Masa sekolah itu adalah masa yang tidak akan pernah aku lupakan. Khususnya sekolah menengah. Aku Afriz Salmandika, seorang siswa biasa baru pindah tiga bulan lalu ke sekolah negeri di pulau Lombok. Selama ini, aku selalu berpindah-pindah mengikuti orangtuaku. Istilah lainnya nomaden. Itu bukan hal yang penting kuceritakan, karena ada kisah sederhana dari lelaki sepertiku ini.
Aku bukan siswa pintar luar biasa yang selalu juara satu bahkan umum. Tidak! Aku hanya siswa yang suka mengeluh saat memaksa diri bangun pagi untuk bersiap ke sekolah, pulang disaat teriknya matahari, lalu setumpuk tugas yang membuat perutku mulas setiap melihat jadwal pengumpulan. Ya, seburuk itu diriku. Aku juga bukan anggota Osis maupun klub olahraga di sekolah. Alasanku hanya satu, yaitu malas dan repot.
Namun, semua kemalasan yang menjadi bebanku perlahan-lahan mulai berkurang. Ada satu hal yang menarik perhatianku untuk menjadi manusia lebih rajin dari biasanya. Semua itu karena seorang siswi kelas sebelah, namanya Kresnaliza. Resna, begitulah aku menyebut namanya saat kedua mataku menangkap sosoknya ketika sedang di luar kelas. Hatiku menghangat setiap aku melihat dia tersenyum, tertawa, berbicara, dan apa pun itu, aku menyukainya. Dia gadis yang terkesan pendiam, tapi kalau didekati akan menjadi ramah dan mengejutkan.
Awalnya aku hanya diam memperhatikan dari jauh saja. Namun, daya tarik seorang Kresnaliza sangat kuat seperti magnet menarik logam. Aku pun memberanikan diri mendekati Resna. Jujur saja, aku bukan lelaki yang mudah bergaul dengan para perempuan. Jadi, aku sedikit gugup dan ragu saat mencobanya. Masih kuingat, saat itu dia sedang duduk di depan teras lab sains yang sepi. Dia sedang fokus pada buku tanpa sadar jika ada aku sudah berada di jarak yang lumayan dekat. Aku bingung memulai dari mana untuk menyapanya. Kemudian, aku mendadak berdehem untuk menarik perhatian Resna. Tepat saja dugaanku. Dia langsung menoleh sembari mengerutkan keningnya. Aku melempar senyum tipis yang dia balas begitu hangat. Ah, jantungku berdebar.
“H-hi!” sapaku dengan suara gugup belum terkendali. Aku merasa ingin tertawa, tapi sungguh ini tidak tepat waktu. “Hei. Sini duduk!” ajaknya begitu santai. Aku segera duduk tidak jauh darinya. Resna masih melihatku dan aku malah semakin gugup saja. “Maaf kalau aku ganggu fokus kamu,” kataku tidak enak. Yah, walaupun aku senang dia menyambut kehadiranku dengan ramah. “Oh, enggak, kok.”
Aku terdiam beberapa saat. Menghela nafas, aku memberanikan diri menyodorkan tangan berniat berkenalan dengannya. “Aku Afriz Salmandika.” “Kresnaliza. Tangan kamu dingin, loh!” cetusnya. “Eh?” Sial! Kenapa aku seperti ini, sih?! Memalukan sekali. Kudengar tawa renyah Resna beberapa detik. Lalu Resna menutup bukunya dan kembali melihatku.
“Aku tau kamu, kok. Afriz yang pemalas dan suka dihukum guru buat nyuci toilet,” katanya jujur. Aku yang mendengar itu sontak saja membuang muka. Ah, kenapa buruk sekali kebiasaanku bersekolah di sini? “Aku malu jadinya,” balasku. “Kamu bisa berubah, Friz. Lagi pula, kamu nggak nakal dalam artian ganggu banyak orang. Toh, dengan kamu berubah jadi lebih rajin malah jadi nilai plus buat kamu.” Aku menggaruk tengkuk dengan gerakan canggung.
“Kamu keberatan nggak kalau aku deketin kamu?” tanyaku langsung. Memang niatku adalah mengenal Resna secara personal. Melihat dia punya sifat ramah begini, tidak buruk juga aku dekati. “Tentu boleh. Kalau kamu mau berubah, aku bisa bantu kamu. Kita bisa belajar bareng, misalnya.” Senyumku mengembang lebar. Wow, ini kemajuan awal yang bagus, kan?
“Terima kasih, Res.” “Res?” beo Resna bingung. “Ah, itu. Nama kamu, kan, Kresnaliza. Supaya gampang, aku panggil Resna aja, boleh?” Resna terkekeh. Dia mengangguk-anggukan kepalanya tanda tidak keberatan dengan nama panggilan yang kubuat untuknya. Karena yang kutahu, Resna selalu dipanggil Liza atau Elza. “Resna nama paten dari kamu buatku.”
Hari berganti bulan, hingga tahun-tahun akhir mendekati kelulusan mulai terlihat di depan mata. Aku sudah berubah menjadi siswa rajin yang paling awal mengumpulkan tugas. Semua perubahanku tidak lepas dari dukungan Resna, kekasihku. Ya, itu nyatanya. Resna sudah menjadi kekasihku sejak enam bulan lalu. Aku juga tidak menyangka bisa memenangkan hati Resna, padahal ada seorang laki-laki yang menyukai Resna juga. Orang itu Rizkyanda, teman satu kelasku. Hubunganku dan Resna diendus begitu tajam hingga satu sekolah pun tahu. Tak heran lagi jika aku menjadi bahan keusialan beberapa guru yang mendukungku dan Resna. Manis sekali, bukan?
Namun, setiap hubungan pasti punya masalah. Untungnya, aku dan Resna tidak begitu mempermasalahkan hal kecil yang terjadi di antara kami. Seperti dua bulan kami berpacaran, ada seorang perempuan meneror Resna. Orang itu mengirimkan Resna pesan singkat yang isinya ujaran kebencian. Aku yang kesal langsung menelusuri nomor orang itu. Resna melarangku, tapi aku tak menggubrisnya. Kutemui orang yang meneror Resna, lalu aku berbicara baik-baik dengannya. Perdebatan alot tidak dapat dihindari hingga aku memberinya penekanan tegas. Kalau tidak begitu, dia akan semakin semena-mena dan menyakiti orang lain secara tidak langsung.
Satu per satu masalah, kami selesaikan dalam sebuah rundingan. Aku dan Resna mulai jarang berdebat, hanya sesekali. Ada hal lucu yang membuatku tidak pernah lupa. Saat itu, aku disuruh temanku memberi Resna bunga sebagai tanda sayang. Aku yang tidak tahu menahu tentang bunga hanya mengandalkan bunga kamboja yang kebetulan ada pohonnya di dekatku. Gilanya, aku mengambil kamboja yang baru saja jatuh, lalu kuberikan pada Resna. Wajahnya tampak kesal saat itu.
“Apa ini?” tanyanya heran. “Bunga. Kamu nggak liat emang?” “Ya tau! Tapi buat apa kasih ke aku?” “Buat kamu simpen. Anggap aja bunga ini pertanda aku sayang kamu,” kataku penuh percaya diri. Beberapa teman sempat menertawakanku. Aku hanya mengabaikan mereka karena sedang fokus pada bunga itu. “Seriusan kamu kasih aku bunga kamboja?” “Iyalah. Masih seger, nih. Bagus pula. Putih gini.”
Resna mengambil bunga kamboja itu. Tidak ada senyum di bibir mungilnya. Wajahnya juga masih mengerut kesal. Aku heran, bukannya perempuan suka dikasih bunga? Aku kurang romantis memangnya?
“Heran aku tuh sama kamu. Pekanya ke mana, sih?!” sungut Resna. “Loh? Kamu kenapa, sih?” “Tau, ah!” Resna pergi begitu saja. Aku berkedip-kedip bingung, sedangkan teman-temanku tertawa semakin jelas. Mereka mengataiku bego, polos, dan tidak peka. Aku segera mengejar Resna yang berjalan ke perpustakaan. Gadis itu sedang mendiamiku walau bunga kamboja masih dia simpan.
Ingatanku akan masa lalu ditarik nyata dari lamunan yang entah berapa lama terjadi. Kutatap pohon kamboja di samping fakultas Ekonomi. Bedanya, kamboja yang ini berwarna merah muda, bukan putih seperti kisahku tadi. Dan yah, semua tak lagi sama. Aku dan Resna resmi memutuskan hubungan setelah lulusan sekolah. Dia mengirimkan aku pesan bahwa ingin melepasku. Awalnya aku tidak mau, tetapi dengan segala alasannya aku pun mengiyakan. Beberapa hari aku termangu, berharap dia hanya bercanda. Sayang, itu bukan candaan. Hingga tahun-tahun berganti begitu cepat dan aku pun berada di semester 5 kuliah.
Usahaku untuk menepis rasa untuknya sedikit goyah ketika diawal memasuki masa kuliah, kami tidak sengaja bertemu. Satu kata yang bisa mewakili suasana di saat pertemuan kami itu adalah kecanggungan, meski banyak sekali orang di sekitar. Ragu kutatap dirinya yang jauh berbeda dari beberapa tahun berlalu. Dia bertambah tinggi dan tetap kalem seperti dulu. Jujur saja, saat itu ingin sekali kusapa. Akan tetapi, hatiku berkata bahwa jangan mendekat jika rasa itu tidak ingin muncul kembali. Ya Tuhan, kenapa aku sulit melupakan Resna dalam waktu yang lama?
Aku menghela nafas panjang. Sebotol teh dingin masih tersisa setengah lagi. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar fakultas yang tidak begitu ramai. Ini hari Kamis, jam kuliahku sudah berakhir di pukul 10 pagi. Ah, memang menyenangkan jadi anak kuliahan. Bisa cepat pulang setelah kelas usai. Ini pemikiran kecilku yang tidak pernah bisa hilang sejak dulu.
“Afriz!” Aku menoleh pada suara lantang yang memanggil namaku. Seorang gadis berhijab coklat muda berlari kecil ke arahku. Kulihat di tangannya sedang menggenggam sebuah tas laptop. “Lili,” balasku spontan. Lili Liana, gadis yang menyukaiku sejak dua tahun lalu. Aku tidak tahu apa yang disukai oleh perempuan ini dariku. Padahal, aku tipe manusia malas bergaul. “Nih, aku balikin laptop kamu. Makasih banyak. Akhirnya, makalahku kelar juga!” serunya begitu girang. Aku menanggapi Lili dengan senyuman senang. Gadis ini kelewat ceria sehingga aku tidak pernah mampu menyadari jika Lili sedang tidak baik-baik saja.
“Kamu mau ngapain setelah ini?” tanyaku. “Apa, ya? Aku laper, sih. Mau nemenin cari makan, nggak?” “Boleh aja. Kelasku juga udah selesai hari ini.” “Aaaa! Gut! Ayo berangkat!”
Aku tertawa kecil mengikuti langkah Lili di belakang. Lili adalah gadisnya yang tulus, walau tidak ada hubungan apa pun di antara kami, tetapi dia tetap baik padaku. Lili putih, itulah dirinya. Dan untuk kenangan kamboja, mungkin kubiarkan menjadi sebuah kisah singkat bahwa hati ini pernah jatuh pada seseorang walau akhirnya tidak bisa bersama hingga detik ini. Semoga aku, Resna, dan Lili bisa menemukan seseorang yang dibutuhkan untuk mengisi hati yang sepi nantinya.
Semoga.
Tamat.
Cerpen Karangan: Meisahfani Blog / Facebook: Meisahfani Perkenalkan, nama saya Meisahfani. Saat ini menetap di Lombok, NTB. Tipe manusia yang biasa di keramaian asal tidak jadi pusat perhatian. Aktif menulis sejak 2018 walau masih amatiran dalam mengupas ide-ide yang berkelebat tanpa undangan. Mungkin ini saja perkenalkan singkat ala saya. Kalau mau lebih kenal bisa kirim pesan ke surel saya: meisahfani30[-at-]mail.com Thanks and see you next time.