Memasuki tahun kelima setelah kepergian Dirgantara. Arunika masih menyimpan perasaannya untuk Dirgantara walaupun mungkin pemuda itu tidak melakukan yang sama. Ada kalanya, perasaan Arunika tidak ada untuk Dirgantara. Kadang kala, perasaannya menggebu merindukan sosok pemilik nama Dirgantara itu. Dan setiap nama Dirgantara masuk ke celah-celah hatinya, Arunika berharap sisa lima tahun ini tidak akan lama.
Pemberitahuan dari pengeras suara menyadarkan Arunika dari lamunannya. Gadis itu segera meraih tas selempangnya. Berlari menuju pintu kereta yang perlahan menutup. Langkahnya melambat seiring napasnya kembang kempis. Arunika yakin, ia akan mendapat omelan dari bosnya karena terlambat di hari pertamanya bekerja.
Arunika sudah menghentikan langkahnya. Tangannya menumpu lutut lemasnya agar tidak terjatuh. Napasnya begitu sesak dibalik masker putih yang ia kenakan. Diantara keputus asaannya, seorang pemuda melesat menahan pintu kereta. Ia menoleh ke arah Arunika. “Buruan!” Perintahnya masih dengan suara lembut. Tidak terkesan terburu-buru. “Makasih, gue engga tau bakal semarah apa si bos kalau lo engga nolongin gue.” Arunika masih mengatur napasnya. Mereka berdiri di depan pintu masuk kereta. Ramai tapi tidak terlalu bising untuk kesibukan pagi ibu kota. Arunika menatap pemuda di depannya itu. Sekilas dari sikap dinginnya, Arunika kembali teringat Dirgantara.
Dering telepon membuyarkan lamunan Arunika yang sudah jauh kembali ke masa lalu. “Halo? Engga, gue udah di kereta. Bentar lagi sampe kok.” Arunika meyakinkan seseorang di seberang sana. Ia membuang wajah keluar. Kereta melaju cepat di perlintasan jalur atas. Tidak bisa lagi ia nikmati kemacetan pengendara lain di belakang palang pintu kereta.
Waktu membawa banyak perubahan. Siap tidak siap, Arunika harus beradaptasi dengan kemajuan yang semakin pesat. Kalau dulu ia harus berdiri di trotoar menunggu taksi melintas, sekarang ia bisa memesannya. Waktu begitu jahat untuk sebuah penantian. Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar walau sudah ia lalui setengahnya.
“Turun dimana?” Sebuah pertanyaan membuat Arunika menoleh. Matanya mencari ke arah sumber suara, tapi tidak menemukan siapa. Arunika tidak yakin kalau suara itu dari pemuda di depannya. Mereka tidak saling kenal, lalu untuk apa pemuda itu menanyakan sesuatu. Arunika mungkin ramah, tapi tidak untuk orang asing di kota perantauan. Pemuda itu menoleh setelah cukup lama pertanyaannya tidak digubris. Ia sendiri tidak tahu tatapan apa yang ia berikan sampai gadis di depannya menelan ludahnya sendiri. Ia tidak semenyeramkan itu. Tato yang memenuhi lengan berototnya juga bukan pertanda ia preman di sini. Baginya, tato sekedar seni. “Turun dimana?” Pemuda itu mengulang pertanyaannya sekali lagi. Arunika menunjuk dirinya sendiri. “Gue?” Setelah anggukan singkat dari pemuda di depannya, Arunika mulai menjawab pertanyaan itu. “Gue turun di stasiun berikutnya.” Sekarang, Arunika menyesali menjawab pertanyaan pemuda itu. Bisa saja pemuda yang terlihat lebih tua dari Arunika akan mengikutinya. Ah, nyawa Arunika dalam bahaya sepertinya.
Pintu terbuka otomatis setelah kereta berhenti. Arunika membenarkan posisi tas di bahunya. Ia segera berlari, berharap hilang dari pandangan pemuda itu. Tubuh mungilnya berhasil berbaur dengan keramaian penumpang yang bergiliran masuk. Arunika masuk ke dalam taksi yang kebetulan berhenti di trotoar area stasiun. “Kantor imigrasi, pak!” Perintah Arunika terburu-buru. Pagi ini sudah dua kali napasnya berantakan. Tidak seharusnya ia berprasangka buruk pada seseorang yang rela menahan pintu kereta untuknya. Itu tadi, sebelum Arunika sadar pemuda itu memiliki tato menyeramkan di lengannya. Entahlah, Arunika terlalu banyak menikmati film yang berkaitan dengan Yakuza.
“Tapi mbak, ini sudah dipesan.” Jawaban itu benar-benar membuat Arunika cemas. Apalagi pemuda itu semakin mendekat ke mobil tempatnya bersembunyi. Silakan saja kalau memang ini pesanan orang, tapi bisakah ia menumpang untuk bersembunyi sebentar. Ia benar-benar takut hal buruk terjadi padanya.
Menjadi dewasa tidak selamanya menyenangkan untuk Arunika. Gadis yang terbiasa hidup tanpa masalah sekarang harus menghadapinya seorang diri. Kalau itu masalah kecil seperti tugas sekolah dulu, Arunika bisa mengatasinya. Sayangnya ia tidak memiliki kemampuan bela diri untuk menghadapi pemuda bertubuh kekar itu.
Hari ini benar-benar sial. Pemuda itu berdiri di luar kaca dekat dengan kursi pengemudi. Setelah tiga ketukan, pengemudi itu membuka kacanya. Arunika menangkupkan tangannya di wajah, berharap pemuda itu tidak mengenali dirinya. “Pak Anwar?” Tanya pemuda itu dengan suara yang sama. “Saya Bagaskara, pemesan taksi ini. Tapi kenapa ada orang lain di dalam, pak?” Kalimatnya terkesan marah tapi tidak disuarakannya. Sayup terdengar bisikan antara pemuda dan pengemudi di depannya. Arunika tidak berani membuka matanya. Mulutnya berkomat-kamit melapalkan mantra agar hilang saat ini juga.
“Saya Bagaskara, kamu tidak perlu takut karena saya punya tato.” Dari mana pemuda bernama Bagaskara itu tahu kalau Arunika takut dengan tato di lengannya? Apakah pemuda itu sadar diri dengan seni di tangannya? Sehingga membuat gadis polos seperti Arunika ketakutan? Arunika tidak peduli, kalimat itu sedikit menenangkannya. Ditambah ada pengemudi taksi yang bisa menjadi saksi kalau terjadi apa-apa padanya.
Mobil sudah melaju entah sejauh apa. Ketika Arunika merasa mobil berhenti di lampu merah, ia memberanikan dirinya. Matanya melirik ke pemuda di sebelahnya. Ia tenang dan terlihat sibuk dengan ponsel di tangannya. Dari kaos dan celana panjang yang dikenakannya, Arunika berasumsi kalau pemuda itu bukan dari golongan karyawan sepertinya. Jauh berbeda dengannya. Arunika pagi ini rapi dengan seragam biru mudanya dan celana kain hitam pekat. Tidak ada lagi tanda pengenal sebagai anak magang di kantornya. Ia pernah magang di sana, beruntung setelah kelulusan, Arunika mendapat pekerjaan yang sesuai bidangnya. Ia tidak perlu repot-repot mengirim berkas lamaran sama seperti teman sebayanya.
“Terus kenapa lo ngikutin gue?” Arunika menatap Bagaskara tajam. Sayangnya tatapannya kalah tajam dan takluk saking teduhnya mata Bagaskara. Arunika membuang wajah keluar jendela. Sepertinya ia terjebak di antara harus keluar sekarang, di tengah keramaian atau tersiksa karena harus satu taksi dengan orang asing. Tunggu, satu taksi? Arunika baru menyadari hal itu. “Lo kenapa minta bapaknya buat jalan? Emangnya tujuan kita sama?” “Saya akan ngusir kamu kalau tujuannya beda, tapi tidak saya lakukan.” Bagaskara tidak mengalihkan pandangannya dari ponsel. Sementara mobil terus mendekati tujuan yang ia maksud sama. Kalau sama, siapa sebenarnya Bagaskara? Tidak mungkin seorang aparatur sipil negara mengenakan pakaian santai untuk berangkat kerja, kan? Masa bodoh dengan itu. Arunika segera keluar meninggalkan mobil. Ia tidak sadar banyak teman-temannya berdiri dengan sikap siap setelah mobil berhenti. Arunika mengamati Bagaskara yang keluar dan disambut tepukan meriah. Ia kembali berasumsi kalau Bagaskara adalah orang penting di sini, tapi tidak penting untuknya.
Arunika baru saja meletakkan tasnya di meja kerja. Sesaat kemudian, beberapa teman kerja terdekat langsung mengerubunginya. Mirip seperti semut yang menemukan tumpukan makanan. Dengan tatapan yang tidak beda jauh, Arunika sadar mereka menanyakan satu hal. Kenapa seorang Arunika bisa satu mobil dengan anak bos mereka?
“Gue bener-bener engga tau dia siapa. Serius, cuma kebetulan satu taksi aja.” Arunika menjelaskan itu dengan susah payah. Mereka malah memberi tatapan lain kalau sebenarnya Arunika memang sudah dekat dengan Bagaskara. Mereka tahu, Bagaskara adalah sosok yang dingin terhadap perempuan. Seharusnya Arunika sudah diusir dari taksi kalau cuma kebetulan. “Kita engga percaya. Lo pasti ada hubungan kan sama pak Bagaskara?” Satu suara memprovokasi Arunika untuk mengakui hal yang tidak ia lakukan. Beruntung, panggilan dari atasannya membuat temannya membubarkan diri. Arunika beranjak, kalau benar Bagaskara adalah anak bos tempatnya bekerja, hari ini adalah hari pertama dan terakhirnya ia bekerja.
“Jadi nama kamu Arunika?” Bagaskara meletakan berkas yang menampilkan data Arunika. Gadis itu berumur dua puluh tiga tahun sekarang. Bagaskara tidak akan mengutarakan niatnya sekarang. Ia yakin Arunika baru saja memasuki dunia dewasanya. Mungkin lima tahun lagi, baru Bagaskara mengutarakan keinginannya.
Arunika. Gadis itu berhasil memporak-porandakan perasaanya. Bagaskara terus berusaha menjauhi apapun yang berkaitan dengan perempuan. Ia masih normal, tapi kata perempuan itu membuatnya tidak ingin memiliki satu hubungan. Bagaskrara terus menyalahkan kejadian masa lalunya atas sikapnya di masa sekarang.
“I-iya pak. Ada apa ya?” Sejak Arunika masuk ke dalam ruangan ini, ia terus menunduk. Ia tidak memiliki keberanian menatap Bagaskara walau tidak sedikitpun pemuda itu menyiratkan amarah. Suaranya tercekat ditenggorokan. Ia tidak mampu untuk sekedar menjelaskan karena Arunika yakin, Bagaskara sendiri tahu alasannya. “Nanti malam kamu sibuk? Saya mau ajak kamu makan malam, bisa, kan?” Ajakan itu membuat Arunika terlonjak. Matanya membulat sempurna. Arunika tahu di depannya sekarang adalah anak bosnya, harusnya ia mampu menolak. Selama beberapa saat, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. “Saya anggap jawabanmu iya.” “T-tapi, pak.” Terlambat, Bagaskara sudah meninggalkan ruangan ini. Menyisakan Arunika yang kembali tertunduk memikirkan ajakan Bagaskara. Apakah ia mampu menolak seseorang itu? Apakah ketidakhadirannya nanti membuat Arunika kehilangan pekerjaan? Sebuah pilihan sulit dimana Arunika masih berharap kehadiran Dirgantara.
Waktu kali ini jahat. Ia berjalan cepat, memaksa Arunika memutuskan jawabannya mau tidak mau. Arunika masih bertahan di kantor, memilih lembur untuk menghindari ajakan Bagaskara. Jemarinya sibuk menginput data, menyalinnya dari tumpukan berkas tepat di sebelahnya. Jantungnya berdebar kencang, berharap pemuda itu lupa dengan ucapannya pagi tadi.
Namanya Arunika, sejauh apapun ia dari Dirgantara, Arunika masih menjadi bagian dari Dirgantara. Apakah saat ini ia harus melepaskan arti namanya? Meninggalkan Dirgantara yang mungkin perasaannya masih untuknya. Pikirannya terlalu jauh untuk itu. Bukankah Bagaskara hanya mengajaknya makan malam? Mungkin permintaan maaf pemuda itu karena menakutinya di kereta.
“Yuk! Kamu engga lupa kan sama ajakan saya?” Bagaskara tahu-tahu saja berdiri di depan meja kerjanya. Tangan pemuda itu meraih tangan Arunika, membawanya pada tatapan keseriusan tentang ajakannya pagi tadi. Arunika kehabisan tenaga, tatapan itu, senyum simpul Bagaskara. Semua itu melunakannya yang merindukan kasih sayang.
Di dalam sebuah restoran mewah, tempat yang ingin sekali Arunika kunjungi. Bersama Dirgantara tentunya. Bagaskara memperlakukannya layaknya ratu, atau putri saja mengingat umurnya masih kepala dua. Pemuda itu sibuk memesan makanan, sementara Arunika masih berharap di depannya sekarang adalah Dirgantara. Arunika iri pada mereka yang duduk bertukar kemesraan di meja lain. Mereka terlihat bebas mengekspresikan kebahagiaan malam ini. Tangan mereka saling menggenggam, mereka bertukar senyum, berbalas candaan, dan perasaan mereka pastilah sehati. Berbeda dengan dirinya sekarang. Duduk di depan anak bosnya, masih memegang teguh tata krama dan sopan santun.
Bagaskara mendapati pemandangan itu. Arunika sejak tadi terus memperhatikan seisi restoran. “Ada apa Arunika? Sepertinya ada yang kamu pikirkan.” Suara Bagaskara lembut, sangat lembut untuk orang yang bisa dibilang lebih dewasa daripadanya. Arunika hanya menggeleng lembut, canggung untuk memanggil Bagaskara dengan sapaan pak atau mas. “Engga pak, bukan apa-apa.” Jawab Arunika memainkan jemarinya di atas meja. Lagi dan lagi, gadis itu menunduk memikirkan Dirgantara. Apakah dengan ini, Arunika membohongi perasaannya? Apakah dengan ini, Arunika tidak lagi mencintai Dirgantara? Arunika tidak tahu, ia masih canggung untuk sekedar menjawab pertanyaan Bagaskara.
“Kamu bisa panggil saya mas di luar kantor. Atau mungkin kamu mau manggil saya mas selama di kantor juga?” Sebuah senyum jahil Bagaskara ukirkan. Mengundang tawa ringan Arunika yang sejak tadi terlihat murung. Suasana perlahan cair akibat Bagaskara melontarkan banyak kelakar. Sampai mereka larut dalam pembicaraan mendalam.
“Arunika.” Bagaskara kembali menyebut namanya, membuat Arunika membalas Bagaskara dengan tatapan serius. “Saya tahu ini klise dan terlalu cepat, tapi saya yakin kamu orangnya. Mungkin kamu belum cukup dewasa untuk ini, belum terlalu mengerti kehidupan yang sebenarnya. Tapi saya mau kamu menikah dengan saya. Jatuh cinta pandangan pertama itu lucu ya, tiba-tiba saja saya sudah menaruh perasaan buat kamu. Tidak perlu sekarang menjawabnya, karena saya yakin kamu pasti terkejut.”
Benar, Arunika kaget bukan main. Bagaimana mungkin pemuda itu melamarnya sekarang. Belum genap satu hari mereka bertemu, satu lamaran ditujukan untuknya. Arunika mematung di tempatnya, menyibukkan diri dengan sisa makanan yang mendadak hambar. Susah payah ia menelan makanan itu sambil mencerna ucapan Bagaskara. Ia masih memiliki lima tahun kedepan untuk menepati janjinya. Jawabannya tergantung pada perasaan Dirgantara sekarang. Kalau pemuda itu masih memiliki perasaan yang sama, Arunika akan menolak Bagaskara. Sebaliknya, kalau Dirgantara lima tahun kedepan bukan orang yang sama, Arunika menyerah pada takdir. Dimana ia harus menerima lamaran Bagaskara.
“Maaf pak, saya masih ada janji. Kalau bapak mau menunggu lima tahun lagi, dan janji itu mengecewakan saya, saya bersedia.” Arunika yakin itu adalah kalimat yang paling tepat agar Bagaskara mau menunda keinginannya untuk menikahi Arunika.
“Baiklah, saya tidak keberatan. Biar bagaimanapun, perasaan tidak bisa dipaksakan. Juga menikah memerlukan kesungguhan hati.” Arunika diam, tidak mau membahas perihal ini lebih jauh lagi. Sekarang ia berharap Dirgantara memiliki perasaan yang sama. Bukan berarti Arunika tidak bersedia hidup bersama Bagaskara, ia hanya ingin tahu apakah Dirgantara cukup rela membiarkannya bersama orang lain.
Cerpen Karangan: Muh Faddlan Blog / Facebook: Muhammad Faddlan Restu Setiawan
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 15 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com