Perempuan yang membuatkan kopi untukku itu, namanya Listya. Aku pertama kali mengenalnya di Facebook, dan cukup lama berteman. Sejak dua minggu ke belakang, aku telah berjumpa dengannya secara langsung. Itu pun karena kebetulan. Atau, mungkin memang sudah ditakdirkan. Kupesan padanya, agar tidak terlalu banyak memberi gula pada kopiku, karena dia sendiri sudah manis, dan orangtuaku punya riwayat diabetes. Dia malah tertawa, lalu mengataiku ‘gombal’.
Mengesankan. Pertemuanku yang tak disengaja itu, alih-alih telah memberi satu rutinitas yang baru buatku. Bagaimana tidak, kegiatan kuliah yang biasanya datar dengan cara pulang-pergi yang membosankan, sekarang bisa sedikit kuisi dengan mampir ke ‘rumah makan’ milik Listya. Dan memesan kopi, bukanlah alasanku satu-satunya.
“Sudah berapa lama kuliah di Tangerang, Dit?” Tanya Listya pada kesempatan pertama aku nyasar di kedainya. “Yaa, hampir dua tahunan lah” jawabku.
Aku, sejatinya tinggal di kota Cirebon. Memiliki pekerjaan di sana dengan hari kerja Senin sampai Jum’at. Dan dua hari sisanya kugunakan untuk kuliah di Tangerang. Jauh memang, dan tidak akan mungkin kulakukan jika bukan karena ada Bibi yang memberiku tempat tinggal selama kuliahku di sana.
Listya memang teman yang gampang akrab. Aku bercerita banyak hal dengannya. Bahkan sampai yang tidak penting sekalipun. Katakanlah lelucon. Namun justru itu yang lebih membuatnya senang. Tapi, aku tidak bergurau saat kukatakan dia manis. Dan aku suka dengan senyumnya kalau sedang tersipu. Atau, kalau sedang menyambutku -yang sudah berulang kali- datang di kedainya. Dia tampak sumringah.
“Kamu jangan lewatkan mampir ke sini ya, kalau misal mau pulang” pintanya yang seringkali kudengar.
—
Perempuan yang sedang membuatkanku kopi itu, namanya Mila. Aku mengenalinya empat tahun yang lalu, dan dua tahun kemudian, aku menikahinya. Terlalu bertele-tele. Jelasnya, Mila itu istriku. Aku pesan padanya, jangan pakai air yang terlalu mendidih untuk kopiku. Sudah siang, tidak ada waktu untuk meniup-niup kopi yang panas menyengat sampai benar-benar bisa kuteguk.
“Siapa suruh tidur larut malam? Repot sendiri kan kalau kesiangan?” gerutu Mila saat menaruh kopi itu di meja. “Bukannya kamu sudah tidur waktu semalam aku pulang? Tahu dari mana aku tidur larut malam?” Tanyaku heran.
Semalam, aku memang tiba di rumah tepat pukul dua. Bukan jam sepuluh seperti hari-hari sebelumnya. Saat kubuka pintu kamar, Mila tampak sedang nyenyak dalam tidurnya. Tanpa perlu membangunkannya, aku hanya masuk untuk menarik satu bantal lalu keluar lagi menuju sofa. Di sana aku tidak langsung menutup mata, karena handphoneku terus bergerak menandakan pesan-pesan yang masuk dari Listya.
Isinya, ‘Aku belum bisa tidur, Dit’ Balasku, ‘Kenapa? Lupa beli obat nyamuk?’ ‘Bukan. Tapi ciumanmu terlalu berkesan’. Seperti itu katanya Ya Tuhan, dia menyukai apa yang sudah kulakukan padanya.
Saat sore kemarin, sebelum aku meninggalkan Tangerang, aku pergi ke tempat kerjanya seperti yang ia minta. Kemudian, setelah beberapa lama, dia menunjukkan rasa keberatan saat melihatku hendak pergi setelah habis secangkir kopi.
“Bisa bantu aku tutup kedai ini dulu kan, Dit?” rayunya. “Lho? Masih sore begini?” “Sudah pegel, hehe. Lagipula sudah sepi”
Aku tidak menolak. Kedai Listya pun akhirnya tutup sebelum isya. Dan aku, gagal mengucap pamit ketika Listya malah memintaku untuk menemaninya pulang. Aku menurut saja dengannya. Kuantar dia cuma sampai depan pagar rumahnya.
“Sudah malam. Aku pulang ya, Lis?” Pamitku setibanya di kediaman Listya. Tak ada jawab yang keluar dari bibir manisnya, melainkan senyum hangat yang bisa kubaca makna di dalamnya. Sepasang mata Listya menatapku lekat-lekat, kemudian ia membenamkan tatapan itu ketika wajahku mendekat. Selanjutnya…
“Memang semalam mas pulang jam berapa?” lanjut tanya Mila “jam 12 aku masih nonton tv, dan mas belum pulang tuh” “Aku mulai ikut kegiatan ekstra, Mila… dan untuk kedepan mungkin akan selalu pulang lebih lambat dari biasanya” kilahku sehabis satu teguk kopi.
Aku sudah tidak ada waktu untuk membahas keterlambatan pulangku lebih lanjut. Kuharap, Mila cukup percaya dengan satu alasanku itu. Matahari tidak sedang menanti, dia terus meninggi menuju siang hari. Apalah daya aku harus cepat permisi.
“Aku berangkat dulu. Sudah siang” kukecup kening Mila, dan lekas angkat kaki.
Setelah beberapa langkah, aku sempatkan satu kali untuk melirik Mila yang masih mematung di tempat duduknya. Saat itu, rasa khawatir tiba-tiba mengetuk.
Sepanjang jalan, kepala pun mulai dibuahi bermacam pikiran. Mungkinkah Mila mencurigaiku? Dan di satu cabang pikiran lain, apa jadinya bila suatu saat Listya tahu bahwa aku telah beristri? Pertanyaan demi pertanyaan bergantian, di kepalaku yang masih sedikit dibuai rasa kantuk. Aku tidak menduga, ketika tiba-tiba di depanku sudah ada seorang penyeberang jalan yang menjerit melihat laju kendaraanku sedang menghampirinya. Spontan bercampur kaget, ditambah panik pula. Kubanting setir sedapat mungkin untuk menghindari tubuh itu. Dan akhirnya berhasil kulewati dia tanpa mencelakainya. Namun, kendaraku yang sudah memakan jalur lawan, pada akhirnya harus pasrah disambar minibus yang memang tidak sempat lagi untuk memberi rem pada lajunya. Menjadikan sepeda motorku ringsek. Dan melemparkan tubuhku sejauh 7 meter. Juga, merenggut nyawaku dalam hitungan detik saja.
End.
Cerpen Karangan: Aditya Ramadhan Blog / Facebook: Aditya Ramadhan