“Maafkan aku, Nan…, aku sudah berusaha mencintaimu selama tiga tahun pernikahan kita ini, tapi belum bisa…” gumam Ramon pada dirinya sendiri. “Aku mencintai orang lain dan dari dulu hingga sekarang rasa itu tak berubah”, gumamnya lagi. Ia pandangi sebuah foto yang terpampang di layar ponsel yang ia pegang. Aku mencintaimu Dinar, batinnya berkata.
Ramon buru-buru menutup ponselnya ketika ia tahu istrinya datang membawakan kopi. “Ini kopinya, Mas!” “Terima kasih ya Nan…” “Iya mas… sebentar lagi bolen untuk teman kopinya matang, tunggu ya aku ke dapur dulu…” Ramon tersenyum dan mengangguk. Ia kembali membuka ponselnya setelah istrinya berlalu. Ia mengambil gelas berisi kopi yang tadi dibawakan Nania, istrinya yang sudah memberinya seorang putri itu. Nania adalah seorang istri yang baik, patuh, dan pintar masak selain juga cantik, sungguh sosok istri ideal yang diidamkan tiap suami, namun rupanya semua itu belum cukup membuat Ramon jatuh cinta.
Ia meniup dan menyeruput pelan kopi dalam gelas, sambil terus melihat posting-an teman-temannya di medsos. Selama ini Ramon selalu berlaku baik dan tidak pernah mengabaikan istrinya tersebut, ia selalu menjalankan tugas serta tanggung jawabnya sebagai seorang suami dan sebagai seorang ayah, karena biar bagaimanapun Nania adalah istri sahnya yang sudah semestinya diperlakukan baik, hanya saja cinta itu belum juga datang dan sampai saat ini ia juga belum bisa melupakan wanita lain dihatinya.
Rasa cinta itu memang tidak dapat dipaksakan. Tiga tahun lalu Ramon menikahi Nania bukan karena cinta, tetapi agar adik lelakinya bisa segera menikah. Waktu itu adiknya hampir depresi karena saking bucinnya ia pada pacarnya. Ia didesak oleh keluarga pacarnya untuk segera melamar karena kalau tidak, pacarnya akan dijodohkan dengan pria lain. Orangtua Ramon tidak mengizinkan adiknya menikah sebelum Ramon sebagai anak tertua menikah, lagipula saat itu usia adiknya tergolong masih muda yaitu 23 tahun selisih 5 tahun dengan Ramon. Dulu Nania adalah teman wanita yang paling dekat dengan Ramon, kantor tempat mereka bekerja berdekatan dan hampir tiap hari mereka bertemu. Ramon hanya menganggapnya sebagai teman, tetapi rupanya Nania mencintainya.
Suatu hari Ramon mengajak Nania datang ke pesta pernikahan saudara sepupu jauhnya, dan saat itu hadir keluarga lain juga orangtuanya, lalu tak lama berselang orangtua Ramon langsung mendesak Ramon menikahi Nania, agar adiknya bisa menikah. Dengan berat hati Ramon memenuhi permintaan orangtuanya.
Sudah beberapa minggu ini, Ramon intens berhubungan dengan wanita yang dari dulu dicintainya. Mereka secara tidak sengaja bertemu lewat medsos. Ramon tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berbincang lewat dunia maya, dari situ ia tahu si wanita, Dinar namanya sudah menikah selama 5 tahun tetapi belum dikaruniai seorang anak. Dari dunia maya lanjut ke dunia nyata. Sudah beberapa kali pertemuan mereka lakukan di sebuah kafe di mal, tanpa diketahui pasangan masing-masing. Dan hari ini Ramon berniat mengungkapkan perasaannya pada Dinar.
“Dinar, apa kau bahagia dengan pernikahanmu?” tanya Ramon. “Bisa dibilang begitu… walau terkadang tuntutan untuk memiliki momongan sangat menggangguku…” “Apa aku boleh bicara jujur padamu?” tanya Ramon lagi. “Bicaralah, tentang apa?” “Aku mencintaimu sejak kita kuliah dulu dan sampai saat ini rasa itu tidak berubah, bertahun-tahun… pun sesudah menikah hanya kau yang ada dipikiranku” “Hmm… benarkah?” Dinar terdiam sejenak, lalu… “Mengapa baru sekarang Ramon? Jika saja dulu kau ungkapkan padaku, aku pasti akan memilihmu ketimbang Derby” “Dulu aku tak seberani itu… Apa itu artinya kau juga mencintaiku?” Ramon memandang Dinar. “Ya, dari hati terdalamku, jujur… aku juga mencintaimu” jawab Dinar lalu wajahnya tertunduk. Jawaban yang sangat diharapkan oleh Ramon. Ramon tersenyum bahagia. Dinar kembali mengangkat wajahnya. “Tapi Ramon… sekarang keadaannya berbeda, kita sudah memiliki pasangan nikah, kita tidak bisa seperti ini, ini salah… rasanya kita tidak boleh melanjutkan hubungan ini” “Dinar, aku sangat mencintaimu, aku selalu memikirkanmu… sekarang jawab aku, saat ini apa kau nyaman berada di sampingku?”. Dinar mengangguk. “Aku pun begitu, apa kau bahagia saat-saat bersamaku?”. Dinar mengangguk lagi dan… “Tapi aku takut… aku tak mau mengkhianati pernikahanku” “Dengar ya Dinar, aku hidup berumah tangga tanpa cinta, selama ini aku sudah berusaha mencintainya tapi tak bisa, hal ini sangat mengganggu pikiranku, aku justru takut pada akhirnya ini akan menyakiti perasaan istriku jika ia tahu selama ini aku pura-pura mencintainya, jadi lebih baik aku akan jujur saja…” “Tapi, jika kita sudah mengambil sebuah keputusan untuk menikah, berarti kita sudah tahu konsekuensinya dan harus konsisten, harus setia dan bertanggung jawab pada pasangan, pada keluarga kita, jangan pernah beri alasan apapun untuk mengingkarinya” “Aku tahu, tapi berat bagiku Dinar… apalagi sekarang aku menemukanmu” “Lalu kau mau apa Ramon?” “Aku ingin pisah dari istriku, dan aku akan menunggumu, Dinar!” Dinar merasa tersanjung mendengar kejujuran dan kesungguhan Ramon padanya. Di sisi lain ia sedih, ia memikirkan nasib pernikahannya yang sebenarnya juga sedang ada di ujung tanduk.
“Baiklah Ramon, aku akan jujur padamu… pernikahanku pun sebenarnya sedang bermasalah, beberapa bulan terakhir ini suamiku mulai mempermasalahkan soal momongan padaku, dan ia pernah mengutarakan keinginannya untuk pisah dariku, tapi… tapi aku berusaha untuk bertahan” Dinar mengeluarkan air mata kesedihannya, dan melanjutkan bicaranya… “Aku tidak ingin kebersamaan selama 5 tahun akhirnya berujung perpisahan, aku memikirkan orangtuaku, bagaimana perasaan mereka nanti…” Ramon mengusap lembut air mata Dinar. “Jangan bersedih Dinar, semua akan ada hikmahnya, aku ada di sini untukmu…” “Mungkin sebaiknya kau terus berusaha mencintai istrimu Ramon…, aku yakin aku akan baik-baik saja kalau nanti aku pisah dengan suamiku, ingatlah… kalian sudah memiliki buah hati yang harus kalian rawat dan besarkan sama-sama” “Soal anak, kami bisa merawatnya bersama-sama, aku akan tetap bertanggung jawab jika nanti aku dan Nania berpisah” “Apa kau sungguh mencintaiku?” tanya Dinar “Ya, aku sangat mencintaimu, percayalah!” jawab Ramon bersungguh-sungguh. “Kau juga ingin menikahiku? bagaimana jika aku tidak bisa memberimu buah hati?” tanya Dinar lagi. “Ya, aku ingin menikahimu apabila urusan kita masing-masing beres, soal buah hati, jangan dirisaukan, apapun yang terjadi, aku akan terus disampingmu” “Tapi Ramon, Aku tak ingin mengambilmu darinya dan aku…” “Sudah, cukup Dinar…jangan pikirkan soal itu, tidak usah merasa bersalah, kau tidak mengambil aku dari Nania, aku yang datang kepadamu, aku pun tidak mengambilmu dari suamimu, ia yang sudah ingin melepasmu… aku tak akan sanggup berpisah denganmu, aku akan bicara jujur dengan Nania tentang ini. Aku tahu ini akan menyakitinya tapi aku yakin dia akan mengerti, ini lebih baik dibandingkan aku tersiksa dengan rasaku dan ia terus kubohongi”. “Sekarang dengarkan aku Dinar… Kita harus selesaikan masalah kita dengan pasangan kita masing-masing dengan segera dan berjanjilah padaku Dinar… setelah itu kita akan bersama”.
Dinar terlihat galau, ia pandangi lekat-lekat wajah Ramon yang juga sedang memandanginya. Dinar melihat ada cinta dan kesungguhan. Dalam hati kecilnya ia pun sungguh ingin memiliki lelaki tinggi tegap itu seutuhnya, apakah akan sungguh terjadi jodohnya dengan suaminya akan berakhir? dan lelaki di hadapannya ini akan menjadi penggantinya? tanyanya dalam hati. Dinar tak bisa memberikan jawaban, ia bimbang.
Cerpen Karangan: Zusan W