“Iya mas, ini udah di mobil sama pak Anwar.” Suaranya kian melembut tiap kali menerima panggilan dari seseorang di ujung sana. Ia segera meminta pak Anwar untuk melajukan mobilnya. “Langsung pulang kok mas, engga ngidam apa-apa.” Perempuan itu mengelus perut buncitnya. Di dalam sana ada calon anak mereka. Sekarang ia sudah memasuki bulan ketujuh umur kehamilan.
Siang ini ia baru saja selesai untuk pemeriksaan rutin. Dokter mengatakan kandungannya baik-baik saja, tapi tetap perlu diperhatikan untuk tidak banyak beraktivitas. Memasuki umur tujuh bulan, banyak kasus keguguran yang telah dokter itu tangani, dan baru saja diceritakan padanya. Ia segera meneguk ludah, memikirkan apakah hal buruk itu bisa dikecualikan untuknya.
Pak Anwar melihat majikannya dari cermin pengemudi. “Engga mau mampir dulu, bu?” Perempuan di kursi belakang tidak lagi menyukai basa-basi setelah menikah. Pak Anwar kembali sibuk memperhatikan keadaaan jalanan yang cukup membuatnya mengantuk. Setelah kehilangan pekerjaan sebagi supir taksi, ia beruntung bertemu kembali dengan Arunika. Iya, perempuan yang duduk di kursi belakang itu bernama Arunika.
Arunika tidak mengira bahwa kehidupan remajanya sudah berakhir. Ia baru saja memulai kehidupan dewasa selama beberapa tahun dan sekarang sudah menjadi milik seseorang seumur hidup. Waktu benar-benar menggerus semua hal. Ia memendam mimpinya dalam-dalam, apalagi setelah dikabarkan mengandung.
Untuk beberapa saat keadaan benar-benar tenang di dalam mobil. Arunika terus larut dalam ingatannya semasa sekolah. Ia kembali mengingat pertemuan pertamanya dengan Dirgantara. Juga perhatian-perhatian kecil dari pemuda itu. Senyum Arunika perlahan merekah, tidak ia rasakan bahwa sepuluh tahun adalah waktu yang lama.
“Oh iya, bapak terus ngasih tau saya buat ngingetin ibu tiap jam makan. Sekarang sudah jam makan siang, ibu mau makan apa?” Kalimat pak Anwar menyadarkan Arunika bahwa ia tidak lagi hidup di masa itu. Ia melirik ke perut buncitnya. Arunika tidak merasa lapar sekarang, tapi ia tidak yakin anaknya merasakan yang sama.
Sambil mengelus perutnya, Arunika bertanya, “kamu mau makan apa, nak? Mau bunda belikan apa?” Pak Anwar tersenyum melihat majikannya yang sedang senang karena akan memiliki momongan. Sementara itu mobil kembali berjalan lambat di tengah kemacetan. “Dokter bilang banyak pantangan makan buat ibu hamil, saya jadi bingung mau makan apa.”
“Coba makanan yang ibu suka aja.” Pak Anwar menyarankan. Arunika diam membaca katalog makanan yang ia suka dalam kepalanya. Ia kembali bingung karena tidak ada satupun makanan yang tidak ia sukai. Itu juga karena masa lalunya yang membuatnya mencicipi semua makanan yang belum pernah ia nikmati. Arunika berdecak. “Saya suka semua makanan, pak. Pak Anwar ada saran? Kan bapak udah pengalaman ngadepin istri yang lagi hamil.” Pak Anwar terkekeh sambil mengingat ia pernah ada di posisi itu. Dimana istrinya dulu juga kebingungan ingin makan apa karena menyukai semua makanan. Yang kemudian berakhir pada makanan itu-itu saja. “Hidup kami dulu susah bu, saya engga bisa nurutin kemauan istri yang lagi ngidam. Saya nyesel kalau dia ngalah karena kemauannya engga bisa saya turutin. Paling-paling saya masakin sayur sama tempe, nanti saya kasih alesan biar anaknya sehat.” Terdengar desah napas penyesalan dari pak Anwar. Arunika merasa beruntung suaminya bisa memberikan apapun yang ia mau, kecuali satu saat ini. Suaminya tidak ada untuk mengantarnya pemerikasaan rutin.
“Pak Anwar engga mau istrinya ngidam lagi?” Arunika tertawa kecil, pak Anwar juga sama. Sepertinya laki-laki paruh baya itu memahami kelakar Arunika yang memintanya memiliki momongan lagi. Arunika ingin anaknya nanti memiliki teman seumuran, karena ia tahu sendiri rasanya hidup sebagai anak tunggal tanpa teman seumuran.
Mobil menepi di minimarket terdekat. Pak Anwar tidak lagi kuat menahan hasratnya untuk ke kamar mandi. Arunika mengamati keadaan luar yang dipenuhi warung di atas trotoar. Perutnya mendadak bergemuruh melihat restoran sushi di seberang jalan. Ia segera mendatangi restoran yang cukup ramai siang ini.
Arunika sedang menunggu sushi pesananannya. Seharusnya tidak lama karena makanan itu terbuat dari bahan mentah, sebagian besarnya. Tangannya sibuk membuka galeri yang menampilkan foto bersama suaminya. Sesekali tidak sengaja memperlihatkan hasil USGnya dari awal kehamilan sampai sekarang. Ia bernapas lega bisa sampai sejauh ini.
Tepat setelah suaminya tahu Arunika mengandung, laki-laki itu memaksanya untuk mengundurkan diri dari pekerjaan. Sikap suaminya berubah sepenuhnya. Ia menjadi lebih protektif setiap Arunika melakukan sesuatu. Arunika bahkan pernah merasa kesal karena terlalu dikekang, tapi tetap saja ia kembali luluh setelahnya.
“Makasih mas.” Arunika langsung mengambil sumpit di meja, menyapit makanan itu dan mengunyahnya dengan semangat. Ini pertama kali setelah sekian lama Arunika memendam keinginannya untuk menikmati sushi. Ada untungnya juga tidak bersama suami protektifnya satu bulan ke depan.
Panggilan masuk dari pak Anwar menghentikan kegiatan makannya. Terdengar suara panik dari seberang sana, sementara Arunika santai menjelaskan. Ia malah melambaikan tangan dari balik kaca yang mengarah ke mobilnya. Pak Anwar terlihat lega, laki-laki itu langsung membawa mobil majikannya ke tempat parkir restoran.
“Aduh bu, nanti saya yang dimarahin bapak kalau ibu sampai kenapa-kenapa.” Arunika hanya tertawa setelah mengatakan ia sendiri yang akan bertanggungjawab. Lagi pula hanya berseberangan dengan minimarket. “Saya tunggu di sini ya bu, kalau ada apa-apa biar cepet.” Ia hanya mengangguk dan kembali menikmati potongan sushi terakhirnya.
Senyum Arunika perlahan memudar. Ia meringis kesakitan merasakan kejanggalan pada perutnya. Ia hampir saja berteriak kalau mampu. Ada cairan merah mengalir mengotori lantai tepat di bawahnya. Pak Anwar yang menyadari perubahan raut wajah majikannya langsung mengerti mengikuti arah pandang Arunika. Kesadaran terakhir yang dimiliki Arunika adalah kepanikan di dalam restoran. Dan tangan pak Anwar dibantu pelanggan lain menggendongnya masuk ke dalam mobil.
Aku janji. Pemilik suara itu terdengar jelas dalam kegelapannya.
Arunika mengerjap berkali-kali setelah semburat matahari menyilaukan matanya. Jelas tercium aroma obat-obatan menusuk indra penciumannya. Ia menggeliat pelan, mengamati sekitarnya yang tenang. Ia masih tidak yakin karena sushi kemarin membawanya menjadi pasien di rumah sakit. Tangannya mengusap pelan perutnya yang masih buncit.
Ia bernapas lega tidak terjadi apa-apa pada anaknya. Pelupuk matanya sekarang dipenuhi air mata yang mulai mengalir membasahi pipi. Arunika tidak bisa menahan rasa senang dan sedihnya dalam satu waktu. “Maafin bunda ya nak, udah bikin kamu sakit.” Telinganya menangkap suara langkah kaki masuk mendekati brankarnya.
Seorang suster datang, membantunya duduk kemudian. “Merasa baikan bu?” Arunika mengangguk, membiarkan suster itu mengecek keadaannya. Ia terus menatap keluar gedung rumah sakit. Sepertinya Arunika ada di lantai atas, karena dari sini ia bisa menikmati pemandangan jauh lebih leluasa. “Kondisi ibu sudah lebih baik, sebentar lagi dokter datang. Saya tinggal ya bu.”
Pak Anwar masuk bertepatan setelah suster itu keluar. “Saya sudah ngasih tau bapak kalau ibu masuk rumah sakit.” Mata Arunika membulat sempurna. Ia yakin suaminya akan marah besar karena kesalahannya. Arunika menarik napas dalam-dalam, mempersiapkan mentalnya untuk pertama kali melihat suaminya marah.
Laki-laki itu tidak pernah marah kepadannya sejak pertama kali mereka bertemu. Selama ini suaminya tidak pernah terbawa emosi untuknya. Apapun yang Arunika lakukan, sekalipun salah, laki-laki itu hanya menasehati sambil mengusap lembut kepalanya. Tapi bagaimana jadinya kalau hari ini suaminya marah karena ia hampir memupuskan harapan laki-laki itu memiliki seorang penerus.
“Telepon dari bapak.” Pak Anwar memberikan ponsel miliknya. Sejenak, ponsel itu ia jauhkan dari telinga selagi Arunika menarik napas dalam-dalam.
“Sayang, kamu engga kenapa-kenapa kan?” Pertanyaan itu jelas mengandung intonasi khawatir. Arunika menjelaskan kalau dirinya dan anak mereka baik-baik saja. “Kamu kenapa ngelanggar pantangan dokter? Pak Anwar engga ngelarang atau ngingetin kamu?” Hampir, laki-laki itu sedang menahan amarahnya untuk kalimat balasan dari Arunika. “Jangan marah sama pak Anwar mas, ini beneran salah Arunika kok. Arunika yang pengen karena udah lama engga makan sushi.” Di sebelahnya, pak Anwar terus menunduk. Ia takut kejadian ini kembali membuatnya kehilangan pekerjaan. Dan tentunya merasa bersalah karena tidak bisa menjaga majikannya. Laki-laki di seberang sana terdengar menghembuskan napas kasar. Mungkin ia sedang meremas keningnya karena menyikapi tingkah Arunika yang sulit diberitahu. “Yaudah, lain kali kamu jangan bandel ya. Maaf juga mas engga ada buat kamu.” “Bagus dong mas, jadi Arunika bisa makan-makanan yang Arunika suka. Mas engga bisa ngelarang karena mas engga tau.” Masih saja Arunika sempat membuat suaminya kembali kesal. Label perempuan periang itu tidak pernah lepas dari dirinya. Bahkan di keadaan ia sedang siap dihakimi suaminya kalau saja ada di dekatnya. “Arunika…” Menekankan suku kata terakhir namanya adalah kebiasaan laki-laki itu kalau mulai kesal. “Nanti mas minta pak Anwar yang marah ke kamu kalau bandel, mau?” Dan satu hal ini, mengancamnya. Arunika tidak takut, malah kembali membuat suaminya kesal. Setelah berbincang cukup lama, Arunika mengembalikan ponsel pak Anwar.
Pak Anwar yang ketakutan mulai angkat bicara. “Saya engga dipecat kan bu?” Arunika menopang dagunya. Ia berpikir mungkin kali ini tidak bercanda dengan laki-laki paruh baya itu. Bisa saja pak Anwar memiliki riwayat penyakit jantung. Dan kalau karena Arunika pak Anwar ikut terbaring di brankar, bisa gawat. Ah, tapi Arunika tetaplah Arunika. Ia baru saja memasuki masa dewasa beberapa tahun lalu. Tidak heran kalau sampai sekarang, menjelang menjadi ibu sepenuhnya masih ada saja keinginannya untuk bercanda. Seharusnya ia sudah paham hal-hal apa saja yang bisa ia buat sebagai kelakar dan mana yang tidak.
“Engga tau sih, tapi kata bapak terserah saya mau dipecat atau engga.” Pak Anwar segera meremas dadanya. Napasnya naik turun begitu cepat, mengundang kepanikan Arunika yang tidak bisa berbuat apa-apa. “Pak Anwar kenapa?” tanya Arunika benar-benar panik. Apakah ia kembali melakukan kesalahan? “Iseng aja.” Raut wajah Arunika kembali datar, memukul pak Anwar di sebelahnya tapi meleset. Mereka malah tertawa bersama setelah bercanda antara hidup dan mati masing-masing.
Memasuki hari ketiga Arunika dirawat. Suster yang menangani Arunika mengatakan bahwa ia sudah bisa pulang hari ini. Arunika senang semuanya dapat ia lalui dengan baik. Ia berterimakasih pada suster yang merawatnya tiga hari ini. Karena selama tiga hari di sini, hanya pak Anwar dan suster itu yang bergantian untuk menjaganya.
Arunika sudah rapi dengan pakaiannya. Pak Anwar juga sudah kerepotan membawa barang majikannya selama di rumah sakit. Arunika ingin segera pulang ke rumah. Ia merindukan kucing kesayangannya yang Arunika tinggal. Mungkin kucing itu satu-satunya makhluk hidup yang merindukannya.
“Pak Anwar tunggu di mobil aja, saya ada urusan sebentar.” Pak Anwar sedikit ragu meninggalkan majikannya lagi. Setelah Arunika meyakinkan urusannya tidak berhubungan dengan makanan, pak Anwar berlalu. Ia segera menuju resepsionis, meminta tolong untuk dipanggilkan suster yang sudah merawatnya.
Belum sempat petugas resepsionis memenuhi permintaanya, ia sudah lebih dulu disambut pertanyaan dari suster yang ia cari. “Ibu Arunika sudah mau pulang?” Arunika menghampiri suster itu, memeluknya seperti sudah kenal dekat. Atau entahlah, perasaan ibu hamil memang sangat sensitif untuk hal yang memang menjadi tugas seorang suster. Merawatnya. Arunika melepas pelukannya. “Makasih ya mbak, udah ngerawat saya tiga hari ini. Maaf ya kalau saya ngerepotin.” Suster itu hanya tersenyum simpul, menjelaskan kalau memang semua yang ia lakukan karena pekerjaannya. “Lain kali lebih hati-hati ya bu, kalau mau sushi diusahakan yang dimasak.” Suster itu mengingatkan Arunika. Arunika tersenyum sambil mengamati pandangan suster di depannya yang mengarah ke perutnya. Langsung saja Arunika meraih tangan suster itu, membawa dan membiarkannya ikut merasakan sebuah kebahagiaan. “Mbaknya udah nikah kan?” Suster itu mengangguk, tangannya merasakan sambil membayangkan kalau dirinya yang sedang mengandung. “Semoga cepet hamil ya mbak, nyusul saya, biar anak saya ada temennya.” Mereka tertawa kecil, membahas perihal hamil dan nama anak yang akan diberikan setelah anak sulungnya lahir.
Baru saja mereka berpamitan, seorang laki-laki datang ke arah mereka. “Selamat ulang tahun istriku.” Sebuket bunga mawar disusul pelukan hangat mendarat begitu saja. Berulang kali laki-laki itu mengecup kening, berpindah ke pipi, berakhir ke hidung. Senyum laki-laki itu merekah sempurna. Di depannya sekarang adalah istrinya yang sudah lama ia rindukan karena harus bekerja di luar kota. Laki-laki itu menangkupkan tangan pada wajah menggemaskan istrinya. Pandangannya menelusuri jauh dari ujung atas sampai ujung bawah. “Kamu makin cantik aja, pakai produk perawatan apa sih?” Pujian itu berhasil membuatnya tersenyum dan kembali memeluk suaminya. Ia benar-benar bahagia bertemu suaminya di hari istimewa ini.
Sudah puluhan minggu ia lewati tanpa kehadiran laki-laki itu di sampingnya. Dan selama itu juga ia belajar mandiri. Ia tidak bisa merengek hanya karena kehausan di tengah malam, meminta suaminya yang mengambilkan air. Seharusnya ia bisa melakukan itu sendiri, tapi sekarang ia akan kembali merengek manja di depan suaminya.
“Kenalin mas, dia Arunika, pasien yang aku rawat.” Laki-laki itu menjabat tangan Arunika dengan tenang. Memberikan perempuan di depannya tatapan baru yang tidak pernah Arunika dapatkan. “Saya Dirgantara, ini istri saya Nirmala. Barangkali ibu Arunika belum tau nama istri saya.” Dirgantara mengakhiri kalimatnya dengan tawa ringan.
Arunika diam mematung. Di depannya adalah laki-laki bernama Dirgantara. Mungkin banyak laki-laki bernama sama, tapi sekarang adalah Dirgantara yang ia kenal. Kenapa? Kenapa Dirgantara seperti tidak mengenalnya? Kenapa laki-laki itu bersikap seperti baru kali ini mereka bertemu? Apa yang terjadi pada Dirgantara?
Banyak pertanyaan dalam kepala Arunika yang tidak bisa ia jawab dalam satu waktu. Waktu sepuluh tahun mungkin benar bisa merubah banyak hal. Apakah termasuk ingatan dalam diri seseorang? Tidakkah hubungan masa lalu mereka seharusnya membekas? Ataukah Dirgantara memainkan perasaannya dengan sempurna sehingga tidak menepati janjinya?
Laki-laki itu memang tidak datang saat reuni sepuluh tahun setelah kelulusan. Dirgantara tidak menepati janjinya, tapi Arunika mendapat pesan darinya kalau Dirgantara akan segera pulang. Waktu kembali berjalan, Dirgantara tidak pernah datang mencarinya. Tidak lagi terdengar kabar tentang laki-laki itu.
Dan selama lebih dari sepuluh tahun, Arunika tidak pernah berhasil melupakan Dirgantara. Ia juga menepati janjinya, kalau sepuluh tahun ini mengecewakannya, ia akan menerima lamaran Bagaskara. Sampai sekarangpun, Dirgantara masih ada dalam hati terdalamnya. Tapi kenapa? Kenapa Dirgantara sejahat itu sampai melupakannya?
“A-Arunika.”
Cerpen Karangan: Muh Faddlan Blog / Facebook: Muhammad Faddlan Restu Setiawan
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 15 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com