Halaman belakang SMA Nagari dikelilingi belasan pohon mangga yang akan berbuah pada masanya. Berbagai macam mangga menggambarkan keanekaragaman di negara kita. Salah satu pohon tertua disana, pohon mangga madu, ditanam bibitnya oleh Direktur SMA Nagari, Pak Harun yang merupakan Ayah Galang, sebelas tahun yang lalu. Di halaman belakang ini jarang dimanfaatkan oleh murid-murid sehingga rumput liar tumbuh dengan subur disana.
Di pinggiran halaman terdapat kursi panjang yang kini di atasnya terbaring dua orang siswa masih lengkap dengan seragam putih abu-abunya. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore tapi mereka masih setia menetap di sekolah berteman dengan sapu lidi dan pengki.
Galang selesai dari tugasnya membuang sampah ke bak sampah besar di pojok selatan halaman. Dia berjalan ke arah kedua temannya yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Semenjak kejadian berdarah di gedung olahraga bulan lalu, Galang selalu turut andil mengerjakan hukumannya sendiri maupun hukuman teman-temannya sepenuh hati. Membuat hubungannya dengan Vano beranjak baik.
Drrrtttt. Galang melepas sarung tangannya kemudian merogoh sakunya untuk mengambil ponsel di saku celananya. “Halo??” Suara lemah seorang wanita terdengar dari seberang. Ekspresi yang awalnya biasa saja, hanya sedikit kelelahan, beranjak panik. “Kau dimana??” “…” “Baiklah, aku kesana” Nino hanya melirik Galang yang tampak tergesa-gesa, sementara Vano masih tidur di depannya. Dia pasti juga kelelahan dengan persiapannya mencalonkan diri menjadi Ketua OSIS dan lagi-lagi menjalani hukuman yang kadang bukan karena ulahnya.
Setelah terlelap sekitar dua puluh menit, Vano membuka matanya, ia menggeliatkan tubuhnya. Hal pertama yang ia lihat adalah Nino si pria tampan populer yang sibuk dengan smartphone di tangannya. Sudah tentu sibuk bermain game yang sedang viral sekarang. “Kemana yang lainnya?” Menyadari tersisa dua per lima saja teman-temannya. “Ricky dan Arga membeli minuman, kalau Galang-” Dia menggantung kalimatnya, karena dia sendiri juga belum sempat bertanya kemana pria itu pergi, “sepertinya dia terburu-buru, dia pergi setelah menerima telepon.” Vano menganggukkan kepalanya setuju kemudian kembali memicingkan matanya.
Sementara di halaman depan baru tiba dari minimarket di depan sekolahnya, Ricky dan Arga membawa dua kantung kresek putih berisi minuman dingin dan beberapa makanan ringan. Kantin sekolahnya sudah tutup sejak jam empat, saat jam pulang sekolah. “Aku akan memukul mereka jika sampah yang tinggal sedikit tadi masih belum beres juga,” Ucap Ricky sambil menghisap es krim rasa melon di tangannya. Urutan yang paling banyak bekerja saat menjalankan hukuman adalah Arga, Vano, Ricky, Nino, terakhir Galang.
“Kupikir kau akan memukul mereka-“ Arga menyeruput minuman isotonik berbotol biru, “aku yakin mereka sedang bermalas-malasan sekarang.” Cibir Arga dan benar saja mereka tak akan bekerja tanpa Arga atau Vano yang meneriakinya. Sedangkan Vano sudah sangat kelelahan.
Sampai di lorong yang menghubungkan kelas X dan XI, Arga melihat Galang berlari dengan tergesa-gesa menaiki tangga milik gedung selatan, gedung dimana kelas mereka bernaung. Gedung selatan juga satu-satunya gedung yang memiliki atap tanpa genteng alias atapnya hanya campuran semen dan batu yang dapat diinjak. “Itu kan-” Arga melambatkan langkahnya, ia memastikan lalu melihat ke atas gedung atau tepatnya di atap. Terdapat seorang gadis berambut sebahu dengan seragam abu-abu dan sweater merah muda. “Ada apa??” Ricky yang sudah cukup jauh di depannya, sebelum Ricky kembali padanya dan semakin penasaran, Arga segera menuju kepada Ricky, “Kau kenapa sih??” Ricky mengerutkan dahinya. “Kau duluan kesana,” Arga menyerahkan kantung plastik berisi minuman yang ia bawa, “Aku sudah tidak tahan, aku harus ke toilet,” Ucapnya panik sambil memingkupkan kakinya untuk mempernyata sandiwaranya. Semoga Ricky yang tidak peka itu tidak menyadari bahwa ia menutupi sesuatu. Ricky mengangguk, “Baiklah, jangan lama-lama, kau bisa tidak kebagian makanannya,” Ricky akhirnya beranjak mendahuluinya.
Bukannya Arga ingin menyembunyikan hal yang bahkan ia belum tahu apa, namun memastikannya sendiri lebih dulu dapat meminimalisir bersitegang antara teman-temannya nanti. Dia sangat khawatir terjadi perang saudara antara teman-temannya lagi.
Dia berjalan menuju gedung selatan. Gadis itu, dia tahu itu Stella. Gadis yang dikejar Vano sejak awal kelas X tapi mereka semua juga tahu, gadis itu menyukai Galang. Gadis yang berasal dari keluarga miskin itu namun berwajah cantik menyukai seorang pangeran Nagari yang bahkan ditakuti para guru. Bak si pungguk yang merindukan sang bulan. Sejak tahu kebenaran ini dua bulan lalu, pertemanan mereka benar-benar rapuh, mudah bertengkar dan berkelahi.
“Ada apa, Stel??” Tanyanya canggung. Sejak tahu gadis di depannya ini menyukainya, ia belum pernah bicara berdua saja seperti ini. Ini pertama kalinya. Selain tak ada yang harus dibicarakan, Vano-lah alasan Galang menghindari Stella. Dia sadar persahabatannya lebih berharga dari sedikit perasaannya untuk Stella. Stella berbalik, menampilkan senyum, rambut hitamnya tertiup angin senja kala itu. Dia belum mengatakan apapun tapi seolah Galang mampu membaca mata sedih dan kesepian milik Stella. Sudah jadi rahasia umum di SMA Nagari bahwa gadis yang menjadi kembang Nagari itu mengalami banyak kesulitan disini. Dia banyak disukai murid laki-laki sehingga banyak yang menggodanya, namun lebih banyak juga murid perempuan yang membencinya hingga sering melakukan tindakan bullying. Dia tidak punya banyak teman karena keadaan ekonominya dan peringkatnya yang biasa saja.
“A-aku-“ Stella menatapnya nanar, “aku telah kehilangan semuanya, Galang,” satu tetes air mata menetes dari pelupuk matanya, “tidak ada seorangpun yang menginginkanku di dunia ini..” Stella semakin terisak hingga badannya terhuyung ke tanah. Galang ragu haruskah ia menenangkannya, ia tak pernah terlibat dalam adegan drama semacam ini dengan perempuan. Drama dalam hidupnya hanya tentang pertarungan sesama pria.
Di halaman belakang, Vano minum sebotol cola sekali teguk, lalu bersendawa yang bagi Ricky menjijikkan. “Kau tidak akan berhasil menjadi Ketua OSIS, aku yakin-” Ricky menepuk bahu Vano sekalian mengejeknya. “Mereka tidak akan mau punya ketua kunyuk sepertimu, jadi menyerah saja, oke??” Ricky ganti mengusap-usap kepala Vano. Padahal jelas-jelas Vano lebih tua beberapa bulan darinya. “Kau mau mati??” Hanya dengan tatapan tajam Vano saja cukup membungkam mulut ceriwis Ricky.
“Ngomong-ngomong kemana Galang?? Apa dia kabur lagi seperti biasanya??” Ricky mengalihkan pembicaraan namun cemas-cemas mengucapkan pertanyaannya, takut Vano akan terprovokasi. Vano mengendikkan bahunya. Nino yang masih sibuk dengan gadget-nya sambil makan keripik kentang rasa barbeque menjawab, “Sepertinya tidak, tadi dia buru-buru pergi, lagipula tasnya masih disini,” ucapnya sambil menunjuk tas mereka yang ditaruh sembarangan di bawah pohon. “Arga juga kenapa lama sekali sihh, nanti dia pasti menghajarku kalau aku menghabiskan makanannya, dasar..” Gerutu Ricky sendirian, “No, coba kau telfon Arga, aku akan telfon Galang..” Nino hanya meresponnya dengan anggukan, lalu melaksanakannya. Karena dia yang termuda, semua titah teman-temannya selalu ia laksanakan. Nino memang pribadi penurut, namun ada kalanya ketika ia terkekang, ia akan berontak.
Selang beberapa saat mereka menghubungi, Galang tiba dengan tersengal-sengal. Eskpresinya ia coba netralkan sebaik mungkin. “Kau darimana??” Tanya Ricky dengan tampang ingin tahunya. Seperti biasa. “A-aku d-dari-“ Sebelum Galang sempat menjawab, Arga tiba dengan senyumnya yang selalu merekah, dia memang terkenal selalu ceria seperti Ricky. “Maafkan aku lama ya..” “Hei kunyuk!! Kau pergi ke toilet rumahmu ya?? Atau ke toilet gedung timur?? Atau jangan-jangan kau lupa cara pipis di toilet??” Cerca Ricky. Untungnya kedatangan tiba-tiba Arga membuat Galang tidak perlu menerangkan darimana dia pergi, bertemu siapa, dan melakukan apa. “Ada masalah dengan perutku, lagipula ini juga kan gara-gara kau menyuruhku banyak makan..” “Siapa suruh badanmu kurus kering begitu?? Ini makan!!” Ricky menyodorkan sebungkus roti isi. Arga ikut duduk di samping Ricky, menyusul Galang yang sudah duduk lebih dulu. Dia memandangi Galang dari sisi samping wajahnya, ia tertawa dan bergurau bersama seperti biasanya. Bahkan dengan Vano, hubungan mereka benar-benar sudah akrab kembali. Setiap orang memiliki rahasia yang tidak selalu bisa dikatakan.
Mereka berlima menyelesaikan hukuman terakhir sebelum ujian kenaikan kelas. Bisa dikatakan terakhir, karena tidak mungkin kan mereka melakukan kebodohan saat ujian, tapi tak ada yang tak mungkin bagi para pembuat onar ini. Setidaknya hukuman pasti diberikan setelah tahun ajaran baru, atau saat liburan. Tetap datang ke sekolah saat liburan demi menjalankan hukuman, sudah bukan hal asing.
Berjalan serentak ke arah tempat parkir motor, mereka seperti segerombol preman dengan seragam murid sekolah menengah atas. Lelucon demi lelucon yang lucu maupun tidak saling mereka lontarkan. Peringkat paling bisa membuat tawa menggelegar adalah Ricky, Arga, Nino, Galang lalu Vano.
“Teman kecilku akan pindah ke sekolah kita semester depan, tapi ingat jangan ada yang mengusiknya,” Ricky dengan wajah seriusnya sedangkan keempat temannya terkikik geli. Ricky yang mereka kenal tak pernah peduli urusan perempuan. “Ya.. ya.. cinta pertamamu itu kan?? Kami sudah sering mendengar omong kosongmu itu..” Cibir Vano sambil merangkul bahu Ricky. “Omong kosong?? Hahh dengar ya kau, ya terutama kau, kau yang paling mudah menyukai gadis diantara kita, jangan coba mengganggunya!!“ Vano tertegun, tapi ucapannya ada benarnya, “lagipula dia bukan cinta pertamaku, aku tidak menyukainya, aku bersahabat dengannya..” Sebenarnya mereka percaya dengan Ricky. Ricky walaupun sering dengan mudahnya bilang suka pada perempuan tapi sesungguhnya dia yang paling sulit jatuh cinta dan terlihat jauh secara hati dari gadis. “Tenang, tidak mungkin Vano menyukainya, dia kan hanya suka pada satu gadis..” Tiba-tiba semua diam karena ucapan frontal Arga. Stella, jelas gadis itu yang Arga maksud. Mereka semua juga tahu akan hal itu. Namun atmosfer jadi memburuk karena juga ada Galang disana. “Hahahahahha-” Tawa Ricky bergema sambil sesekali memukul lengan Arga, “kau bercanda?? Ahahhaha.. atau kau mau mati?? Hahhahah kau sudah bosan hidup??” Ricky dan Arga memang yang selalu berbuat konyol diantara mereka. “T-tidak m-maksudku itu karena Vano orang yang setia..” Bela Arga tapi terlihat sandiwaranya. Arga memang tak pandai berbohong. “Kalian benar-benar memuakkan!” Kesal Vano lalu berjalan mendahului mereka. Nino yang bergidik dengan Vano, berjalan mengekorinya, “Aku setuju, kenapa kita berteman dengan pecundang seperti mereka..” Cibir Nino. “Hei kunyuk, kami bisa mendengarmu..” Teriak Ricky lalu mengejar pria yang sangat pendiam bahkan jarang sekali mendengar suaranya diantara perbincangan mereka. Dia hanya akan bicara disaat tertentu, untuk melumerkan suasana, atau membela teman-temannya.
“AAAAAAAAAAAAAA…!!!” Teriakan histeris seorang wanita dari dalam sekolah. Keadaannya mereka sudah berada di area halaman depan yang sudah dekat dengan tempat parkir motor. Kelima siswa itu saling menatap, saling bertanya lewat tatapan sebelum akhirnya bersama berlari ke dalam. “Ada apa ya???” Tanya Ricky sambil mereka sama-sama menelisik dimana sumber suara nyaring yang menempatkan mereka di sana sekarang. Kelimanya tampak resah, terutama Arga, ketakutannya berkaitan dengan Stella, dia gadis terakhir yang ia lihat berkeliaran di sekolah di senja ini. Khawatir terjadi sesuatu yang buruk pada gadis itu.
Mereka menyusuri setiap sudut sekolah. Bodohnya mereka tidak menyebar, mereka bergerombol ke setiap tempat setia mengekori Vano, sungguh pertemanan yang erat. Vano, sebagai pemimpin jalan, orang yang ada di paling depan menghentikan langkahnya karena merasa ada suara aneh di sekitar mereka. Tentu saja empat orang lain mengikutinya.
Matahari sudah terbenam membuat keadaan SMA Nagari gelap, lampu-lampu belum dinyalakan. Sudah pasti mereka menggerutuinya, “Sial, kenapa lampunya tidak dinyalakan!!” Benar kan gerutu Galang yang merupakan putra direktur sekolah terdengar. Ricky merangkul leher Galang, “Inilah gunanya anak direktur menjadi murid di sini, kau harus menceritakan ketidakprofesionalan ini pada Pak Direktur, oke?” Ricky menepuk bahunya, Galang hanya memandangnya sinis.
Sampailah mereka di lorong kelas X dan XI, disanalah biasanya jalan yang sering menemukan kelas X dan XI pada saat jam istirahat. Galang reflek melihat ke atas gedung selatan yang kelihatan cukup jelas dari situ, mengingat kejadian beberapa jam lalu, “Ekh.. ada apa itu???” Nino yang pertama menyadari ada keganjilan di sekitar gedung selatan karena seorang tukang kebun sekolah dan satpam berlari ke bagian belakang gedung itu. Sentak mereka turut berlari kesana, mungkin disana mereka mendapat jawaban.
Sesampainya disana, mereka tercekat, ada dua orang pria paruh baya, yakni yang dilihat berlari kesana oleh Nino barusan, serta seorang wanita terduduk lemas di tanah. Dia yang berteriak histeris tadi, keadaannya tak stabil sepertinya dia hampir tak sadarkan diri, kemudian dibopong oleh tukang kebun. Tak terlalu jelas siapa wanita itu karena keadaan langit yang semakin gelap. Sementara pak satpam menuju ke arah lain, tempat yang dari posisi wanita tadi duduk tepat di depannya.
“Pak ini kenapa?” Tanya Vano langsung saat tukang kebun hampir melewati mereka, ternyata wanita itu adalah istri dari penjaga sekolah SMA Nagari. Wanita itu menggantikan tugas suaminya untuk mengunci setiap ruangan kelas dan akan berkeliling untuk menekan saklar lampu. Jadi ini alasan lampu-lampu masih mati. “Kalian sedang apa masih di sini??” Tanya bapak itu, wajahnya panik, sementara wanita direngkuhannya mulai membuka matanya. “Gadis itu-“ Lirih wanita yang biasa dipanggil Bu Fatma. Dia menyebutkan seorang gadis, Vano dibuat mengerutkan dahi, “g-gadis i-itu” Ibu itu mulai menangis, Vano dapat merasakan ketakutan tapi juga kesedihan dari ibu ini, dia seperti syok usai melihat sesuatu. Bapak yang membopongnya mencoba menenangkannya, “gadis itu meninggal!” wanita paruh baya itu tercekat, dia kembali tersedu-sedu kemudian tak sadarkan diri.
Sementara Vano berbicara dengan tukang kebun, yang lainnya yang penasaran dengan yang dilihat pak satpam mengikuti mereka. “Pak Yud, ada apa sih??” Tanya Ricky diantara keheningan serta langit gelap gulita karena lampu tak kunjung menyala. Tak ada jawaban. Pak Yudi -nama satpam- menundukkan tubuhnya diantara semak-semak.
Arga yang paling cepat mencapai tempat di dekat Pak Yudi, menyelidik apa yang sedang diperhatikan Pak Yudi. Seketika seluruh penerangan sekolah menyala. Badannya membeku, ia membekap mulutnya sendiri dengan tangannya. Benarkah hal yang ada di depannya sekarang? “Tidak mungkin..” Desisnya. Ricky hadir di sampingnya, “Ada ap-” Tenggorokannya seperti tercekik sama dengan Arga. Tubuh mereka gemetaran, diikuti Nino dan Galang. Vano tiba paling akhir dan segera memastikan keterangan yang dikatakan wanita yang seusia dengan ibunya tadi. “Tidak mungkin, tidak mungkin, ini tidak benar kan???!!!” Vano yang paling terkejut diantara mereka. Air mata bahkan tak terbendung melihat gadis yang ia kasihi meninggal dengan cara seperti ini, Nino memeluknya untuk menenangkannya. Galang yang daritadi masih diam mematung, mulai menggerakkan kakinya, ia beranjak dari sana. Tak ia sangka perbincangannya senja tadi dengan gadis itu adalah yang pertama sejak dua bulan lalu dan terakhir. Arga melirik sahabatnya yang tiba-tiba pergi disaat memilukan seperti ini. Dia masih tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa gadis dengan sweater merah muda itu menerjunkan dirinya dari ketinggian sekitar 20 meter? Mengapa harus sekarang disaat mereka semua ada disana dan menjadi saksi kejadian mengerikan ini?
“Ketika senja yang indah, ketika matahari mulai digantikan dengan sinar bulan, dia harus mengakhiri hidupnya dan memberikan persoalan baru bagi kami, pertemanan kami, dan sekolah kami. Saat senja aku mendengar semuanya, kenapa aku harus mendengarnya? Aku bahkan tak bisa mengubah apapun setelah mendengar kebenarannya. Aku tak bisa menjaganya lalu membiarkannya pergi dengan cara seperti ini.”
TAMAT
Cerpen Karangan: Ennofira Blog ceritanologi.wordpress.com