“Makasih, ya, Bas. Hati-hati…,” ucap Salma sambil menepuk pelan bahu Baskara. Laki-laki bertubuh jangkung dengan warna kulit sawo matang itu membalas dengan senyum. Senyum yang selama tiga tahun belakangan ini menjadi senyum favorit Salma. Senyum yang selalu berhasil meneduhkan hatinya, sekaligus memunculkan rasa bersalahnya.
“Nanti aku kabarin, ya. Aku mampir sebentar.” “Iya…” jawab Salma lirih. Ia sudah paham maksud kata “mampir” yang Baskara ucapkan. Tawa yang mereka ciptakan bersama sebelumnya seakan lenyap bersama senja yang berganti malam.
Baskara melaju dengan motornya, sementara Salma masih mematung di depan teras rumah sambil terus berpikir “Kenapa, sih?!”.
Tiga tahun berlalu, entah sudah berapa banyak kisah dan perjalanan yang mereka lalui bersama. Tiga tahun belakangan ini, separuh hidup Salma adalah Baskara.
Tiga tahun berlalu, segala rasa dan asa yang kian memuncak di benak Salma nyatanya tak pernah mengubah keadaan. Ia begitu menyadari posisinya. Ia begitu sadar bahwa menyimpan rasa pada seseorang yang sudah bersama orang lain bukanlah suatu hal yang dibenarkan, meskipun sebenarnya tak ada yang salah dengan yang dinamakan ‘cinta’, hanya saja waktunya yang tidak tepat.
Tiga tahun berlalu dengan segala kerumitan hati yang mereka ciptakan sendiri.
-Message from ‘Super Bas’- “Aku udah di rumah. Night, Sal.”
Salma tidak langsung membalasnya. Rasa senang dan kecewa menjadi perdebatan batinnya malam ini. “Mau sampai kapan? Ayolah, Sal, tegas sama diri sendiri.” batin Salma.
Bagaimana bisa ia terus bersama Baskara, sementara Baskara juga bersama Keisha, kekasihnya. Bagaimana bisa, ia terus menjadi duri dalam hubungan Baskara dan Keisha yang sudah lebih dulu berjalan sebelum mereka bertemu? Bagaimana bisa, ia—yang sesama perempuan dengan Keisha—tega melakukan ini sekian lamanya.
Pertanyaan itu berputar hebat dalam benak Salma. Ini tentang ego dan rasa. Salma begitu mencintai Baskara, begitu juga dengan Baskara, Salma bisa rasakan itu. Lalu Keisha? Baskara tidak bisa begitu saja meninggalkan Keisha karena alasan yang sebenarnya tak bisa juga ia pahami sendiri.
Inikah yang dinamakan “cinta tak harus memiliki?”
“Night, Bas.”
Tak ada satu menit, Baskara kembali mengirim pesan.
-Message from ‘Super Bas’- “Sal, aku minta maaf.”
Seketika bulir air mata membasahi pipi Salma. Ia menangisi dirinya sendiri. Logika dan hatinya bertolak belakang. Ia tidak bisa memaksa Baskara, namun juga tidak bisa terus larut dalam kisah ini.
Mereka melabeli hubungan mereka dengan istilah ‘persahabatan’.
Tetapi nyatanya, Hubungan ini lebih dari sekadar persahabatan, yang tidak bisa juga dibilang ‘pacaran’. Memangnya ada sahabatan yang elus-elus kepala? Memangnya ada sahabatan yang tepuk-tepuk lutut di motor saat lagi lampu merah? Memangnya ada sahabatan yang siap sedia bawain makanan kalau lapar walaupun tengah malam?
Pertemuan mereka yang tidak disengaja dulu, membawa mereka hingga di tahap ini—sadar ingin bersama tapi tak bisa apa-apa. (Yang bodoh siapa, sih?)
Kemudian ia memilih memejamkan mata tanpa membalas lagi pesan Baskara. Ia ingin malam ini menjadi malam terakhirnya bersama laki-laki favoritnya selama ini, meskipun ia tau akan sulit. Sulit menolak ajakan manja Baskara ketika ia lapar dan ingin makan di luar, yang kalau kata anak sekarang ‘bm’.
Tapi bagaimana pun, ia harus tegas. Setidaknya untuk ‘menyelamatkan’ hatinya sendiri. Mau sampai kapan ada di posisi ‘bodoh’ ini? Mau sampai kapan ada di posisi membingungkan ini?
Salma berhak bahagia. Pun Keisha. Ia berhak mendapat cinta seutuhnya dari Baskara, dan semoga memang utuh, setelah tiada lagi Salma. Salma memilih pergi, merelakan ‘persahabatannya’ dengan Baskara berakhir begitu saja tanpa penjelasan apapun. Karena menurutnya, tak ada yang harus dijelaskan lagi. Semuanya sudah jelas sedari awal, hubungan ini tak seharusnya dijalani.
Dan pada akhirnya, bertahun berlalu, Salma bisa benar-benar berakhir dengan Baskara. Melupakannya dengan sungguh, meski melalui proses melelahkan berkali-kali, bangkit dan jatuh lagi. Sementara Baskara masih dengan Keisha yang sebenarnya tak sepenuhnya ia cintai. Entahlah.
Selanjutnya, Salma memilih membuka hatinya untuk yang lain. Dan sialnya, laki-laki yang kini bersamanya memiliki kemiripan fisik dan sifat dengan Baskara. Seperti bermain peran baru dengan lawan main yang sama, Barsena.
Cerpen Karangan: Bonita Widi Destyani Blog / Facebook: bonitawidides.blogspot.co.id