Jika kutuliskan dengan berlebihan tentang hari ini, maka, akan kutuliskan bahwa hari ini sangat sempurna, sangat luar biasa dan istimewa. Dari mata terbangun hingga mataku kembali terpejam, hanya senyum yang menghiasi wajahku.
Pagi ini aku membuka mataku, bersamaan dengan mentari menyambut dengan sinar paginya yang lembut, masih dengan semburat kelembutan diiringi tiupan angin pagi yang menyegarkan. Bahkan baru kali ini aku mendengar burung berkicauan dengan ramah di pagi hari, seakan terus menyuarakan bahwa ini hari terbaik yang pernah ada.
Rasanya aku kembali hidup dari kematian, membuatku ingin berteriak bahwa pagi ini sangat indah, dan lebih indah dari pagi pagiku sebelumnya.
Setelah membuka jendela dan menatap ke luar kamar asrama sejenak, aku pun pergi ke kamar mandi dengan senandung riang yang tak biasa, bahkan beberapa teman asramaku menatap heran. Entah apa yang telah merasuki pagi ini, itu tentu adalah hal yang baik, bagiku.
Apakah tentang sebuah kisah cinta? Emm.. Yah, bisa jadi.
Sendari pagi tak henti hentinya aku memuji cuaca, keadaan, bahkan memuji penampilan teman se-asrama yang kutemui. Senyumku tak lagi bisa kutahan bahkan saat mengerjakan piket kebersihan kamar mandi asrama yang biasanya sangat kubenci. Hari ini terlalu indah untuk kujalani dengan amarah dan gerutuan.
Mengikuti kelas online tambahan di akhir pekan ini pun tak membuatku kesal atau bermalas malasan, setidaknya hari ini, secara ajaib, aku tiba-tiba bisa melihat bahwa ada sisi baik dari kelas ini, ya, aku bisa melihat wajah asisten dosen yang sangat kukagumi walau hanya lewat platfom online.
Hari ini berjalan terlalu sempurna untuk sebuah akhir pekan biasa yang cukup membosankan, walau aku tak merasa bosan untuk hari ini saja. Pesanan online yang tak sesuai pun entah mengapa tak membuatku kesal.
“Senyam senyum kayak orang gila aja, Nda!” Tegur Jena, duduk di kursi sebelah sambil memakan es krim vanila di tangannya.
Aku tak merespon, tak ada waktu untuk berdebat dengannya. Lagi pula aku sedang fokus dengan laptopku, menonton drama korea yang kutinggalkan selama sebulan terakhir. Tak ada lagi waktu untuk hari ini, matahari sudah hampir melewati titik terpanasnya dan aku harus pergi ke salon yang sudah kureservasi sejak kemarin.
“aku mencintaimu~ jeng jeng jeng!” Drama bersambung.
Begitupun aku yang langsung menutup laptopku rapat rapat, tak peduli pada Jena yang ternyata ikut terhanyut dan menonton drama korea yang biasanya ia anggap menye-menye dan membuat kami berdebat.
Bergegas aku mengganti pakaianku dan memesan ojek online, menunggunya dengan kesabaran penuh dan berangkat.
Salon kecantikan, tempat yang tak pernah kukunjungi sebelumnya kecuali hanya untuk memotong rambut, dan khusus hari ini aku datang untuk merawat diri, aku ingin melakukan sedikit perawatan untuk wajah dan rambutku, juga meriasnya sedikit.
Jika Jena dan yang lain tahu aku pergi ke salon dan mengenakan dress feminin untuk hari ini, sepertinya aku sudah tahu ekspresi mereka dan bagaimana mereka akan menertawakanku. Menjadi orang baik untuk hari ini pun sudah membuat mereka tak tahan melihatku.
“Sempurna!” Begitu aku melihat diriku di cermin full body di dalam salon kecantikan.
Rambut panjang yang biasa kukucir kuda kubiarkan tergerai, sebuah penjepit bunga daisy kubiarkan menggantung di sisi kanan atas telinga, menahan poniku agar tak jatuh sembarangan. Sebuah dress se-lutut berwarna biru muda yang dibelikan ibuku beberapa bulan lalu saat aku berulang tahun dan belum pernah kukenakan hingga saat ini, akhirnya tiba saatnya ia menunaikan tugas, membalut tubuhku dengan indah. Sebelumnya aku tak tahu bahwa dress akan cocok untuk kukenakan, sudah banyak dress pemberian ibuku yang kujual ulang di toko online. Flat shoes dan tas selempang, oleh-oleh dari sepupuku sepulangnya ia dari Bali setahun lalu, yang tak pernah kuduga aku akan memakainya pun ikut meneriahkan suasana.
Sisi yang berbeda dari seorang Ayunda Azura Wibisana pun akhirnya muncul juga!
Untuk apa aku melakukan semua ini? Benar, karena sebuah janji pertemuan yang dua hari lalu kudapat dari ponselku. Orang yang kusuka beberapa bulan terakhir ini akhirnya mengajakku bertemu, hanya kami berdua, di sebuah kafe yang cukup jauh dari area asrama dan kampus.
Sepertinya inilah saat terbaik untuk mengatakannya, sejak semalam aku sudah sangat bersemangat dan buru buru mempersiapkan segalanya, termasuk menghabiskan uang bulananku di salon. Hanya untuk dia. Aku tak sabar untuk bertemu dengannya, ini sungguh hari yang menggembirakan dan sangat mendebarkan! Aku, seorang Ayunda, akhirnya gugup dan luluh juga hanya karena seorang pria!
Huh, lama lama aku bisa benar benar gila! Momen yang biasa kulihat dalam drama korea pun akan datang padaku, entah bagaimana aku harus bersikap tapi sepertinya aku akan bersikap ceroboh karena terlalu gugup.
“Nda!” Dia melambaikan tangannya ke arahku. Jantungku benar benar berhenti, dia terlalu tampan, padahal ia hanya mengenakan kemeja santai biasa, tapi rasanya sudah seperti seorang model papan atas. Tingginya yang pas sebagai seorang model juga tubuhnya yang memang ia seorang atlet dari jurusan olahraga.
Aku juga melambaikan tanganku, membalasnya, menghampirinya kemudian.
“kau tampak berbeda hari ini.” Begitu yang ia ucapkan, sudah cukup membuat jantungku berlarian tak menentu, dia memperhatikanku dan penampilanku!
Aku tak bisa membalas, hanya menggaruk tengkukku dengan canggung hingga kami memutuskan masuk ke dalam kafe bersamaan. Duduk di sudut paling dekat dengan jendela hingga pemandangan lalu lalang kota pelajar ini tampak jelas di mata kami. Adegan klise dalam drama, dia pasti akan mengakui perasaannya, jika bukan itu pun, aku lah yang akan mengakui perasaanku, secepatnya agar jantungku yang hampir meledak ini merasa lega.
“Aku sudah mengatakan sebelumnya di telefon bahwa aku akan menanyakan sesuatu padamu, kan?” Tanyanya dengan intonasi teratur yang sangat lembut, entah mengapa itu terdengar merdu dan menggema di dalam telingaku. Aku mengangguk, cukup antusias dengan pertanyaan apa yang ingin ia ajukan. Apa tentang apa aku menyukainya atau maukah aku menjadi kekasihnya, pikiran itu membuatku sedikit tersenyum tanpa kendali.
“mmm.. Kau..” Gila! Kata katanya yang agak sedikit ragu membuatku terus memikirkan kalimat apa yang ingin ia bicarakan! Cepatlah katakan, “kau mau jadi kekasihku?” dan aku pasti akan mengangguk dengan tegas!
“Kau teman baik Jena kan? Apa dia punya pacar?” Lanjutnya, cukup membuat senyumku yang tak luntur sejak pagi tadi meredup.
Ternyata aku bukan tokoh utama dari drama yang kubayangkan selama ini. Sia-sia saja aku bersemangat berlebihan, lalu, bagaimana aku harus menjawabnya? Kalian juga tahu kan pertanyaan pertanyaan selanjutnya yang akan ia tanyakan? Apa aku masih perlu menjawabnya dengan ramah setelah tahu selama ini ia mendekatiku di organisasi hanya untuk berkenalan dengan Jena?
Aku menggeleng, Jena tak punya pacar. Dia menghela nafas lega, seakan bidikannya tepat sasaran, dan selanjutnya ia menanyakan kesediaanku untuk membantunya. Beruntung, seorang pelayan datang membawakan pesanan kami, dua waffel dan es krim alpukat yang cukup mahal sengaja kupesan hanya untuk hari ini, memberiku sedikit kesempatan untuk berpikir jernih.
Dan akhirnya aku menggeleng, aku tak bersedia dan membiarkannya memohon, tapi aku juga tak punya cukup kesabaran walau aku sangat menyukainya.
Sudah kugambarkan dari awal, aku bukan wanita feminin, anggun, penyabar dan bijaksana dari bagaimana caraku bersikap. Maka aku pun hilang kesabaran saat ia menanyakan kenapa, kenapa aku tak mau membantunya.
“Aku menyukaimu.” Kataku sesingkat itu, cukup membuatnya tertegun.
Yah, kalau dia tak mengatakan bahwa dia menyukaiku, memang sudah kuputuskan untuk mengatakannya apapun yang terjadi pada hari ini.
Ini bukan salah siapapun, jika dikatakan bahwa ini adalah salahnya, aku bisa mengatakan “ya, dia bersalah”, karena dia yang mendekatiku lebih dulu dan bersikap baik bahkan terlalu baik kepadaku. Dan jika dikatakan itu salahku pun, aku juga mengatakan “ya, aku bersalah”, karena aku terlalu membuka hatiku untuknya dan bisa-bisanya menerima perlakuan baiknya dengan perasaan yang sedikit berbeda.
Ini hanya tentang kesalahpahaman yang konyol dan klise.
Seharusnya jika ia menyukai Jena, dia mendekati Jena, bukan aku yang sama sekali tak ada kaitannya dengan kisah cinta mereka. Dan seharusnya aku pun tak sebodoh itu dan dengan mudahnya jatuh cinta hanya karena sikap baik tak jelas dan penampilannya.
Hari ini, bukan hari bahagia, tapi hari yang menggelikan. Dan itu berakhir dengan tawaku yang cukup pilu karena perasaan searah itu, yang akhirnya membuat hubungan kami terlalu canggung walau aku juga sudah mengatakan aku tak masalah dengan hal ini.
Cerpen Karangan: Elissty Blog / Facebook: Elis Setiyanik