Sore itu, sang Surya menebarkan senyumnya, lewat cahaya yang dipancarkan, seolah-olah menyinari sendi-sendi kehidupan dan harapan.
Di tepian bukit aku duduk bersama seorang teman perempuan SMA ku. Di bawah bukit terdapat sungai yang mengalir, arusnya tidak cukup deras dan tidak pula cukup tenang, di depan kami terhampar pemandangan terasering yang indah di perbukitan, dan di bawahnya terdapat hewan-hewan ternak yang digembalakan di padang rumput yang luas. Duh, sungguh menambah hangatnya pertemuanku sore ini.
Aku memiliki janji dengan dirinya, yakni merayakan hari ulang tahunnya yang ke tujuh belas tahun. Aku juga mengundang teman-temannya untuk merayakan hari ulang tahunnya. Ialah Anggun. Gadis desa berparas cantik rupawan, bak bidadari khayangan. Kulitnya putih bersih seperti bayi. Kelopak matanya yang besar beserta bulu mata yang lentik, dan juga alis mata yang tipis. Ia memiliki hidung yang mancung dengan sedikit tumpul di ujungnya, ia juga memiliki bibir yang tipis dan mungil. Rambutnya lurus dan halus, kira-kira panjangnya sedikit melebihi bahu.
Ia seorang perempuan yang banyak disukai oleh kaum adam, khususnya seseorang yang sedang menuliskan tentang dirinya. Aku mengagumi sekaligus mencintai dengan seluruh kekagumanku padanya, seluruh kekurangan dan kelebihannya, seluruh sifat dan kebaikan yang melekat padanya, tak kurang dari sejengkal ataupun sedetik.
“Selamat ulang tahun, ya,” ucapku sambil memberikan senyuman hangat kepadanya. “Terimakasih. Maaf jika sudah merepotkanmu,” jawabnya sambil mengarahkan senyumannya ke wajahku. Deg! Dadaku berdesir tak kuasa menahan rasa bahagia melihat senyum manis dari bibir tipisnya. Seolah-olah waktu berhenti sejenak dan mempersilakan aku menikmati keindahan di depan mata. Dan Tuhan pun seolah berkata kepadaku melalui angin, “Nikmat Tuhanmu mana lagi kah yang ingin kau dustakan?” “Oh, tidak kok. Aku senang melakukan ini untukmu,” rayuku.
“Gimana kuenya, enak?” tanyaku. “Sangat enak dan bentuk kuenya aku juga suka,” jawabnya sambil memakan kue dan memperhatikan kue di sebelah kanannya. “Terimakasih. Kue itu aku pesan di toko pembuat kue terkenal di desaku. Pelanggannya selalu mengantre untuk membeli kue di toko tersebut. Sepulang aku mengambil gaji dari hasil mengajar ngaji di musholla dekat rumahku, aku langsung mengunjungi toko tersebut untuk memesan kue untukmu. Aku memilih rasa yang paling kamu sukai, yakni coklat dengan bentuk bunga. Karena aku tahu kamu suka banget dengan bunga,” jelasku kepadanya. “Kamu pasti sudah mempersiapkan segalanya untukku. Terimakasih atas pengorbananmu,” rayunya sambil mengerlipkan matanya ke wajahku.
Waktu terus berjalan. Perlahan-lahan sang Surya mulai jatuh ke ufuk barat. Superior yang dimilikinya mulai runtuh. Tak abadi. Ia seperti orang tua renta yang tak berdaya, sedang untuk memberi makan dirinya saja sudah tidak sanggup. Namun dibalik kelemahan yang dimiliki oleh sang Surya, ia mempunyai sesuatu yang sakral jika tidak diabadikan dan dinikmati, rumah singgah segala hati yang patah, tempat berpulang para pasangan kekasih, rumah teduh penikmat mahligai cinta, penghapus lara, penyejuk rasa, dan penghantar asa, yakni senja.
Aku mulai mengaktifkan rencana inti yang akan menjadi sejarah sekaligus mengubah tatanan kehidupanku. Aku sudah berlatih sedari rumah untuk mengucapkan kata itu, melawan rasa takut dan bimbang. Takut selalu melahirkan perlawanan, dan perlawananku adalah berhasil mengalahkan kelemahan. Aku sudah cukup yakin dan lancar untuk mengucapkannya. Di dalam jok motor terdapat sekuntum mawar merah yang telah kubawa dari rumah, khusus untuk dirinya. Cukup menegangkan, sih, karena ini kali pertama aku menembak perempuan yang aku cintai. Sebelumnya aku tidak pernah pacaran, berteman dekat dengan perempuan saja aku masih malu-malu. Sungguh beruntung dirimu adalah cinta pertamaku.
Aku memikirkan taktik bagaimana cara aku mengungkapkan perasaanku kepadanya. Otakku berputar 360 derajat. Bunga sudah berada di genggamanku, sengaja aku sembunyikan di balik badanku agar tak terlihat olehnya. Akhirnya aku menemukan satu cara yang cukup gila aku lakukan, berlutut di depannya dan menyodorkan bunga kehadapannya.
“Aku harap ini tidak terlalu cepat dan mengejutkanmu. Saat ini aku ingin mengungkapkan perasaanku yang paling dalam kepadamu. Setelah sekian lama bersama, aku ingin kita tak hanya sekedar sebagai teman, akan tetapi kita berdua menjadi sepasang kekasih. Apakah kamu mau menjadi kekasihku?” ucapku penuh sesak. Dadaku berdegup dengan kencang. Pola irama desiran darah tak bisa diajak kompromi. Jantungku semakin lelah memompa. Berjuta-juta darah dialiri dari ujung rambut hingga ke ujung kuku.
Sabar, bertahanlah, ini akan berakhir, hal-hal tersulitku akan berlalu dengan kebahagian yang aku dapat hari ini. Sudah lima bulan aku menunggu saat-saat seperti ini. Ini momen bersejerah dalah hidupku. Aku tidak sendirian, teman-temanku bersahut-sahutan mendukungku.
“Terima, terima, terima …,” ucap mereka penuh semangat. Dia terlihat gugup, dan cantik. Astaga… dia gugup saja cantik apalagi tersenyum. “Maaf, belum bisa, maafkan aku,” jawabnya sambil memasang muka melas. Deg! Keadaan sekitar tiba-tiba menjadi hening. Temanku diam. Aku juga diam. Burung dan tanaman pun juga diam. Apa yang baru saja diucapnya? Aku tidak salah dengar, bukan? Kenapa tanganku tiba-tiba begitu lemas. Mataku juga begitu terlihat sembap. Ada apa dengan diriku. Kenapa aku begitu lemah dengan kata penolakan. Bukankah aku juga ditolak dua bulan yang lalu, walau ditolak melalui percakapan di whatsapp dan aku masih memberanikan diri untuk menembaknya?
Aku bangkit, dan kembali menyimpan bunga di balik badanku. Aku sedikit merubah posisi berdiriku menghadap terasering yang indah di perbukitan dan melihat-lihat hewan ternak yang sedang digembalakan. Aku jadi teringat dengan pesannya beberapa bulan lalu, “Kamu pernah mendengar cinta tidak harus memiliki?” tanyanya melalui percakapan di whatsapp. “Tidak. Emang kenapa?” jawabku sambil mengernyitkan dahi penuh tanya. “Tidak apa-apa!” balasnya. Aku pikir itu adalah sekedar pertanyaan. Tetapi aku salah, ternyata itu adalah sebuah kenyataan.
Sayup-sayup terdengar suara gadis memanggil, ternyata Anggun. Ya, gadis yang baru saja menolakku. Cinta pertamaku yang tidak jadi. Aku sedikit merubah posisiku menghadap kepadanya. “Maaf, yah. Aku belum bisa,” melasnya. Aku masih terdiam. “Tapi aku mohon jangan tinggalkan aku!” ucapnya sambil memegang tanganku. Aku bingung mau jawab apa. Pergulatan antara cinta dan kesal masih belum terselesaikan. Seperti minyak yang tidak pernah bersatu dengan air. Aku mohon jangan menambah kepusinganku dengan keadaan yang kau ciptakan. Kau menolakku, tapi kau memintaku untuk menetap. Adakah yang lebih kejam dari itu?
Segera aku melepas genggamannya. Hatiku masih berkecamuk, aku masih belum bisa berpikir dengan jernih, sekujur tubuhku lemah dan tak berdaya. Dihadapan sang Surya yang mulai meninggalkan bercak cahaya, aku berdoa kepada Tuhan semoga senantiasa memberikanku kekuatan jiwa dan raga yang kuat untuk mempersiapkan penolakan-penolakan selanjutnya. Aku menyerahkan bunga mawar kepadanya, ambil kunci motor di dalam saku celana sebelah kiri, hidupkan motor, dan aku antar pulang.
Hari itu adalah hari yang penuh dengan peristiwa sembilu. Rasa malu dan kecewa bersatu di dalam jiwaku, meronta-ronta tanpa mengenal lelahnya. Keputusan untuk pulang ke rumah adalah alasan yang kuambil secara terburu-buru atau alasan yang tepat kuambil. Ah sudahlah, aku tidak mengerti. Setidaknya aku tidak menanggung malu di hadapan sang Surya yang hampir meninggalkan bercak cahayanya.
Cerpen Karangan: Andika Chosy Pratama Blog / Facebook: Andika Chosy P Seorang Laki-laki Yang Tabah dan Penggiat Komunitas Literasi Kembul.id