“Mana, coba kulihat? Apa nggak bosen dia gangguin lo terus?” Rizal mencoba merebut ponselku yang kupegang. Dia mampir ke rumahku hanya untuk melihat pesan dari Yoga, bekas teman lelakiku. Rizal adalah temanku sejak kami duduk di bangku SMP kelas 1, kami berbeda sekolah. Sebenarnya dia adalah temanku di dalam ponsel. Kami jarang sekali bertemu ataupun berbincang lewat telepon. Pertemanan kami berjalan cukup langgeng walaupun setiap hari hanya saling memberi kabar lewat sms. Dia adalah inti dari semua yang terjadi.
Tak banyak yang tau sosoknya dalam kamus keseharianku. Aku tak mau memperkenalkan dia pada duniakku, diapun juga begitu. Aku sama sekali tak tahu seperti apa kehidupannya diluar, seperti apa teman-temannya, ataupun apa masalah yang dia alami. Namun agak berbeda denganku. Aku tak mengenalkan dia pada duniaku namun aku mengenalkan dia pada sebagian besar masalah hidupku.
Kami sama-sama tak paham dengan hubungan ini. Entah teman, kakak adek, atau apa. Semua jenis hubungan kami sama-sama menolak. Aku tak menganggapnya sebagi seeorang teman ataupun yang lainnya. Dia juga tak pernah menganggapku sebagai seorang teman dia hanya mengaggapku sebagai salah satu kontak yang ada di ponsel jadulnya, itu saja. “ada apa lagi?, lo nggak bosen-bosen dapet masalah terus? Gue yang dengerin aja udah bosen”. yah semacam itulah kata-kata yang sering keluar dari mulutnya saat aku mulai bercerita tentang masalahku, terkadang tanpa kuberitahu ia sudah paham bahwa aku mendapat masalah. Feelingnya tentang keadaanku sudah mulai muncul meski kami hanya berhubungan dalam sms.
Sifatnya dingin bahkan beku namun dibalik kebekuan itu tersimpan sebuah kehangatan perhatian yang sangatlah spesial menurutku. Hal itulah yang membuatku sangat nyaman dengannya. dia juga adalah satu-satunya pria yang bertahan paling lama tanpa kata pengkhianatan kepadaku. Tatapan matanya sangat dingin namun tajam, seperti perisai. Lebih tepatnya seperti tatapan mata Kim Woo Bin. Bagi wanita normal itu akan membuat melted yang tak tertolong.
“Lu dari mana?” saat itu aku bertemu dengannya tanpa sengaja di bengkel tempat dia biasa nongkrong dengan temannya tepatnya pukul 16.00. hujan deras waktu itu membuat pakaianku basah kuyup. Ia melihatku lewat lalu menghadangku. Tangannya yang dinngin menuntunku turun dari motor. Hanya ada aku, Rizal, dan satu temannya yang tak kukenal. Keadaannya bertambah dingin, entah mengapa semua menjadi sangat canggung ditambah kami semua mengalihkan kecanggungan itu dengan memainkan hp masing-masing.
Tiba-tiba ia mengambil ponsel yang sedang kumainkan “hey! Mau ngapain?!” tegurku sambil memukul lengannya. Dia terdiam sesaat dan hanya memandangiku, itu membuatku salah tingkah entah apa yang sedang ia pikirkan. “jangan mainan ponsel. Akan membuat semakin dingin” ia hanya menunduk namun matanya menuju ke arahku. Rasanya sangat canggung, mungkin karena kita sangat jarang bertemu langsung apalagi berbincang seperti ini.
“gua kebelakang dulu sebentar” “ya,”
Tiba-tiba ia muncul dari belakang, ia melepas bajunya dan meletakkannya di punggungku. Entah apa motivasinya, namun itu sangatlah manis. “minum, nanti lo masuk angin, gua nggak mau dapet sms isinya ngeluh ‘aku sakit?’” ia menyodorkan tolak angin kepadaku. Hari itu adalah hari pertama aku membuat sweet memory dengannya. Tangan kirinya memegang kepalaku, aku rasa maksudnya mungkin semacam mengelus rambut, namun terasa sangat kaku dan itu aneh. “aaaaa” dia menyuapiku untuk sesachet tolak angin.
“zal… gue rasa ini agak aneh” aku mendongakkan kepalaku dan menatap matanya. Aku mengatakannya sekedar untuk menutupi jantungku yang mulai berdebar, aku takut salah tingkah di depannya. “oh,” dia hanya meringis, kini aku tau dia yang salah tingkah. Kami duduk bersebelahan namun lebih banyak diam. Sesekali aku ngobrol dengan temannya.
Waktu sudah hampir maghrib namun hujan masih deras. “aku pulang dulu ya zal, ujan-ujanan aja nggak papa nanti langsung mandi. Udah mau maghrib nanti ibuku ngomel, makasih ya tolak anginnya, bajunya juga” aku melemparkan senyum tipis kemudian aku menyalakan motorku. “ki,” tiba-tiba dia menarik tangan kananku dan memelukku. Aku rasa aku berhenti berdetak, speechless, dan bingung. Itu sangat cepat!. “aa..ada apa?” dia melepaskan pelukannya. “jangan sampai sakit. Dasar wanita lemah!, sudah sana pulang!”. Aku hanya tersenyum lalu pergi tanpa sepatah katapun.
Setelah kejadian semacam itu kami tak mau untuk membahasnya. Bahkan menyinggungnya saja tak pernah. Aku sendiri nggak mau kalau nantinya di dalam sms akan menjadi canggung. Aku juga nggak mau melampaui batas sebagai seorang teman. Bagiku tak perlu menjadi lebih ataupun memilikinya. Dengan menjadi teman chatnya setiap hari saja sudah cukup, aku hanya ingin menjadi bagian kecil dalam hidupnya namun akan selalu ada. Dan aku rasa itulah peran seorang teman. Rasa takutku akan kehilangan dia membuatku berjanji pada diriku sendiri tanpa sadar bahwa aku tak akan mau memilikinya dan tak akan mau menjadi lebih dari sekarang. Aku juga menutup mata dan telinga akan kehidupannya diluar sana aku tak mau tau tantang siapa dirinya sebenarnya. Karena aku terlalu takut bahwa semakin jauh aku mengenal kehidupan aslinya nantinya akan membuat hatiku semakin sakit.
Namun sayangnya perasaan yang nyata itu tak aku sadari sejak awal. aku tak menyadari perasaanku sendiri bahkan sampai ending cerita ini. aku hanya bersikap tak mau tau, diam dan menyangkal semua perasaan itu. kami bahkan saling menentang dalam segala hal, kami bahkan membuat semua hal yang kebetulan sama menjadi berbeda. Ketika berpapasan di jalan tak saling menyapa dan itu sudah berjalan bertahun-tahun tanpa ada perjanjian ataupun yang lainnya. Untuk memikirkan masalah hati ataupun perasaan kami menganggap bahwa itu adalah hal yang ilegal bagi sebuah hubungan yang nggak jelas ini.
Siang itu udara terasa tak bersahabat. Aku bersama dengan teman wanitaku, Ifah berencana untuk pergi bersama sekedar minum kopi atau soda. “eh ki, lo ngajak cowok doong, siapa gitu lah biar nggak kaya gua lagi kencan buta ama elu”. Ledeknya sambil menyeruput secangkir coffee mix yang sudah kupesan. “emmm, oke bentar gua kontak dulu. gua mau kenalin lu ama temen gua”. “siapa? Gebetan baru?”. “bukan lah, dia temen gua sejak kelas 1 SMP namanya Rizal”. Ifah adalah salah satu teman akrabku. Aku mempercayainya sebagai seorang yang setia dan loyal dengan sahabat. Dia juga menjadi tempat curhatku untuk beberapa masalah, terutama masalah perasaan.
Sekitar 15 menit kemudian Rizal datang dengan motor biru hitamnya yang sangat akrab di mataku. Langsung setelah Rizal memarkir motornya aku memperkenalkan dia kepada Ifah. Hari itu berlangsung begitu saja tak ada memori yang mengesankan ataupun semacamnya. Begitu juga hari-hari selanjutnya. Hingga waktu telah beranjak satu tahun tak ada yang beda, semua terasa datar. Namun aku bisa menikmati kedataran itu dengan melihat sisi kecil sederhana dari sekedar mendapat chat darinya setiap hari. Tak ada masalah diantara kami. Mungkin karena sifat kami yang sama-sama cuek dengan masalah, mungkin lebih tepatnya lebih senang untuk menanggung beban sendiri.
Hingga hari itu tiba. Dimana semua telah terencana begitu indah dan mengharukan. Perpisahan, hari dimana aku akan segera keluar dari SMA ku yang aku anggap sudah seperti penjara sendiri. Aku berjalan melewati koridor panjang yang cukup ramai dengan ocehan anak-anak tingkat akhir dengan kebaya anggunnya. Aku keluar untuk mencari air minum dengan teman sekelasku.
Sesampainya di depan pagar aku berpikir mungkin aku sedang berhalusinasi atau sebuah delusi. Aku melihat Ifah turun dari motor Rizal. Mereka berboncengan, tangannya melingkari pinggang Rizal yang cukup proporsional. Berhenti tepat di sebelah kananku. Aku sadar itu bukan halusinasi. “makasih ya udah dianter ke salon, terus dianter ke sekolah juga” aku mendengar itu yang diucapkan Ifah. Waktu itu entah mengapa bumi terasa menambah gravitasinya. Diriku serasa ditarik paksa ke dalam dan semakin dalam hingga aku hampir jatuh.
Apa itu? ada apa sebenarnya? Itu yang selalu muncul dalam pikiranku. Memang jika dipikir lagi akhir-akhir ini aku sudah jarang chat dengan Rizal, jarang main bareng dengan Ifah. Tapi semua itu tanpa alasan yang pasti. Aku hanya berpikir bahwa kami sibuk dengan urusan masing-masing. Aku membuka story media sosial milik Rizal dan Ifah. Ya! Mereka resmi sudah dekat cukup lama, namun aku belum tau pasti apa hubungan mereka. Aku berpikir apakah aku amnesia selama setahun hingga tak tahu apa yang sudah terjadi sebenarnya.
Aku menemukan foto dimana mereka sedang pergi berdua. Aku tak mau berburuk sangka terlalu lama. Kuberanikan diri untuk bertanya langsung kepada Ifah. “kamu deket sama Rizal?”. “Iya, kenapa? Kamu sudah dekat dengan dia selama bertahun-tahun. aku menyembunyikan semuanya hampir setengah tahun, Rizal selalu berkata akan memberi tahumu ia bahkan tak tega melihatmu terluka.” “hem? Maksudnya?”. “kamu memang wanita yang nggak peduli dengan perasaan orang lain. Apa kamu sadar bahwa Rizal sudah bosan dengan nama kontak yang selalu masuk di inboknya setiap hari. Dia hanya nggak mau membuatmu bersedih jadi mulai sekarang biar aku yang akan membuatnya tertawa, kamu bahkan nggak punya hak apapun dalam hidupnya”.
Jawaban macam apa itu tadi. Hari ini memang benar-benar hari perpisahan. Yang awalnya bersekenario happy ending namun sad endinglah yang mendominasi seluruh suasana yang aku rasa kini. Mungkin ini adalah jalan yang ia mau. Karena cinta yang sebenarnya adalah ia yang melepaskan demi sebuah senyumannya. Tak peduli betapa terlukanya diri kita. Disinilah aku mulai sadar bahwa perasaan itu memang benar-benar ada. Aku melepasnya dan tak kan menggenggamnya kembali. Melepasnya tanpa ada sebuah kejelasan titik temu, namun aku tahu bahwa ia akan segera menemukan kebahagiaan dunianya yang lain.
Cerpen Karangan: Al Hyuga Blog / Facebook: Neng Kiki