Satu bulan kemudian, Kevin mengajak lavina makan malam di sebuah kafe. Kevin menjemput gadis berambut pendek sebahu itu tepat pukul 19:00. Diboncengnya Lavina menuju kafe untuk makan malam.
Sampai di sebuah kafe yang berada di pinggir pantai. Begitu romantis suasana malam itu. Rambut yang terurai, seakan menari-nari tertiup angin nakal nan menggoda. Meja makan dihiasi rangkaian bunga kecil dan lilin-lilin kecil. Api lilin di dalam gelas seakan ikut tergoda sang angin nakal.
“Indah sekali” ucap Lavina berdecak kagum. “Ini semua untuk kamu. Lavina” sahut Kevin tersenyum kecil. Nafasnya terhenti karena kaget mendengar ucapan Kevin. Sepasang mata bola pimpong menatap mata di seberangnya. “Terima kasih, Kevin” kata Lavina dengan tetesan air mata haru.
“Maukah, kamu menjadi orang yang selalu ada dalam mimpiku dan doaku?. Orang yang selalu aku rindu?” kata Kevin serius menatap Lavina penuh arti.
Tak bisa tertahan lagi, air mata itu tumpah ke pipi merahnya. Rasa haru biru ia rasakan. Lavina tak bisa mengucapkan sepatah katapun, selain menganggukan kepalanya mengisyratkan ‘aku bersedia menjadi kekasihmu’.
Malam sempurna. Malam itu tak pernah terbayangkan dalam benaknya. Ia akan memiliki hati, senyum dan juga perhatian Kevin. Terasa seperti bermimpi indah.
Di pagi yang cerah, secerah hati Lavina. Tiara datang ke rumah lavina. lavina mengajak Tiara kekamarnya. “Vin, kamu pacaran dengan Kevin ya?” tanya Tiara. “Iya, Ra. Aku tidak pernah menyangka kalau dia akan menembakku” jawab lavina dengan rona pink di pipinya. “Ciee yang lagi jatuh cinta” kata Tiara menggoda sahabatnya. “No” sahut Lavina dengan menggerakkan telunjuk kanannya kekanan dan ke kiri. “Bukan jatuh cinta tapi, jatuh hati” kata Lavina tersenyum jail pada Tiara. “Terserah deh. Mau Jatuh cinta atau pun jatuh hati, itu terserah. Yang penting perutku sudah keroncongan dari tadi” tutur Tiara memegang perutnya yang kelaparan. “Emmmm, gimana ya???” goda Lavina. “Iya deh, aku trakrir” ujar Lavina. “Yeee!!! Aku mau makan mie ayam plus bakso” sahut Tiara kegirangan. “Oke. Kita pergi sekarang” sahut Lavina menarik lengan sahabatnya.
Sudah hampir satu tahun hubungan antara Kevin dan Lavina terjalin. Namun, timbul keraguan di hati gadis berlesung pipit itu. Ingatan kemarin sore masih terbayang di otaknya. Dirinya melihat sang kekasih menatap lekat ke dalam bola mata seorang gadis yang ia sangat kenal. Gadis itu Tiara, sahabat baik Lavina. Sore itu Tiara memakai dress jeans selutut yang casual. Entah apa yang mereka bicarakan?. Senyuman saling terlempar dari bibir mereka. Lavina dapat melihat bahwa percakapan itu sungguh hangat.
Di sudut kamarnya, lavina duduk di depan meja belajarnya. Menulis di sebuah buku diary menggunakan pena tinta merah.
Dear Diary,
Sudah setahun lamanya kita menjalani hubungan ini, aku merasa kan keraguan akan cinta mu itu. Firasatku mengatakan engkau masih mencintai sahabatku Tiara. Semoga saja itu hanya perasaanku saja. I LOVE YOU KEVIN
Senja sore memancarkan sinar indahnya. Senja dapat menenangkan hati siapanpun yang memandangnya. Di atas balkon rumahnya, Lavina berdiri menatap langit merah. “Tuhan, betapa indahnya ciptaan Mu itu. andai dapat kumiliki sepenuhnya keindahan yang dipancarkan senja ciptaan Mu” kata Lavina yang masih berdiri menatap senja sore itu. “Tuhan, aku mencintai ciptaan Mu. Aku dapat memiliki raganya namun, aku tak yakin hatinya bisa kumiliki” sambungnya pelan.
Keraguan Lavina semakin menjadi kepada kekasihnya. Ketika Lavina berkunjung ke kamar Tiara, lavina tak sengaja menemukan buku diary milik Tiara dan membacanya. Lavina sangat terkejut dengan isi diary tersebut. Disana dituliskan bahwa “Aku tahu kamu masih mencintaiku sampai detik ini karena matamu tak bisa berbohong. Sesungguhnya aku sangat mencintaimu KEVIN, aku ingin kita seperti dulu yang selalu bersama. Aku menyesal dengan semuanya, tak menghiraukan cinta tulusmu untukku” baca Lavina dengan genangan air mata di mata bulatnya, dilanjutkanyya membaca isi diary tersebut “Andai waktu bisa kuputar, cintamu bisa menjadi milikku lagi. Namun, kini engkau telah bersama sahabatku. Maafkan aku Kevin. Aku sungguh mencintaimu Kevin” uacap Lavina perlahan membaca isi diary Tiara.
Hati siapa yang tak sesak ketika mengetahui bahwa sahabatnya menyimpan rasa pada kekasihnya. Air mata tak tertahan turun membasahi pipinya. Batinya sangat terluka, seperti terkena tusukan pedang teramat tajam. Ia pulang dengan membawa luka terdalamnya tanpa berpamitan dengan Tiara.
Lavina berlari tanpa tau kemana ia akan pergi. Kakinya terus berlari tanpa henti, air matanya mulai membasahi seluruh wajah. Hati gadis itu sedang terluka parah, mungkin tak terobati. Kakinya terhenti ketika melihat Kevin kekasihnya di hadapanya. Kevin bergegas mendekati Lavina. “Vin, ada apa? Kamu kenapa?” tanya Kevin bertubi-tubi. Lavina mengusap perlahan air matanya yang jatuh begitu deras. Ditatapnya mata kekasihnya itu. “Aku tidak apa-apa” jawabnya singkat. “Tidak apa-apa?” Tanya Kevin meyakinkan. “Ya, aku tida apa-apa” kata Lavina menganggukan kepalanya “Aku baik-baik saja. Jangan khawatir” sambungnya meyakinkan. “Lalu, mengapa kau menangis?” tanya Kevin lagi. “Sudahlah, aku tidak apa-apa. Aku lelah, ingin pulang” sahut Lavina. Tanpa aba-aba, Kevin menggandeng tangan kekasihnya itu. “Aku antar” kata Kevin tersenyum “Jangan menangis lagi, Lavinaku” ujarnya menatap wajah basah kekasihnya.
Sepanjang perjalanan, tangan Kevin terus menggenggam tangan Lavina. Kevin mengantar kekasihnya pulang ke rumahnya. “Masuk lah, istirahatlah jika kau lelah” kata Kevin sambil mengusap rambut kekasihnya. “Aku pulang. Sampai jumpa besok” ujar Kevin yang perlahan pergi meninggalkan Lavina di depan rumahnya.
Air mata gadis berlesung pipit itu menetes seiring langkah kakinya berjalan menuju kamar kecilnya. Direbahkan tubuhnya di ranjang miliknya. Ternyata keraguanku selama ini benar, cinta Kevin memang hanya untuk sementara bukan untuk selamanya. “Aku bukan kekasih buat kekasihku, melainkan tempat pelarian untuk kekasihku” ucap Lavina berisak tangis. “Aku bisa melihat ada cinta di matamu. Namun… cinta itu bukan untukku melain kan untuk Tiara” katanya.
Cinta Tiara dan Kevin tersesat menuju rumahnya. Lavina sadar bahwa Cinta ini salah, tak seharusnya cinta ini ada disini. Seharusnya cinta ini kembali kepada pemilik yang sebenarnya. Lavina mencoba mengalah untuk kebahagiaan kekasihnya itu dan mecoba mempersatukan cinta Tiara dan kekasihnya itu.
Lavina sering mengorbankan perasaannya dengan mencoba mempertemukan Kevin dan Tiara di sebuah tempat. Berkencan bersama kekasihnya dengan mengajak Tiara dan membiarkan mereka menghabiskan malam bersama. “Ra, aku dan Kevin mau makan malam. Ikut yuk” ajak Lavina kepada sahabatnya. Kevin menatap lekat Lavina yang berdiri di sampingnya. “Tidak usah, Vin. Aku langsung pulang aja” tolak Tiara merasa tak enak hati. “Ayo, Ra. Sekali ini aja” pinta Lavina. “Oke deh” kata Tiara singkat setalah menimbang beberapa detik.
Di dalam kendaraan beroda empat itu. Lavina membiarkan Tiara duduk di samping Kevin. Sedangkan ia duduk di belakang. Mencoba menahan perih di hatinya. Dari belakang, Lavina memperhatikan cara Kevin dan Tiara bertutur, berpandangan dan tertawa. “Kalian tidak akan pernah tau betapa sakitnya aku. Dan memang benar, hati terasa begitu sesak ketika melihat orang yang kita cintai berpaling muka pada sahabat sendiri.” ucap Lavina dalam hati kecilnya.
Sesampai di tempat tujuan, mereka menuju sebuah meja makan di pinggir pantai. Melihat pemandangan pantai nan indah, langit malam begitu cerah. Merasa ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan isi hatinya. Lavina menggenggam erat tangan kekasihnya, menatapnya dalam. “Kev, aku sungguh mencintaimu. Rasa itu tak pernah berubah sampai detik ini. Tapi kini aku sadar, bahwa cinta tak bisa dipaksakan” ucap Lavina menahan air matanya. “Mulai hari ini, kita putus” sambung lavina masih menahan air matanya. Mendengar pernyataan Lavina, Kevin dan Tiara terkejut. Kevin beranjak dari duduknya, matanya menatap Lavina tajam. “Apa maksudmu Lavina?” tanya Kevin dengan nada lantang. “Ada apa dengan kamu, Vin?” tanya Tiara yang juga ikut terkejut. “Aku tahu, kalian masih saling mencintai. Tolong jangan bohong” jawab Lavina, kini air matanya benar-benar terjatuh. Kevin memeluk erat tubuh mungil Lavina. “Jujur Kev, hatiku sakit sekali. Aku tidak mau kehilanganmu. Aku sungguh mencintaimu. Sekarang aku mau… lepaskan aku dan kembalilah pada Tiara” kata Lavina masih dalam dekapan Kevin.
Mata Kevin memerah, mencoba menahan air matanya. Dia melepaskan pelukannya. Kedua tanganya memegang pundak Lavina. Tangan kanannya meraih air mata yang jatuh dari kelopak mata Lavina dan menghapus air matanya. “Selama ini, Tiara juga mencintaimu. Dia sangat mencintaimu” ujar Lavina menatap wajah Kevin. “Siapa bilang, aku tidak pernah mencintai Kevin. Kamu salah faham Vin” kata Tiara meyakinkan Lavina. “Jangan bohong, Ra. Aku tahu semuanya. Aku telah membaca isi diarymu” sahut Lavina, dan kini menatap ke arah pantai. “Apa? Kamu membaca isi diaryku?” tanya Tiara bingung. “Maaf, aku sudah lancang” sahut Lavina.
Lavina membalikkan tubuhnya ke arah Kevin dan Tiara. Tangan kanannya meraih tangan Tiara dan tangan kirinya meraih tangan Kevin. “Mulai detik ini aku tidak akan mencintaimu lagi. Jadi berbahagialah kalian. Jangan hiraukan aku” kata Lavina mencoba tegar. Lavina beranjak pergi menjauh. “Vin, maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk melukaimu” kata Kevin. Lavina terhenti mendengarnya, ia menoleh ke arah Kevin. “Jangan merasa bersalah. Aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja” kata Lavina meyakinkan. “Selamat tinggal” ucap Lavina perlahan pergi.
Ikhlas bukan berarti merelakan tapi, ikhlas adalah mencoba menerima kenyataan yang tak seharusnya ada atau tak diinginkan. Lavina melepaskan Kevin untuk selamanya dan pergi dengan membawa luka cinta.
Jika sebagian orang berpendapat bahwa cinta itu tak harus memiliki tapi, bagiku cinta itu harus memiliki. Karena, cinta memang ditakdirkan untuk bersama dan saling memiliki, hanya saja cinta itu tersesat menuju pemilik yang sebenarnya. Cinta yang tersesat sering kali memberikan luka dan pelajaran berharga.
By : Lisa Indah Sari
Cerpen Karangan: Lisa Indah Sari Blog / Facebook: kisahku18blogspot.blogspot.com / Lisa Indah Sari