Namanya Riani. Dia adalah murid baru di kelas kami, dan juga sahabatku di masa putih abu-abu ini. Kami mengenalnya sebagai gadis yang murah senyum dan aktif, juga sangat pintar. Lihat saja, seperempat dari keseluruhan piala dalam lemari kaca sekolah adalah yang bertuliskan nama: RIANI MYDELOVA. Bayangkan seberapa wow-nya dia. Namun aku keliru, sifat Ani tidak seterusnya seperti dulu. Sekarang Ani lebih pemurung dan suka menyendiri, tak jarang dia menangis. Sifatnya berubah sejak aku menceritakan padanya tentang kekagumanku pada seorang cowok bernama Dito, dan kuakui bahwa aku memendam perasaan pada Dito. Aku sudah beberapa kali chatting dengan Dito sekadar mengungkapkan rasa suka, tapi dia hanya membacanya dan tak membalas.
Pada Senin pagi yang suram dan terguyur hujan ini, bel istirahat baru saja berdering. Aku menoleh ke Ani yang duduk di kursi sebelahku, mengajaknya ke kantin. Ani mengangguk muram. Kami berjalan bersama meninggalkan kelas. Sesampainya di kantin, ternyata kami bertemu Dito. Refleks mukaku memerah. Tetapi Dito menatap Ani dengan senyuman, berkebalikan dengan sahabatku yamg memandangnya marah.
“Apa?” tanya Ani ketus. “Cuma ingin menyampaikan kabar gembira bahwa aku jatuh cinta padamu, Riani. Maukah kamu menjadi-” perkataan Dito terpotong. “Tidak!” tolak Ani sebelum cowok itu selesai bicara. Aku hanya terdiam menerima satu kenyataan: Dito jatuh cinta kepada sahabatku dan menembaknya, di depanku! Hatiku sungguh sakit. Rasanya ingin cepat-cepat pergi dari sini. Saat itu momen paling mengecewakan yang pernah kulihat, walaupun mereka tidak jadian.
“Apa yang mau kamu beli, Irsa?” tanya Ani padaku. Aku menggeleng. Tidak selera makan dan masih speechless. Seandainya kami tetap di kelas sewaktu istirahat, kejadian ini mungkin tak pernah terjadi.
Ani menatapku sedih, “Baiklah, ayo kembali ke kelas saja.” Kuanggukkan kepala. Kami melewati Dito yang tampak kecewa, namun dia berusaha menguasai diri. Di luar, hujan sudah berhenti. Garis-garis sinar matahari muncul di balik awan, menerangi langit. Sebelum kami melangkah lebih jauh, Dito berteriak, “Aku tetap cinta Riani meskipun dia menolakku!”
Langkahku terhenti. Aku seperti mau pingsan, tapi tidak boleh. Aku harus kuat. Kulihat Ani memejamkan mata sejenak, raut mukanya berubah kesal. Dia mengatur nafas tanpa berhenti berjalan. Aku bergegas menyusulnya. Di kelas, dia menelungkupkan kepala dalam tangannya begitu duduk. Entah dia memikirkan apa, tapi rasanya aku mendengar suara tangisan pelan. Untungnya saat ini jam kosong, jadi cukup buatku menenangkan diri sembari menunggu tangisannya mereda dan mengajukan pertanyaan.
“Kenapa kamu menangis, An?” tanyaku setelah Ani mengusap air mata, lima belas menit kemudian. “Irsa, maaf aku telah menyakitimu. Apakah kamu akan marah sesudah aku menceritakan ini?” Luncuran kalimatnya mengalir tanpa jeda. Tentang Dito yang selalu perhatian kepada Ani, sering menawarkan bantuan, dan menemani. Aku tak mengetahui semua itu sebab Ani berbeda bus denganku, tapi sebus dengan cowok yang kusukai. Barangkali mereka saling mengenal karena sebus. Juga terungkap jelas bahwa alasan kenapa Ani terus-menerus bersedih, itu karena dia hanya mau berteman dengan Dito, bukan berpacaran. Dia tak ingin terlibat dalam cinta segitiga yang merepotkan, apalagi kalau persahabatan kami berakhir hanya gara-gara satu cowok menyebalkan. Aku mendengarkannya dengan perasaan tertekan.
“Terima kasih telah mengatakannya, An. Itu sangat berarti,” kataku akhirnya lantas merangkul Riani. Kesedihanku mulai berkurang. “Sama-sama Kawanku, sama-sama…” dia balas merangkul. Kalau saja aku menatap matanya waktu itu, akan terlihat sebuah niat jahat yang tersembunyi, sayang aku belum menyadarinya.
Pukul 4 sore. Giliranku dan teman-teman yang piket hari Senin sudah beres. Kami meninggalkan kelas dalam keadaan sangat bersih dan rapi. Kututup pintunya setelah semua temanku pulang. Riani biasanya menungguku di luar kelas sewaktu aku sedang piket. Ke mana dia? Aku mencarinya ke sana-sini tanpa hasil. Satu-satunya tempat yang belum aku cek adalah gudang, namun aku berpikir lagi. Ani tak akan berada di sana kalau dirasa tak perlu. Tetapi aku tidak mau pulang sendirian, karenanya aku menyusuri koridor yang menuju gudang. Sesampainya di sana, aku hendak membuka pintu gudang ketika terdengar suara-suara samar dari dalam tempat barang-barang tak terpakai itu. Kedengarannya ada dua orang, yang satu bersuara rendah dan satunya agak melengking. Siapakah mereka itu? Rasa penasaran bercampur dengan merinding. Nafasku terengah-engah, belum lagi jantungku yang berdebum-debum kencang. Aku mengatur nafas sejenak, lalu mendorong pintu. Apa yang kusaksikan membuatku shock. Walaupun gudang berpenerangan remang-remang, sinarnya masih bisa menampilkan dua orang, cowok dan cewek, tapi mereka adalah…
“Ani! Dito!”, seruku tegang. Ya ampun, mengerikan sekali. Ani mencengkeram pisau bernoda darah, mengayunkannya begitu cepat ke arah Dito sampai aku menjerit, “Jangan!”, aku berlari ke Dito namun kalah cepat. Dito terjatuh menimpa kursi tak bersandaran di belakangnya. Semburan merah keluar dari lengannya, mengotori seragam. Aku memekik ngeri.
“Oh, halo Irsa. Sedang apa kamu di sini?” Ani bertanya ramah, mengabaikan pakaiannya yang bebercak kotoran dan juga darah. “Harusnya aku yang menanyakan itu!” Ani tertawa kecil, “Aku sedang bermain dengannya seperti yang kamu lihat. Dan bagusnya lagi, Dito tak melawan.”
Air mataku mengucur deras. Aku sama sekali tak menyangka sahabatku berani berbuat begitu. Tega sekali dia… Aku jatuh terduduk, masih terisak. Apa yang harus kulakukan sekarang? Kalau aku berlari ke UKS dan mengambil perban untuk Dito, apa yang akan terjadi padanya ketika kutinggalkan? Aku tak menginginkan hal buruk lain menimpanya. Melawan sahabatku sendiri? Wah, mana mungkin. Apa cara yang paling aman? Aha, begini saja.
“Singkirkan benda yang kamu bawa, An.” “Tidak bisa,” katanya ringkas. “Apa yang telah dia lakukan padamu sampai kamu tega melukainya? Kena-” “Kenapa? Karena dia membuatku marah, Sa!” katanya dengan nada tinggi, bergema memenuhi gudang. “Mungkin kamu belum tahu alasannya, maka aku akan berbaik hati menceritakannya sedikit. Begini… Tadi kamu sedang piket dan aku menunggumu di bangku luar kelas seperti biasa. Lalu Dito mendatangiku, dia mengulangi ucapan yang dikatakannya sewaktu kita meninggalkan kantin, kamu ingat? Dia bilang kalau dia tak akan menyerah mengharapkanku, yang membuatku sebal. Kemudian kukatakan padanya, “You’ll die if you don’t stop bother me (Kamu akan mati jika kamu tak berhenti menggangguku)”. Dia menjawab, “I don’t care (Aku tak peduli).” Aku hanya tersenyum, pamit kepada Dito kalau aku akan pergi ke kantin sebentar. Dia membolehkannya, padahal aku tidak bilang bahwa aku akan meminjam benda ini,” Ani menunjukkan sebilah pisau.
“Nah, sekembalinya aku dari kantin, kusimpan pisau di tas, kemudian kuajak Dito ke sini. Dia mengiyakannya. Saat kami tiba di tempat yang penuh debu ini, dia memintaku lagi untuk menjadi kekasihnya. Aku mencabut pisau dan menyuruhnya mengulurkan tangan, lalu aku menulis kata “tidak” dengan benda tajam ini di punggung tangannya. Benar kan, Dito?”
Cowok itu menggeram, berusaha duduk bersandar di dinding. Saat itulah aku melihat kata “tidak” di punggung tangan kanannya, yang sedari tadi tidak kuperhatikan. Sebegitu kejamkah Ani?
“Kamu-“, teriakku. “Jahat? Tidak, sebenarnya. Karena cowok itulah aku berubah, Sa! Aku akan tetap menjadi Ani yang dulu kalau Dito tidak ada, maka aku harus mengakhirinya.”
Mendadak Ani berlari kencang menghampiri Dito sambil mengacungkan pisaunya. Aku sigap berlari, lebih cepat dari sebelumnya, dan berhasil berdiri di depan Dito. Leherku tergores benda tajam, namun aku tak memedulikan sakitnya. Darah langsung memancar. Ani tampak kaget menyadari kalau pisaunya salah sasaran.
“Aku tak bermaksud menghabisimu, Sahabat.”
Ani mengarahkan senjatanya ke Dito, ke bagian yang sama sepertiku. Semburan merah keluar lagi, menciprati pakaian Ani. Dito ambruk di sampingku. Yang aku tahu setelah itu, semuanya gelap.
“Selesai sudah,” Ani tersenyum puas.
Cerpen Karangan: Fatiha Wardiya