dia, loh, Vrey, yang sengaja ninggalin kamu. Dia pasti udah rencanain ini di jauh-jauh hari. Kamu mau dimainin sama laki-laki kek dia?” Dia menggeleng sangat cepat. Lebih cepat dari sebelumnya.
“Ya, udah. Ayo, pulang!” Ajakku sekali lagi. “Iya, iya. Ayo. Kamu kenapa tenang banget gitu? Pacar kamu udah ngasih kabar?” tanyanya sambil kami berjalan. “Ah, aku mah, selalu tenang. Kalaupun kami nggak ngasih kabar, aku yakin dia slalu doain aku. Begitupun aku.” “Do’ain apa?” “Ya, biar Allah selalu melindungi.” “Ih, sok romantis. Emang dengan do’a hubungan lo bisa aweeeeeet? Heloo. Ada-ada ajaa.” “Eh, jangan salah. Pacarku itu laki-laki yang hebat. Jadi aku nggak perlu khawatir. Aku slalu percaya sama dia.” “Kalau dia selingkuh bagaimana?” “Ya, kalau aku mikirnya negatif terus, hubunganku sama dia nggak akan jalan kali. Nggak ada habisnya kalau kita bahas tentang ketakutan kalau, kalau, kalau, kalau. Ah, nggak penting. Tapi udah, deh. Kenapa jadi aku coba, yang diserang? Ah kau ini yaaaa..” “Ha ha ha ha ha…”
Kami berjalan kembali menuju kos-an. Nggak jauh kok. 15 menit juga sampe. Karena sambil ngobrol berdua di jalan. Rasanya seru. Dan aku sedikit menerawang. Entah tadi yang kunasehatkan sama Vrey itu benar atau tidak. Nyambung atau enggak. Aku nggak tau. Aku kali ini tiba-tiba jadi rindu. Iya. Rindu sekali. Rindu dia. Dia yang saat ini masih bertahan denganku. Dia yang sampai detik ini masih terus mensupportku. Dia… Ah. Dia istimewaku.
“Cepat pulang dari Korea ya, Cammiy-ku” ucapku dalam hati. Berjalan. Dan tersenyum. Tersenyum sepanjang perjalananku.
Haha. Cinta memang lucu.
Cerpen Karangan: Anna Safitri Blog / Facebook: kumpulankaryapena.blogspot.co.id / Anna Shafitriy