Rona mega bertahta anggun di batas cakrawala. Bersiap menyambut sang dewi malam dengan senyumnya yang mempesona. Langit mulai menghitam, meninggalkan siluet-siluet gelap yang selalu setia menemani senja.
Aku berjalan di tepi lapangan kampus. Kegiatan rapat hari ini mengharuskanku untuk pulang menjelang petang. Suara teriakan-teriakan masih terdengar dari tengah lapangan. Aku menoleh ke arah lapangan, klub basket fakultas tengah berlatih di sana.
Tiba-tiba… DUKK! Sebuah bola basket berhasil mendarat dengan mulus di kepalaku. Aku terhuyung ke belakang, namun seseorang dengan sigap menangkap tubuhku agar tidak terjatuh ke lantai semen. Aku mengerjapkan mata perlahan, rasa pusing akibat terkena bola basket masih terasa.
“Maaf, aku tidak sengaja. Kamu baik-baik saja?” ucap seorang laki-laki yang tadi menangkapku. “Aku baik-baik saja, terima kasih,” ucapku sambil memijat pelipis. “Aku Rendy mahasiswa Sastra Inggris. Kamu?” laki-laki itu mengulurkan tangan sebagai tanda perkenalan. “Aku Rea mahasiswi Sastra Indonesia,” balasku menjabat tangan laki-laki itu.
Hari itu adalah hari pertemuanku denganmu, laki-laki yang hingga kini selalu hadir dalam mimpi serta hari-hariku. Kamu, laki-laki dengan guratan wajah tegas dan sorot mata tajam namun menyimpan keteduhan. Kau tahu, aku suka berlama-lama tenggelam dalam matamu. Menyelami keteduhan yang tersimpan di baliknya, hingga lupa bahwa aku bisa saja tenggelam di dasarnya hingga tak ada seorangpun yang menolongku.
Hari berganti, bulan pun beralih. Kita menjadi semakin dekat sejak kejadian di lapangan tempo hari. Aku sering menunggumu bermain basket di tepi lapangan, melihat gerakan-gerakan indahmu ketika merebut bola dan memasukkannya ke dalam ring. Aku suka mendengar teriakan dan cicit sepatumu ketika bergesekan dengan lantai semen lapangan basket. Semua itu selalu bisa membuat senjaku semakin indah.
Hari ini kau mengajakku ke sebuah taman di tengah kota. Katamu, kau sengaja izin untuk tidak ikut berlatih basket hari ini untuk menanyakan satu hal padaku. Dan di sinilah kita, berdua menikmati senja yang tak lama lagi menghilang di telan gelap.
“Aku mencintaimu. Adakah rasa yang sama di hatimu untukku?” tanyamu tiba-tiba, tanpa kata pembuka.
Aku melihat ke dalam matamu dan aku kembali tenggelam dalam keteduhanmu. Aku menangkap keseriusan di sana, satu hal yang belum pernah aku temukan dalam sorot matamu yang teduh namun jenaka. Meski aku tahu kau akan mengatakan hal tersebut, namun tetap saja ada sesuatu yang bergemuruh dalam dadaku. Bergejolak dan membuatku nyaris melompat. Bahkan aku takut kau bisa mendengar detak jantungku yang tidak beraturan saat ini.
Aku mengangguk, kemudian tersenyum kecil. Sepertinya kau tidak menghiraukan isyaratku, kau bahkan tidak berhenti menatapku dengan pandangan yang sama seperti beberapa saat lalu.
“Aku mencintaimu,” ucapku kemudian.
Kau tersenyum kemudian menyandarkan kepalaku di bahumu yang datar. Aku bisa mencium aroma parfummu yang segar dari sini. Diam-diam aku menyukainya, menghirupnya dalam-dalam, dan merekamnya dalam ingatan. Seperti inilah aromamu, aroma seseorang yang hari ini resmi menjadi kekasihku.
Semua berjalan seperti sebelumnya. Aku masih sering menemanimu bermain basket kemudian memberikan sebotol air mineral setelah kau selesai bermain. Kegiatan rutin yang selalu aku lakukan setiap kali kau berlatih, namun aku menyukainya.
Beberapa bulan berlalu sejak kejadian di taman hari itu. Sebuah berita yang sangat tidak ingin aku dengar akhirnya berhasil mengetuk telingaku. Kabar itu mengalir dari mulut ke mulut, bahkan sudah hampir menyebar seantero fakultas Sastra. Kapten basket putra fakultas Sastra yang tengah dekat dengan perempuan lain, padahal laki-laki itu sudah memiliki kekasih. Dan aku tahu, kapten basket putra fakultas itu kamu.
Aku mencoba menanyakan padamu perihal kabar tersebut, dan dengan tegas kamu menjawab tidak. Setidaknya, jawaban tersebeut mampu menghiburku serta membuatku lupa tentang desas-desus yang tidak jarang menghadirkan luka.
“Jangan biarkan hatimu terjebak dalam pikiran buruk tentangku. Biarkan mereka berkata sesuka mereka. Jangan takut, aku tetap untukmu. Tetap Rendy yang akan selalu menemanimu,” ucapmu sambil menepuk puncak kepalaku lembut.
Kehangatan menjalar dalam dadaku. Rasa hangat yang menghadirkan kenyamanan, membuatku untuk ingin terus bersamamu. Lelaki ini selalu bisa membuatku tenang, ketika gelisah datang menyerang.
Hari-hari berlalu. Cerita-cerita itu masih sayup-sayup terdengar meski tak seheboh dulu. Aku sedikit lega, setidaknya aku tahu bahwa Rendy masih di sini, bersamaku.
Seseorang menarik tanganku dari belakang. Rey, sahabatku sejak pertama kali masuk di kampus ini. Kami hampir selalu bersama, namun beberapa bulan ini berubah semenjak aku mulai bersama dengan Rendy. Rey mulai sulit untuk dihubungi, bahkan ketika aku membutuhkan tempat untuk berbagi kebahagiaan bersama Rendy.
“Ada yang mau aku bicarakan denganmu,” ucap Rey ketika kami tiba di tepi kolam kampus yang tidak jauh dari fakultasku. “Ada apa?” tanyaku.
Setelah beberapa bulan tidak bertemu Rey, sepertinya lelaki ini sedikit berubah. Rambutnya lebih rapi dari beberapa bulan yang lalu. Kumis tipis mulai muncul kembali setelah dicukur habis ketika terakhir kali aku bertemu dengannya hari itu.
“Lepaskan Rendy,” ucapnya. Raut wajah lelaki itu berubah serius. “Aku tidak akan melepaskan Rendy apapun yang terjadi. Kenapa? Kamu percaya dengan ucapan teman-teman sehingga menyuruhku untuk melepaskan Rendy?” ucapku dengan nada yang sedikit tinggi. “Kau tidak mengenalnya Rey, kau hanya tahu dia dari berita yang sebarkan teman-teman. Aku mengenalnya lebih dari yang mereka tahu. Jika tujuanmu mengajakku ke sini untuk memaksaku melepaskannya. Maaf, aku harus pergi,” ucapku. “Tapi Re…” ucapan Rey terputus ketika aku melambaikan tanganku sebagai isyarat penolakan kemudian pergi menjauhi lelaki itu.
Aku tidak ingin mendengar apapun tentangmu sekarang, sekalipun itu dari Rey. Mereka tidak mengenalmu seperti aku mengenal dia. Aku tahu, sebenarnya aku terlalu bodoh jika begitu memercayaimu. Memercayai seseorang dengan sangat, hanya melukai dengan sangat juga pada nantinya.
Lima bulan sudah kami bersama. Lelaki bermata tajam namun menenangkan itu masih tetap bersamaku. Meski ada hal-hal yang berubah belakangan ini, termasuk tentang sikapmu. Entah apa yang terjadi, kau tiba-tiba saja berubah menjadi sosok yang tidak lagi kukenali. Kau juga tidak menjengukku di rumah sakit ketika aku terbaring tidak berdaya hari itu. Bahkan Rey yang menemaniku setiap hari di rumah sakit hingga aku diperbolehkan untuk pulang.
Sore yang cerah, matahari senja bersinar cerah di ufuk barat. Aku berjalan melewati tepi lapangan basket tempat biasa kau bermain basket. Hari ini lapangan basket terlihat sepi, tidak ada anak-anak yang berlatih di sini. Wajar saja, seminggu ini tengah diadakan Ujian Tengah Semester.
Tiba-tiba saja mataku menangkap sosok yang tidak asing bagiku, sosok yang begitu aku kenali. Aku menajamkan tatapanku, itu kamu. Tapi siapa perempuan yang tengah bersamamu? Kau terlihat begitu dekat dengannya, bahkan aku bisa melihat tanganmu menggenggam jemari perempuan itu. Ada sesuatu menyeruak dalam dadaku, rasa marah, emosi, terluka yang bercampur menjadi satu. Apa ini alasanmu mengabaikanku sejak beberapa minggu yang lalu?
Aku berjalan menghampiri lelaki itu. Kau masih sibuk dengan perempuan yang tengah duduk di sebelahmu, sepertinya kau tidak menyadari kedatanganku. Mataku memanas, namun aku menahannya sekeras mungkin. Aku tidak ingin menangis di depan seseorang yang telah melukai hati dan kepercayaanku.
“Jadi ini yang membuatmu mengabaikanku belakangan ini?” tanyaku ketika sudah tiba di hadapanmu.
Kau dan perempuan itu terlihat sedikit kaget, namun dengan cepat kau mulai bisa menguasai diri. Tatapan mata itu masih terlihat menenangkan, sama seperti pertama kali aku bertemu dengannya. Tatapan mata yang selalu bisa membuatku jatuh cinta.
“Ini tidak seperti yang kamu lihat,” ucapmu membela diri. “Siapa dia?” aku masih mencoba terlihat tenang, meski dalam hati ingin sekali memakimu dan perempuan itu. “Aku bisa jelaskan, Rea,” ucapmu sambil mencoba menggenggam tanganku. Dengan cepat aku menyembunyikan tanganku di balik punggung.
Aku tidak ingin kehangatan yang dulu pernah aku rasakan dalam setiap genggaman tanganmu akan meluluhkanku lagi. Aku berlari meninggalkanmu dan perempuan itu. Berlari, melepaskan semua perih yang menggerogoti hati.
“Sebenarnya aku ingin mengatakannya padamu sejak awal, namun sepertinya kau tidak akan memercayaiku. Kau hanya melihatnya dari satu sisi, tanpa mau melihat dari sisi yang lain. Kau hanya melihatnya sebagai sosok yang sempurna di matamu, tanpa memedulikan seperti apa dia di belakangmu,” ucap Rey sambil menyandarkan kepalaku di bahunya.
Rey menghampiriku ketika aku tengah duduk di tepi kolam. Sebenarnya aku tidak ingin dia menghampiriku ke sini. Aku tidak ingin dia melihatku menangis karena kebodohan yang aku pelihara sendiri. Namun aku lelah, aku tidak mampu menanggung semua sendiri.
“Kau boleh menangis sesukamu. Kau boleh menumpahkan semua luka hatimu. Kau terlalu terfokus padanya, hingga tidak menyadari ada seseorang yang rela terluka untukmu. Ada seseorang yang menunggumu hingga kau sadar bahwa dia tengah menunggumu. Meski kau tak pernah menyadari hal itu,” Rey berucap lirih. Aku mengangkat kepalaku, memandang lurus ke arah lelaki yang tengah duduk di sebelahku.
“Siapa?” tanyaku sambil mengusap air mata.
“Aku,” ucap Rey. Matanya menatap lurus ke arah mataku. Sebuah getaran kembali hadir dalam dadaku. Getaran yang sama seperti yang pernah aku rasakan ketika pertama kali kau menatap lurus ke dalam mataku beberapa bulan yang lalu. Tatapan yang nyatanya harus mencipta luka.
“Aku mencintaimu, meski kau tidak pernah menyadarinya. Aku tahu siapa lelaki itu. Sebenarnya aku tidak ingin kau bersamanya, namun aku tidak mampu membunuh kebahagiaan yang terpancar dari matamu. Aku tidak ingin menorehkan luka di hatimu ketika aku mengatakan yang sebenarnya. Bisakah aku memperbaiki semuanya? Memperbaiki kesalahanku yang telah membiarkanmu terjatuh dalam luka. Bisakah aku menjadi alasan dari bahagiamu seperti ketika dulu kau bersamanya?” ucap Rey.
Aku mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba mencerna kalimat yang keluar dari mulut lelaki di hadapanku. Luka yang kau torehkan sedikit terobati karena kehadirannya. Aku mengangguk.
“Aku akan berusaha tidak membuatmu kembali merasakan luka. Izinkan aku menggantikannya. Meski aku tahu, aku tidak seindah dia,” ucap Rey.
Tidak untuk selamanya tatapan mata menenangkan milikmu menenangkan. Ada gejolak yang kau sembunyikan, melukai dengan pelan dan sangat perlahan.
Tidak untuk selamanya tatapan itu mampu membuatku jatuh cinta, nyatanya dia malah membuatku terjerembab dalam luka. Tidak untuk selamanya kau menjadi alasan dari setiap bahagiaku.
Tenang saja, aku tidak akan mengingat kejadian itu lagi. Biarkan luka ini mengajarkanku, bahwa tidak selamanya yang berawal indah akan berakhir dengan indah pula.
Jangan biarkan aku kembali terluka ketika aku mulai membuka hati, Rey. Tetaplah menjadi sosok yang mampu membuatku merasa spesial. Tetaplah menjadi seseorang yang tidak pernah lelah mendengar celotehku. Dan tetaplah bersamaku.
Cerpen Karangan: Eka Agustina Rahmawati Putri Ig: @eka_agstnarp Tulisan-tulisan yang lain bisa dibaca di: blog: segenggamharap.blogspot.com storial.co: @Chaa