CINTA membutakan mata, tapi membukakan hati. Nafsu membutakan hati, tapi membelalakan mata. Setiap manusia mempunyai jalan hidup tersendiri dalam menerima cinta.
Hari itu pertama kali jumpa dengan dia yang selalu dalam hatiku untuk selamanya. Cinta memang buta, bagaimana tidak aku jatuh cinta dengan suami orang.
“Aku Ina,” memperkenalkan diri pada mereka. Sebagai orang yang baru saja menginjakkan kaki di tanah orang. Penting untuk saling mengenal. “Aku Zian,” balasnya salah satu pemuda itu “Ali, Guen, Agoes,” imbuhnya, mengenalkan mereka padaku. Terlihat senyum ramah menyambutku. Kebetulan mereka yang bekerja di tempat baruku itu semua berasal dari Jawa. Jadi, hari pertama kerja di tanah Nusa Tenggara ini jadi sedikit tenang.
“Mbak dari mana?” tanya Zian “Dari Jawa Timur!” Jawabku. Lalu kami saling bercerita panjang lebar. Agoes, Goen, dan Zian statusnya single sama denganku. Sedangkan Ali sudah punya istri.
Tiba-tiba Terlihat cowok cool sedikit angkuh tapi wajahnya bersinar dengan tatapan yang tajam, sedikit senyum. “Itu Urya,” ujar Zian memberi tahuku. “Ada apa?” sahut Urya dengan tatapan sombongnya.
Satu bulan kemudian aku sudah akrap dengan semua teman-teman di situ. Bahkan Zian berani menembakku untuk jadi pacarnya, tapi kutolak. Begitu juga dengan Agoes dan Goen, bahkan mereka bersaing untuk mendapatkan perhatianku. Tapi tidak pada Urya, bahkan ia sedikit sombong. Wajar sih, sebab ia kepercayaan Bos, belum lagi memang paling cerdas orangnya.
“Serius amat, Kak Urya?” tanyaku “Emmm.. He he he.., gak ada.” jawabnya. “Udah lama kerja disini, Kak Urya.” tanyaku lagi mencoba mencairkan suasana. Entah mengapa, walaupun ia sedikit sombong tapi nyaman di dekatnya. “Ya lumayan. Sebenarnya udah lama kerja di sini, ya selisih Seminggguan lah sama kamu, Ina.” jawabnya pertama kali yang sepertinya agak mencair. “Lha, katanya udah lama, kok selisih seminggu, Kak Urya?” “Dulu, udah lama kerja di sini. Tapi istri gak mau ikut. Makanya sempat istirahat satu tahun di rumah, tapi Bos minta aku kembali lagi. Akhirnya ya kesini lagi.” jawabnya yang bikin hati ini sedikit sakit. Ternyata Kak Urya udah beristri.
Memang sih Kak Urya gak salah, bahkan jujur kalau udah beristri. Tidak seperti kebanyakan orang perantauan yang suka ngaku bujangan, ternyata cucunya segudang.
“Pasti ada alasanya mbaknya gak mau ikut Kak Urya!” “iya.., alasanya gak krasan di sini, Na!” “Yang sabar ya Kak!” Ia hanya tersenyum. Akhirnya aku bisa melihat senyum Kak Urya yang begitu teduhkan hati. Entahlah otak ini sudah error. Kenapa harus jatuh cinta pada yang berpunya? Tapi perasaan ini terus kulawan. Jangan sampai ia tau apa yang sebenarnya terjadi. Malu.
“Gimana.., betah kerja di sini, Na?” “Betah gak betah lah, Kak!”
Mulai hari itu, Kami pun mulai akrab. Ya tentu, dinding dan tembok punya mata dan mata-mata itu mulai memandang aneh. Terutama para cowok-cowok yang kutolak cintanya itu. Makin sinis.
Mungkin mereka menganggapku, “Laki-laki mapan banyak duit itu lebih berarti dari pada cowok single kere. “Kalau aku sih realistis lah. Wanita mana yang gak matre? Tapi walaupun begitu, bukan itu masalahnya. Ini soal hati yang tidak bisa dimanipulasi.
Di mana pun cinta menyapa takdir selalu merenggutnya. Dion kekasihku di Batam tiba-tiba menelepon. “Gimana kabarnya, Ay?” tanyanya, Ay panggilan sayang kami, yang diambil dari kata ‘s Ay ang’. Kami putus tiga bulan yang lalu karena tidak mendapatkan restu dari orangtua. Rasa itu masih ada, tapi Dion sepertinya sudah berhenti memperjuangkan cinta kita.
“Baik.. kak Dion!” Jawabku dengan suara tertahan di rongga data. Hati ini masih sakit, kenapa ia terlalu cepat berhenti memperjuangkan cinta kita. “Gimana kabar Bapak sama Ibu, Ay?” “Baik!, kak Dion!” “Kakak kangen, Ay!” ucapnya seperti menangis. Menunjukkan kalau ia benar-benar rindu. “Lamar aku kak. Buktikan kalau emang kakak serius. Datanglah ke jawa, minta sama orangtuaku.” “Berikan aku waktu. Pasti akan kubuktikan padamu, Ay!” “Sudah setahun waktu yang aku berikan, apa itu tak cukup, kak Dion?”
“Kau sudah berubah, Ay.” “Tidak, Kak Dion lah yang tak sungguh-sunguh.” “Aku sangat sangat cinta padamu, Ay!. Kalau tak percaya belahlah dada ini.” “Basi, Kak Dion bicara seperti itu udah berapa kali. Tak butuh janji tapi bukti.” jawabku dengan air mata yang tak terasa membasahi pipi.
Sepanjang malam kami menangis di telepon dengan tidak jelas. Laki-laki memang mudah membuat janji-janji tapi tak pernah ditepati. Brengsek.
Pagi itu Kak Urya menyapa duluan untuk pertama kalinya selama kita kenal. “Kamu baik-baik saja, Na?” “Baik.. Kak Urya!” Jawabku dengan lesu. Bukan karena marah, mungkin karena tidak tidur semalam.
Dan mulai hari itu, kami saling bercerita tentang kehidupan masing-masing. Mulai tentang masalahku dengan Dion dan masalah dia juga. Tapi, yang membuat aku makin kagum, Kak Urya tak pernah menjelekkan istrinya. Walaupun sepertinya istrinya tak peduli lagi dengannya.
Satu sisi kagum sisi lain hati ini sakit, begitu mudah Kak Urya menguraikan kata-kata manis memuji istrinya di depanku. Apa dia tidak peka atau tidak tau, kalau gadis ini juga ingin dipuji olehnya. Ah siapa aku ini, kan bukan istri Kak Urya, tidak ada alasan ia memuji perawan malang ini.
“Udah berapa tahun menikah, Kak?” “Udah tuju tahun lebih, Na!” “Udah lumayan lama juga ya..” jawabku sedikit parau sambil senyum. “Jujur aku malu, setiap ditanya teman. Berapa anakmu, Urya?.” ujar kak Urya yang memberi isarat kalau dia sudah sangat menginginkan anak. “Sabar, pasti nanti juga punya, Kak!” “Thanks ya, InsyaAllah yakin, Dek.” ucap Kak Urya. Akhirnya dia memanggilku dengan panggilan Adek. Dalam hati ini juga yakin InsyaAllah, aku bisa memberinya keturunan. Andaikan Urya menikah denganku. Kik Kik Kik tertawa sendiri, ngarep. Ah tidak lak. Aku tak mau disebut Pelakor. “Iya.., Kak Urya.”
Saat kami lagi asyik ngobrol, terlihat dari Gadget Kak Urya istrinya memanggil. “Maaf aku tinggal sebentar ya!” ucap Kak Urya. Lalu ia menepi. Tapi suaranya masih terdengar olehku. Mereka bertengkar hebat. Kak Urya meminta istrinya untuk ikut dengannya tapi istrinya menolaknya. Cinta dipucuk ulam pun tiba, inilah kesempatan untuk mendapatkan Kak Urya.
Hari demi hari kami saling memberi perhatian yang lebih. Walaupun kami cuma berteman tapi perhatian yang Kami lakukan lebih dari suami istri. Hanya saja belum tidur seranjang. Ketika cinta melebarkan sayap-sayapnya maka rengkuhlah walaupun ada pisau tajam yang siap menghuncam.
Pantai Lekay yang indah dengan air laut yang jernih dan ombak menggulung menderu seperti hati kami yang saat itu sedang berlibur. Angin berhembus kencang menerpa seluruh debu-debu hati kami yang pilu karena cinta dan juga pekerjaan.
“Aaakkhhhh… Aaakkhhhh.. Aaakkhhhh..,” Teriak kencang melepaskan segala penat. “Apa yang kau lakukan, Dek?” tanya Kak Urya “Ayo teriak yang sekenceng-kencengya, Kak Urya!” ucapku sambil menariknya untuk main air laut. Dia sepertinya malu karena ada banyak orang. Ada Rukan dan istrinya, Agoes, Guen dan juga Zain yang selalu mengawasiku, sepertinya ia cemburu pada Kak Urya. Turut juga Erna dan Suti dan aku yang saling melompat kegirangan di pinggiran pantai. Gadis-gadis kesepian melompat bebas tanpa beban.
“Foto kami ya, Kak Urya! “pintaku sambil memberikan SmartPhone milikku. “Ya sini, dasar cewek paling demen selfi ma..” ucapnya.
Hingga akhirnya kita sibuk jalan sendiri-sendiri. Terlihat Kak Urya duduk sendiri menikmati minuman kaleng dingin segar. Dan sebatang rok*k yang begitu nikmat, sepertinya. Jujur aku benci pria perok*k, tapi entah mengapa Kak Urya kelihatan keren saat menghisap rok*oknya.
“Kok diem aja disini, Kak Urya?” “Ini lagi menikmati Indahnya pantai Lekay, Dek!”
Akupun duduk di sampingnya hingga sampai sunset tiba. Saking terpesonanya menikmati indahnya matahari tenggelam di atas air laut. Tanpa sadar, aku telah bersandar di pundaknya. Saat itu terasa dunia adalah milik kami berdua, yang lain numpang.
Matahari mendepak bumi, wajah Kak Urya makin ganteng dan menawan yang sedari tadi kutatap dengan khidmat. Diapun membalas tatapan mata ini.. Lalu memcium bibirku dengan lembut dan nikmat.. Saat aku sadar.
Plakkk.. Sebuah tamparan mendarat di pipi Urya. Terlihat bekas gambaran tanganku di sana. Bagaimana mungkin ia menciumku? Aku sudah bersumpah bahwa hanya suamiku kelaklah yang boleh mencium bibirku dan memiliki seutuhnya atas hidupku tapi dia, laki orang.
Hati ini hancur berkeping-keping, tubuh ini lemas tak berdaya. Sakit, kecewa bagaimana mungkin pria beristri mencium bibir ini yang belum pernah terjamah. Seumur hidup, inilah ciuman pertamaku yang menyakitkan. Marah, kecewa lalu menangis sejadi-jadinya. Hingga tubuh ini tak ada tenaga lagi. Nyesek. Laki-laki brengsek.
#bektibelajarbijak
Cerpen Karangan: Bekti Cahyo Purnomo Seruyansyah Blog / Facebook: Bekti Cahyo Purnomo Seruyansyah