“Rara..” Suara itu terdengar tak asing di telingaku. “Devan!” seruku lalu bangkit dari kursi bermotif side chair.
Siang itu aku berada di teras rumah sambil bermain handpone. Dan tiba-tiba sesosok pria dengan hoodie coklatnya berjalan menghampiriku.
Dan gue tahu suara itu, dia sahabat gue Devano, panggil saja Devan. Kami udah sahabatan sejak kecil, bahkan kita tetanggan. Dulu gue sempat naksir sama dia, karena dia adalah satu-satunya cowok yang selalu ada buat gue. Sampai akhirnya dia pindah ke Jepang buat lanjutin kuliahnya disana. Dulu gue ngerasa kehilangan orang paling gue sayang, karena perasaan gue ke dia beda dengan perasaan dia ke gue. Dia cuman nganggep gue sebagai adiknya, sedangkan gue pengen lebih dari itu. Tapi, sekarang perasaan itu perlahan menghilang dengan sendirinya.
“Lo apa kabar?” Dia sontak memelukku, aku langsung menjauh karena sedikit kecewa dengannya yang tak pernah memberi kabar. “Sorry yah, selama gue di Jepang gue nggak pernah ngabarin lo.” Lanjutnya Devan hanya menunduk karena mengakui kesalahannya.
Ia pernah berjanji akan mengabariku selama dia di Jepang. Namun, kenyataanya berbeda dia tak ada kabar, menelepon nggak, pesanku di WA dia pun tak ia balas.
Ia duduk di samping gue dengan wajah yang masih merasa bersalah. “Gue minta maaf yah Ra. Sebenarnya gu-” potong gue sambil mengarahkan telunjukku di depan bibirnya. “Gue emang marah dan kecewa sama lo, tapi gue juga nggak bisa terus-terusan marah. Lo itu udah gue anggep kayak abang gue sendiri.” kataku dengan senyum tipis.
Terlihat dari raut wajah Devan, ia tampak senang lalu mengenggam kedua tanganku. “Beneran, lo udah nggak marah sama gue? Makasih yah!” serunya, tangannya masih setia mengenggam tanganku. “Iya. Btw kok lo tau gue pindah disini?” tanyaku dengan heran. “Apasih yang gue nggak tau dari lo.” ucapnya sambil menaik turunkan alisnya. “Hmm.. mulai deh. Oiyya, lo udah sarjana apa belum?” Tiba-tiba Leon datang dengan laptop yang ada di tangannya. “Gue udah sarjana, lo sendiri gimana?” Baru saja menjawab pertanyaan Devan, langsung dipotong oleh Leon. “Eh.. Devan!” seru Leon seraya menaruh laptop-nya dan ber-tos dengan Devan. “Hy bro, apa kabar?” “Baik, lo sendiri gimana?” “Gue baik kok.” “Owh iyya.. sekarang lo udah stay di Indo, apa balik lagi ke Jepang?” “Gue bakalan stay disini sih.” “Bagus deh, kasian Rara semenjak lo pindah ke Jepang dia jadi galau.” Devan hanya terkekeh bersama Leon, sedangkan gue hanya menatap sinis Leon.
“Tuh kan, dia ngambek. Emang yah Rara itu nggak berubah, suka ngambekan.” ejek Devan tapi gue membalasnya dengan degusan kesal. “Nye… nye… nye…, ledel aja terus.” kesalku lagi.
Tak lama Devan pun mengajakku untuk makan siang di Arborea Cafe. Jaraknya lumayan jauh, kami pergi dengan motor sport milik Devan.
Di perjalanan Devan bercerita tentang dirinya pada saat ia di Jepang. “Ra, lo tau nggak? Waktu gue di Jepang orang yang paling gue kangen itu cuman elo. Dan gue pulang ke Indo cuman demi lo, Ra.” Entah kenapa gue merasa berbunga-bunga ketika Devan berkata seperti itu kepadaku. “Gue juga kangen sama lo, gue kangen masa-masa kecil kita, dan gue kangen banget berantakin rambut lo yang gondrong itu. Tapi, sekarang lo udah nggak gondrong lagi, hmm…” Gue mendegus kesal melihat rambut Devan yang tak gondrong lagi. “Yaudah, demi lo gue nggak bakalan potong rambut gue sampe gondrong, kalo perlu sampe rambut gue panjang kayak rambut Rapunzel nggak bakalan gue potong!” seru Devan diatas motor. “Beneran?” “Yah, enggaklah mana mau gue. Ntar yang ada gue nggak macho lagi.” “Iya-iya.”
Jujur, momen ini yang gue rinduin dari Devan. Bedanya, waktu SMA kami pulang sekolah dengan sepeda miliknya dan sekarang kami naik motor sportnya. Kami saling mengobrol. Dia bertanya gue menjawab. Gue nanya dia jawab. Dia bertanya, gue menjawabnya dengan senang hati. Gue kira, momen ini nggak akan ada lagi.
Sesekali pandangannya menoleh kepadaku di kaca spion. Saat perjalanan berlangsung, gue merasa menjadi Rara kecil lagi. Yang berteriak di motor sambil merentangkan kedua tanganku kesamping. “Gue kangen sama lo, Dev..!!” Gue berteriak dan disambut oleh tawa Devan.
Itu adalah salah satu momen yang gue tunggu-tunggu. Walaupun ada rasa malu berteriak di jalan raya, semua orang di jalanan memandangku. Tapi, gue merasa bodo amat.
“Devan gue mohon jangan tinggalin gue untuk kedua kalinya.” Batinku.
Tamat
Cerpen Karangan: Nurfadilah Blog / Facebook: faDhyla
aku harap kalian suka dengan cerpenku ini Follow ig ku yah @nrfadilah02
Bionarasi: Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu Perkenalkan namaku Nurfadilah. Orang-orang memanggilku Dila. Umurku 15 tahun dan pelajar disekolah SMP 35 Bulukkumba. Aku tinggal di Sulawesi Selatan, kota Bulukkumba desa Benjala. Aku sudah gemar menulis kumpulan Cerpen sejak berusia 10 tahun. Selama pandemik ini waktuku kuhabiskan dengan menulis kumpulan Cerpen. Ayahku bekerja sebagai buruh bangunan dan ibuku menjadi ibu rumah tangga. Aku mempunya 1 kakak perempuan, dan 1 adik perempuan. Sekian terima kasih