Saat aku tidak pernah ingin mencintai seseorang lagi hanya sebuah traumaku di masalalu, seorang cowok datang kepadaku. Pada waktu kelas 8 tepat pada bulan Februari cowok itu mengirimkan sebuah pesan kepadaku.
“P, save” “Siapa?” jawabku. “Anak spejija” “Save yaa” “Iyaa, namamu siapa?” “Nathan”
Pesan singkat itu kemudian dia memberi tahu tentang identitasnya. Aku pun lama-lama mengenalnya. Dia ternyata adalah teman sekelas waktu kelas 7. Dia mulai mencari topik lagi untuk melanjutkan pesannya dengan bertanya-tanya. Disaat dia terus mengirim pesan kepadaku aku mencoba menjawabnya cuek dan slowrespon. Lalu dia bertanya dan mengajakku memainkan game.
“Kamu main game apa?” tanya Nathan. “ML, kenapa?” jawabku. “Ayo kita main bareng, mau ngga? “Boleh” jawabku.
Setelah itu dia mengatakan kepadaku, sebenarnya dia suruh temannya untuk mengungkapkan perasaannya kepadaku. Tapi temannya tidak berani mengungkapkannya.
“Temanku ada yang suka sama kamu” ucapnya. “Biarin” jawabku tidak peduli.
Kemudian dia mengirimkankan bukti pesan temannya kalau memang temannya suka sama aku. Aku pun tidak mempedulikan itu semua, dan juga tidak bertanya temannya itu siapa. Lalu kita tidak membicarakan tentang temannya lagi dan Nathan beralih topik. Topiknya hari-hari sangat tidak jelas dengan pertanyaannya itu.
Aku dan Natan mulai dekat. Tidak menyangka 1 bulan dekat dengannya, dia mengajakku berpacaran. “Kamu mau nggak jadi pacarku?” tanya Nathan dengan gugup. “Apa pacaran itu?” jawabku sambil bercanda. “Nggak” jawabnya sangat singkat.
Sepertinya dia mulai kecewa denganku. Aku sudah mengatakan kalau itu bercanda tapi dia juga tetap tidak mempedulikan lagi dan pesannya tetap singkat. Aku merasa bersalah dengan candaanku itu. Pada saat itu aku memang belum mempunyai perasaan kepadanya dan tidak ada niatan membuka hati lagi. Dan aku tidak berani mengatakan yang sebenarnya karena aku takut melukai hatinya. Disitulah pertengkaran mulai muncul, dia memintaku memblokir whatsappnya.
“Blokir aja, itu solusinya” ucapnya seperti marah. “Blokir whatsappku aja gapapa” jawabku. “Nggak bisa, makin kepikiran kamu terus” jawabnya. “Kamu nggak bisa diajak bercanda sih, maksudku itu jangan kamu anggap serius” “Aku serius ini tapi kamu justru bercanda” ucap Nathan kesal. “Iyaa deh emang salahku”
Pertengkaran itu sudah berakhir. Beberapa menit kemudian kita kembali bertengkar lagi. Dan dia bertanya tentang perasaanku kepadanya. “Aku mau bertanya serius, tapi kamu jawab jujur ya” ucapnya. “Iya tanya apa?” “Kamu sebenarnya punya perasaan nggak sama aku?” tanya Nathan. Pertanyaannya membuatku bingung menjawab apa.
“Aku nggak tahu” jawabku seadanya. “Kalau kamu punya ya aku nggak marah justru makin senang aku” “Sudah aku bilang aku nggak tahuu!” jawabku sambil kesal dengan pertanyaannya itu. “Kalau emang justru kebalikannya kamu nggak suka sama aku, biar aku nggak berharap” ucapnya. “Udah jangan tanya terus, nanti kamu tahu sendiri” jawabku mencoba mengalihkan pertanyaannya.
Nathan terus mempertanyakan pertanyaannya itu sampai aku jujur kepadanya dan dia memintaku memberikan kepastian. “Aku butuh kepastianmu biar nggak berharap terus” ucapnya. “nggak punya kepastian” “Aku Cuma butuh kepastianmu cukup itu aja, kalau emang iya ya iya kalau nggak ya nggak” “Nggak tahu” Jawabanku itu membuatnya semakin terus-menerus bertanya kepadaku.
Dengan percaya dirinya dia mengatakan kalau aku punya perasaan sama dia. “Kamu punya perasaan yaa sama aku” “Dih kamu jangan ke PD an dehh” jawabku. “Yaa begini jadi anak kejujuran, jadi terlalu berharap yang nggak diharapkan” ucapnya kecewa. “Maaf yaa kalau aku sudah suka sama kamu, ternyata sakit berharap juga tidak mungkin lagi” “Ya sudah kalau emang begitu, aku minta maaf juga” jawabku tidak bisa berkata-kata lagi. “Kamu itu bilang dari dulu kalau emang nggak punya perasaan, sekarang aku sudah tau kalau kamu benar-benar nggak punya perasaan” ucapnya. “Kamu juga sih berharap berlebihan, kan gini jadi berantakan semuanya” jawabku.
Lalu Natan memintaku memblokir nomor whatsappnya lagi untuk kedua kalinya agar bisa menghilangkan perasaannya kepadaku. Aku pun mencoba untuk memenuhi permintaannya itu. “Aku minta tolong kamu blokir WA ku yaa supaya bisa hilang perasaanku ke kamu, kalau aku yang blokir justru nggak bisa” ucapnya. “Oke kalau itu mau kamu, maaf banget ya” Keinginannya itu membuat terakhir aku dan Nathan berhenti berkomunikasi.
Beberapa hari aku mendapat pesan dari seorang cowok. “P” “Siapa?” “Jakky” Aku mulai curiga itu sebenarnya temannya Nathan tapi aku berpura-pura tidak tahu. Kemudian dia sok asik kepadaku.
“Kok cuek sih, ada masalah?” tanya Jakky. “Mungkin kalau emang ada masalah sama crushmu atau sama siapa gitu jangan langsung diblokir” “Apaan sih nggak jelas banget” jawabku. “Aku cuma bantu saja, katanya teman-teman kamu asik kalau dichatt” “Kok sekarang tumben cuek” ucapnya.
Saat itu aku tidak lagi merespon pesannya itu dan dia mengirimkankan sebuah pesan lagi kepadaku. “Kamu login ML sebentar, penting” ucapnya. “Nggak mau!”
Tiba-tiba dia membicarakan tentang Nathan disitulah curigaanku ternyata benar. “Blokiran Nathan nggak kamu buka?” tanya Jakky. “Nggak, emang itu maunya” “Masa nggak ada inisiatif buka blokirannya gitu?” “GK” jawabku cuek dan singkat. “Emangnya kamu nggak ada perasaan lagi?” “Udah kamu nggak usah ikut campur masalahku sama Nathan” jawabku disitu sambil emosi.
Lalu dia sedikit-dikit mulai jujur tentang sebenarnya yang terjadi. “Gini-gini, jadi aku bicara semua itu disuruh Nathan aku nggak bermaksud ikut campur kok” ucapnya. “Maaf ya kalau kamu kesal, maaf banget ya” “Iya gapapa aku sudah tahu semua, jangan mau lagi disuruh sama Nathan” Dia juga mengatakan bahwa dia bukan Jakky melainkan Aza. “Oh iya, namaku Aza bukan Jakky itu nama samaran buat alasan aja” ucapnya. Nathan terus menyuruh Aza agar bisa dibuka blokirannya lagi. Aku sudah merasa bosan dengan pertanyaannya Nathan yang dikirim lewat Aza itu.
1 minggu aku baru membuka blokiran Nathan. Setelah itu Nathan mengirimkan pesan kepadaku lagi dengan rasa tidak malu dengan permintaannya waktu itu.
“Haloo” “Apa?” “Masih marah?” “Nggak” “Yang bener, nggak bagus loh marah terus nanti cantiknya hilang” ucapnya sambil basa-basi. “Terus aku harus gimana ini?”
Nathan membujukku agar aku tidak marah dengan mengajakku memainkan game dan aku pun menolaknya. Lalu dia bertanya tentang Aza kepadaku. “Kamu tadi dichat apa aja sama Aza?” ucapnya. “Kepo banget sih kamu” “Iyalah” “Nggak usah kepo deh!”
Saat masalahku sama Nathan, aku dan Aza masih berkomunikasi. Terkadang isi pesannya itu selalu menceritakan Nathan. Lalu Aza tiba-tiba menanyakan sesuatu kepadaku tentang Instagramku. “Ini Ig mu?” “Iyaa, kok tahu?” “Ini dapat dari rekomendasi, follback yaa” Disitu terakhir aku dan Aza sudah tidak lagi berkomunikasi.
Nathan terus mengirimkan pesan kepadaku dan selalu bertanya tentang Aza. “Aza masih ngechatting kamu?” tanya Nathan. “Nggak” “Beneran?” “Coba tanya Aza sendiri sana” “Ngapain tanya Aza, Aza kalau aku tanya nggak pernah ngaku” “Terus kenapa emang kalau Aza ngechatting aku?” “Nggak boleh aslinya, ya tapi mau gimana lagi” ucapnya ada rasa sok cemburu.
Nathan mulai lagi basa-basi dengan omong kosongnya itu. Aku pun tidak mudah bawa perhatian kepadanya. Aku dan Nathan semakin dekat tapi aku hanya menganggap dia teman tidak lebih dan aku juga tidak melibatkan perasaan. Aku mulai cuek dengan Nathan karena dia mulai lagi menanyakan perasaanku kepadanya.
“Kamu sebenarnya ngasih harapan sama aku nggak sih?” ucapnya. “Aku bener-bener emang nggak tahu” jawabku “Itu kan dari hatimu sendiri masa kamu nggak kasihan sama aku udah nunggu kepastian dari kamu” ucapnya. “Ngapain sih kamu terus mempertanyakan itu lagi!” jawabku sambil emosi. “Yaudah deh gapapa”
Disitu Nathan sudah tidak mempertanyakan perasaanku lagi. Perhatian dan candaanya itu membuatku tiba-tiba muncul sedikit perasaan kepadanya. Aku tidak ingin mengungkapkannya karena aku tahu aku dan dia cukup sebagai teman saja. Aza kemudian menyuruh Nathan mempertanyakan kenapa aku unfollow instagramnya. Padahal itu Aza sendiri yang menghapus followersnya. Lalu Nathan tiba-tiba mengungkapkan perasaan Aza.
“Kenapa kamu unfollow Aza?” tanya Nathan. “Nggak, dia sendiri yang hapus aku dari followersnya itu” “Nggak mungkin, dia loh sayang sama kamu” “Mana ada, kamu jangan bohong deh”
Lalu Nathan menceritakan semua tentang Aza menyukai diam-diam. “Aza sebenarnya udah suka sama kamu awal kelas 8 tapi dia tidak berani mengatakannya, Aza selalu menceritakan tentang kamu” ucap Nathan. “Nggakk, dia suka sama orang lain mana mau sama aku” “Ini beneran, kamu aslinya juga suka kan?” tanya Nathan.
Aku tidak bisa menjawab pertanyaan Nathan, karena aku tahu cowok seperti Aza tidak mungkin suka sama aku. Pada waktu ada acara di sekolah aku belum mengenalnya hanya saja melihatnya dan cukup mengaguminya. Masalah tentang Aza itu Nathan dan aku bertengkar kemudian lost contact, sebelum itu Nathan meninggalkan pesan terakhirnya. “Semoga langgeng ya sama Aza, makasi waktunya yang dulu sudah mau menemaniku” ucapnya.
Pesannya itu membuatku berkaca-kaca, hatinya pasti hancur karena tahu yang menyukaiku adalah temannya sendiri, dia mengalah untuk kebahagiaan temannya.
Dan ternyata Nathan sudah mengatakan kalau aku emang suka sama Aza. Lalu Aza mengirimkan sebuah pesan kepadaku. “Emang benar yang dikatakan Nathan?” tanya Aza. “Nathan mengatakan apa ke kamu?” “Kalau kamu suka sama aku” “Aku nggak bisa jawab pertanyaanmu itu sekarang” “Iya gapapa aku bakal kasih kamu waktu kok”
Aku benar-benar bingung menjawabnya bagaimana karena aku dan Aza belum dekat dan belum mengenal satu sama lain. Aku juga selalu memikirkan bagaimana perasaan Nathan.
Beberapa hari dia mulai mempertanyakan lagi. “Kalau kamu nggak suka gapapa dari pada berharap nanti ujung-ujungnya sakit hati” ucap Aza. “Kalau aku suka kamu mau apa coba?” jawabku. “kamu suka beneran?” “Iyaa deh”
Untung saja Aza tidak mengajakku berpacaran karena aku hanya punya sedikit perasaan seperti perasaanku ke Nathan. Aku terus memikirkan Nathan, dia pasti kecewa banget sama aku. Aku jahat banget ke Nathan apalagi Aza temannya sendiri aku nggak bisa membayangkan jadi posisi Nathan gimana, pasti sakit hati banget. Aku mencoba untuk tidak memikirkan Nathan lagi dan fokus ke Aza.
Aku dan Aza semakin dekat dan masih ragu dengannya. Tapi perhatiannya membuatku terbawa perasaan kepadanya.
“Kamu nggak tidur?” tanya Aza. “Masih sore ini” jawabku bergurau. “Loh ini sudah malam, sana tidur dulu nanti kamu sakit gimana” ucapnya. “Iyaa, ini aja udah sakit” jawabku.
Pada malam itu memang posisiku nggak enak badan, tapi dia tetap kasih perhatian sama aku dan semakin yakin dengan perasaanku sendiri ke Aza namun disisi lain masih ada perasaan ke Nathan.
“Sakit apa emangnya?” “Demam” “Cepat sembuh ya, jangan tidur malam-malam kesehatanmu itu penting kamu jangan ngeremehin” ucap Aza. “Iya iyaa”
Hari-hari aku bingung harus memilih yang mana aku juga tidak ingin menyakiti satu sama lain. Ternyata pesanku dan Aza waktu itu menjadi pesan terakhir berkomunikasi. Aku menunggu terus pesan dari Aza tapi dia tidak lagi mengirimkan pesan. Aku tidak tahu apa yang terjadi, aku mulai berpikir dia menjauhiku atau memang dia nggak serius sama aku.
Tiba-tiba Nathan kembali kepadaku. Dia mengirimkan pesan tapi tidak aku balas. 2 minggu kemudian Aza memposting cewek lain, hatiku benar-benar sakit banget. Aku tidak menyangka secepat itu dia menemukan orang baru dan aku juga sadar posisiku. Mungkin dia sudah lelah menunggu kepastianku yang tidak jelas oleh karena itu dia memilih yang lain. Kecewa banget apalagi aku sudah rela meninggalkan Nathan dan menyakiti perasaannya tapi Aza memilih cewek lain.
Secinta apapun aku kepadamu dan kepadanya, aku tidak akan pernah bisa memilih karena aku tahu itu akan merusak pertemananmu. Lebih baik aku pendam rasa sakit hati ini sendirian dari pada semakin membuat luka untukmu dan untuknya. Takdir sudah menjawabnya, aku akan tetap mencintai dirimu dan dirinya diam-diam meski akhirnya kutemukan luka dalam-dalam. Senang bisa mengenalmu dan mengenalnya dalam satu pertemanan. Berbahagialah dengan pilihanmu masing-masing yang kau anggap lebih dariku.
Cerpen Karangan: Kaelamuna Uluwil S, SMPN 1 Puri