Zenn… wajahmu laksana hamparan pemandangan yang menyejukkan mata dan hati, mana bisa aku berpaling untuk tak memandangmu. Hari itu kau mengenakan dress berwarna abu tua dengan penutup kepala yang senada, mengayuh sepeda dengan mata yang berbinar-binar Zenn… semangat hidupmu tinggi, inilah yang aku kagumi darimu.
Aku sering berpikir untuk menciptakan sepeda terbang agar kau tak perlu lagi berlelah-lelah mengayuh sepeda setiap harinya, tapi lagi-lagi aku menyerah pada pikiranku karena aku menyadari bahwa imajinasiku sudah kelewat batas dan kau pasti tak akan menyukai itu karena kau pernah menerangkan sesuatu seperti ini “sesungguhnya Allah (Tuhan Zenn) tidak menyukai sesuatu yang berlebihan, dan memang pada kenyataannya bahwa sesuatu yang berlebihan itu tidaklah baik”.
Sebenarnya aku mengetahui dengan jelas bahwa Zenn sangat mematuhi perintah Tuhannya dan selalu menjauhkan diri dari apa-apa yang dilarang oleh Tuhannya, hanya saja aku tidak tahu dengan pasti di mana Tuhannya Zenn berada dan bagaimana cara menemui-Nya untuk sekedar memperkenalkan diri dan mendapatkan izin mencintai hamba-Nya itu.
Aku masih ingat disaat aku tak sengaja menyentuh punggung tangannya pada masa Orientasi Perkuliahan, Zenn… dia tersentak kaget dan segera menarik tangannya. Oh… alangkah malunya aku, orang asing yang berharap menjadi dekat malah memberikan kesan “aneh” atau “tabu” saat pertama kali bertatap muka. Sontak saja aku membungkukkan badan dan segera meminta maaf, dia berkata “iya, tak apa”. aku tak berani menatap wajahnya namun aku tahu Zenn… pasti dia tersenyum. Aku pergi dengan cepat karena malu telah memerahkan wajahku.
Aku pergi ke toilet untuk membasuh wajah dan merapikan kembali benang-benang hati yang kusut. Jesus… sungguh aku takut melupakanmu karenanya. Karena keyakinanku terhadap agama-Mu mulai terkikis. Jesus… tidak! Aku akan tetap teguh pada agama suci ini. Aku telah berdialog dengan keyakinanku sendiri, saat itu aku merasa bimbang dengan diriku sendiri.
Di saat yang lain juga aku ingat ketika Zenn menangis di taman kampus sedang di pangkuannya terdapat buku kecil yang cukup tebal sekitar 5 cm, aku ingin tahu apa yang dibacanya itu. Zenn… apakah kau menangis karena membacanya? Lalu mengapa kau terus saja membacanya? Zenn… jelaskanlah padaku yang penuh dengan ketidaktahuan ini.
Aku bisa lihat kainnya mulai basah dan badannya gemetar. Semakin lama gemetar itu berubah menjadi guncangan, Zenn… badannya terguncang hebat. Aku ingin memeluknya namun seperti ada tembok besar yang berdiri kokoh di sana, aku putuskan untuk tetap memperhatikannya dari balik dedaunan. Seperti penguntit Zenn… apakah yang aku lakukan ini benar?
Di saat yang lain, aku tidak melihatnya. Ini dua pekan setelah aku memperhatikannya hampir tiga jam di taman kampus. Aku mulai khawatir dengan keadaannya. Aku memutuskan untuk mencari tahu siapa Tuhan Zenn, dimana? Perpustakaan? Rumah Zenn? Aku diam tak bergeming… suara dari arah timur menggetarkan desir darahku, hangat terasa di ubun-ubun. Mataku terperintahkan untuk terpejam, badanku terperintahkan untuk berlutut lalu kemudian bersujud. Jesus… apa yang sedang terjadi, aku tidak bisa menggerakkan tubuhku sendiri. Mati rasa.
Sejam lebih aku merasakan sensasi seperti tidak mengenali urat syarafku sendiri, merasa tabu dengan pergerakan sendiku sendiri, dan merasa takut dengan diriku sendiri. Kepalaku mendongak menatap payungan awan hitam tebal yang siap menumpahkan milyaran tetes air hujan, aku mencoba menjalin persahabatan dengan tubuhku agar aku mampu menepi dari tetes air hujan yang sebentar lagi akan mengguyur tiap senti dari kehidupan di bumi ini. Awan hitam menipis dan berhamburan seperti embun yang terkeringkan oleh sinar matahari, pupil mataku perlahan mengecil sipit, bintik-bintik keringat bermunculan memberikan sensasi panas dan gerah, suara dari timur mendadak sunyi senyap sejenak suasana seakan diliputi kedamaian dalam ruang kehampaan bathin. Aku menoleh, rupanya keadaan sudah kembali normal, aku beranjak dan berjalan cepat ke arah kelas karena sebentar lagi kelas akan dimulai.
Aku duduk membisu saat pelajaran tengah berlangsung, suara riuh para mahasiswa yang saling berdiskusi menghegemoni ruang lingkup kelas saat itu. pikiranku menjelajah ke mana-mana, memantul dari dinding ingatan satu ke dinding ingatan yang lain. Apa yang sedang aku pikirkan, Jesus… damaikanlah darah kehidupanku. Selang beberapa menit, kelas mendadak sunyi senyap. Hanya ada suara decitan pintu kelas yang terdengar. Sejurus pandanganku memecah keheningan, aku menguap puas “Ah, sudah pulang rupanya.” Aku mengikuti kemana kaki ini akan melangkah, ke selatan, utara, timur, ataupun barat. aku siap.
Masih di tempat yang sama, di keheningan yang sama, ternyata kakiku lebih senang berkeliling di dalam ruangan kelas. Sepuluh putaran telah berlalu, namun kakiku tidak bosan-bosannya menginjak lantai yang sama.
“Rey…” suara manis nan lembut itu terasa jengah. Aku menghadap ke arahnya, desir panas dingin merambat bebas ke urat-urat syaraf motorikku. Aku ingin cepat-cepat terbebas dari situasi macam ini, kuayunkan gesit kakiku menuju daun pintu keluar, Zenn… dia menghadang langkahku, memberi isyarat dengan jari-jari lentiknya untuk memintaku berhenti dan bicara dengannya. Aku menganguk pelan, kemudian langkahku mengikuti garis jalannya.
Hari tampak cerah dengan balutan hangat mentari beserta dayang-dayang birunya, aku memulai hariku dengan mengeja lagi namamu Zenn…
Tiada yang berubah denganmu. Mungkin. Namun aku harus bilang, aku berubah. Berubah menjadi aku yang semakin mengagumimu. Ingatanku soal Zenn terus berputar dan berulang, ingatan itu semakin kuat sejak hari itu. Hari di mana Zenn… dia mengatakan sesuatu padaku. Dengan senyum yang tak sanggup kupandang dan dengan kalimat yang tak sanggup kudengar. Terlalu murni untukku, terlalu dini untukku. Aku takut meninggalkan Tuhanku. Ia bilang “Mau kau belajar bersama denganku?”
Sepanjang ini aku baru sadar belum menyebutkan namaku. Namaku Alfred Yelfa Aderdata, panggilanku “Rey” dengan menggabungkan “re” pada Alfred dan “y” pada Yelfa. Siapa manusia unik yang melakukan penggabungan abjad-abjad namaku yang terpisah untuk kemudian menjadi nama panggilanku? Dia adalah sosok yang pernah ada di samping ranjangku.
Seluruh kehidupanku berada di seputar kehidupannya. Dia yang bahkan mampu mengerti maksudku hanya dengan melihat mataku. Dia yang selalu memberikan sekumpulan kata-kata manis saat hidup berubah menjadi sepahit akar gantung. Namanya Rona, Rona Puri lengkapnya. Dia isteriku.
Rona tidak ada hubungannya dengan kekagumanku terhadap Zenn… Samasekali tidak. Hidupku untuk Rona, namun hatiku untuk Zenn… Semuanya tampak seperti permainan bagi mereka yang memandangku. Aku yang berada di antara dua wanita, yang terikat raganya denganku dan yang aku ikatkan hatiku padanya.
Kembali kepada perbincangan soal pagi, hari ini aku akan pergi ke kelas musik. Piano adalah bidang khusus yang kuambil di sana. Bukan untuk menjadi pianis hebat, semua ini hanya sebatas memenuhi keinginan seorang Rona. Rona adalah seorang pianis yang hebat di masa sebelum dia menikah denganku.
Sejak menikah, orangtuaku tidak mengizinkannya pergi menggelar pertunjukan. Alasannya sederhana, orangtuaku takut nantinya Rona akan menjadi wanita yang lebih mementingkan karir daripada keluarga. Rona yang penurut pun mengiyakan semuanya. Sedangkan aku dituntut oleh keluargaku dan keluarganya untuk menutup bagian kosong yang telah ditinggalkan oleh Rona dengan memulai lagi kuliah dengan jurusan yang telah mereka sepakati, mengikuti kelas musik, untuk menjadi pengganti Rona versi pria.
Hari ini kelas musikku berjalan baik, aku sudah bisa menguasai beberapa nada sulit yang tadinya kupikir butuh waktu dua pekan untuk bisa lancar memainkannya. Kelasku selesai pukul empat sore. Aku akan langsung pulang.
Di perjalanan pulang, aku melihat Zenn… malaikat biru itu terlihat kewalahan membawa dua kantung besar belanjaannya. Dengan antusias aku menawarkan diri untuk membantunya. “Zenn… boleh aku bantu?” Zenn… dia tersenyum sembari mengangguk pelan “Boleh.”
Aku mengikuti langkahnya. Zenn… dia berjalan saja tanpa bicara sepatah katapun. Akupun tak sanggup mencoba bertanya ini dan itu, aku hanya menyelaraskan garis langkahku saja sampai depan rumahnya.
Rumahnya rindang. Banyak pepohonan yang tumbuh di pekarangan rumahnya. Dengan warna cat rumah yang senada dengan warna pepohonan, semuanya tampak serasi dengan birunya sosok Zenn…
“Terima kasih Rey, mau mampir dulu?” tanyanya. “Lain kali saja, aku harus pulang.” “Baiklah. Hati-hati di jalan.”
Aku mengembangkan senyumku dan segera berbalik untuk menuju arah rumah. Sepanjang jalan senyumku terus saja mengembang tanpa ingin layu. Zenn… lagi dan lagi ini terjadi padaku. Sebenarnya boleh atau tidak. Boleh atau tidak. Boleh atau tidak.
Di depan rumahku, sosok Rona sudah menunggu. Senyumku belum juga layu. Rona mendekatiku, mengalungkan kedua tangannya pada leherku. Wajahnya dekat sekali. Garis wajahnya sangat jelas terlihat.
“Sebahagia itukah harimu tadi? Bibirmu tampak tak ingin melepas tarikannya untuk terus tersenyum.” Bisiknya. “Ya.” “Coba ceritakan padaku, Rey.”
Kusisipkan rambutnya ke belakang telinga. Mengelusnya perlahan. Menciumnya. Kemudian aku berbisik “Ini karena Zenn…” “Siapa Zenn?” Rona tetap berbisik. Kutatap lekat-lekat matanya, mengatakan hal di luar kesadaranku “Aku mengaguminya, kurasa aku mencintainya.”
Matanya tampak berkaca-kaca. Namun senyumnya tetap mampu ia pertahankan. Ia semakin mendekat pada wajahku. Lama sekali. Ia tarik tangannya perlahan, kemudian mundur beberapa langkah dengan tetap tersenyum. “Aku tahu.” Air matanya jatuh. Melihatnya menangis. Senyumku belum juga mau layu.
Bukan salahku jika hatiku tidak menuruti kenyataan yang ada. Bukan salah siapa-siapa, Tuhan memang ingin begitu. Tapi mengapa tetap aku yang memegang kendali keputusan, semuanya. Ke mana bangau harapan ini harus kuterbangkan?
Rona. Atau Zenn.
Aku bisa gila karena seorang aku. Aku yang rumit. Aku yang datang dari berbagai lembaran takdir buram yang sepenuhnya bungkam. Tak ada kejelasan akan semua yang kurasa. Jesus… apa ini sebenarnya. Seluruhnya aku tak pernah mengerti.
Aku duduk di bangku panjang. Di hadapanku, berbaris tuts-tuts hitam putih. Jemariku mulai bergerak pelan memainkan nada-nada ringan. Jendela besar di depanku memantulkan sinar rembulan. Aku bisa melihat hamparan malam hening dengan gemintang yang bertabur megah di langit selatan, bulan purnama ternyata. Semesta meraupiku dengan pertanyaan penuh godaan. Aku hanya manusia tanpa jawaban. Tiada satupun pernah kuberikan sentuhan.
“Rey…” Aku menoleh. Ia menutup mataku lembut. Ia bawa aku, dituntunnya aku alun-alun. Aku tiada mau tahu ke mana aku setelah membuka mata, maka kutidurkan saja rasa penasaranku. Kurasakan benda tajam menyentuh dadaku. Perlahan itu menghujam dalam-dalam. Merobek jantungku. Remang-remang ingatanku. Mungkin aku mati setelahnya.
Cerpen Karangan: Seanshine Blog: Seanshineblog.blogspot.com Mari berteman: IG @seanshine.me
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 16 September 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com