Sore itu, tepat pukul 14.00 Rian datang ke rumahku. Baju merah dengan setelan jeans itu nampak sangat cocok dipakainya. Rasa senang di hatiku tak bisa padam, aku hanya bisa tersenyum memandangnya, tatapan itu seakan tak bisa lepas dari pikiranku.
”Na, kok diam saja?”, Rian bertanya kepadaku yang masih terpaku menatapnya. ”Eh, nggak apa-apa kok”, balasku asal. Kami berbincang cukup lama, tak terasa jam dinding begitu cepat melangkahkan jarumnya, yang membuat Rian berpamitan untuk pulang.
Sampai saat itu, Rian tak lagi ada kabar hingga aku kembali ke penjara suci ini. Sama seperti dulu, saat kita masih bersama duduk di bangku SMP. Yang bisa aku lakukan hanya memandangnya dengan terpaku, bahkan aku hanya bisa menyapanya dengan sebutan namanya dan Rian membalas tanpa ada sedikitpun celah untuk membalas tatapanku.
Dulu hari yang kutakutkan benar-benar terjadi, saat perpisahan sekolah dan aku kehilangan jejak Rian pada saat itu. Satu tahun lamanya aku sudah menghapusnya dari memori otakku.
Sejenak terlintas di benakku saat aku menjabat tangannya, saat Rian melangkah masuk ke rumahku, dan saat ia menannyakan kabarku. Aku berpikir apakah mungkin perasaan yang telah lama hilang itu kini kembali lagi, jika memang begitu apakah nantinya Ia mau menerima hatiku?
Aku masih ragu, karena di luar sana banyak yang jauh lebih baik daripada aku yang hanya terkunci di balik pilar penjara suci ini. Aku termenung menatap gedung kampus PETRA yang menjulang tinggi itu sampai terlihat dari lantai 3 pesantren yang kupijaki ini.
Mata pelajaran hari ini adalah TIK, di sini mata pelajaran ini memang dewanya mata pelajaran, karena para santri bisa menggunakan MEDSOS setelah usai belajar selama 15 menit. Segera kubuka Fbku, banyak sekali pesan dan mataku tertuju pada salah satu nama di situs pesanku “Febrian Rian”. Dengan hati yang berdetak ini kuarahkan kursor mous tepat di nama itu lalu tekan klik.
”Assalamualaikum Afna, bagaimana kabarnya?” tulisnya di kolom pesan tersebut ”waalaimussalam Rian, kabarku baik” ku balas pesan tersebut. Ternyata terdapat titik berwarna hijau di samping namanya dan itu artinya ia sedang Online. Seketika itu langung ada pesan masuk di Fb.
Rian: ”Semoga sehat selalu ya di sana, dan tetap semangat belajarnya ya?”. Aku: “Iya, makasih udah nyemangatin”. Rian: “Oh iya, liburan kapan, masih lama ya?” Aku: “4 bulan lagi libur kenaikan kelas, kenapa emang?” Rian: “kalau ada waktu luang mungkin kita bisa keluar bareng”. Aku terpaku sejenak, firasatku tentangnya semakin kuat. Setelah itu kuketik di kolom pesan Fb. Aku: “Maybe”. Rian: “Ok. Kalau boleh minta nomor ponselmu, soalnya kemarin aku telepon ternyata yang angkat kakak kamu”. Aku: “Iya, maaf soalnya di sini dilarang bawa ponsel, bisa kalau hari minggu saja”.
Selagi menunggu balasan pesan dari Rian, ternyata waktu tak berpihak padaku, sudah waktunya untuk pergantian pelajaran. Kututup Facebook tanpa membuka balasan pesan darinya.
Waktu terus berlalu Rian selalu memberi kabar kepadaku lewat pesan fb, karena keterbatasan penggunaan gaget dan juga sangat dilarang keras memakainya di hari aktif. Aku mengemasi barag-barang yang sekiranya diperlukan untuk digunakan di rumah. Tak sabar ingin cepat-cepat sampai di rumah dan mengambil ponsel yang sudah terkurung di laci selama berbulan-bulan.
Sesampainya di rumah kubuka benda persegi panjang yang mengeluarkan cahaya seketika kutekan salah satu tombolnya. Kubuka salah satu aplikasi yang sekarang ini masih tenar digunakan. “Ping” Kuketik dan kutekan tombol send di situs BBMku. Lama sekali kumainkan benda itu dengan jemariku, dan kemudian Drrrr drrrrttt terdengar benda itu bergetar dan segera kubuka notif yang tiba-tiba muncul di layarnya.
“Iya Afna. Sudah pulang kah?” Rian membalas pesanku “Sudah”, balasku singkat. “Besok jadi keluar kan?” balasnya lagi. “Iya, habis magrib ya ku tunggu”, balasku. “Siap”. balasan pesan dari Rian yang hanya kutatap tanpa kubalas lagi
Awan malam ini tampak berwarna kelabu, jalan yang kulalui begitu mulus tanpa ada lubang sedikitpun, cahaya lampu sangat elok menerangi membuat cantik jalanan yang kulewati meskipun sesekali ada kepulan asap dari kendaraan yang memadati kota ini. Aku duduk sembari memegangi pundak Rian, karena Vixionnya yang melaju cukup kencang membuat kerudungku tersibak terkena angin.
Tiba-tiba rintik hujan berjatuhan membasahi seluruh kota termasuk aku dan Rian yang saat itu berada di tengah perjalanan. Rian lantas membelokkan Vixionnya ke sebuah Indomaret SPBU yang memungkinkan kami untuk berteduh sementara. “Ini pakai”, Ucap Rian sembari memakaikan jaket jeans nya kepadaku, menutupi lengan dan punggung yang basah terkena air hujan. “Nggak usah, pakai aja, dingin”. titahku sembari melepas jaket dan menyodorkannya ke Rian yang saat itu hanya memakai kaos lengan pendek. “Yang basah Kamu yang kedinginan aku”, kata Rian tersenyum menyindirku. Aku tak bisa berkata-kata, kupakai jaket jeans warna abu-abu kehitaman itu dan duduk di teras licin minimarket tersebut sembari makan makanan ringan yang telah dibeli Rian. Sembari menunggu hujan mereda sekitar 30 menit lamanya, kami hanya terdiam di tengah derasnya hujan.
Setelah hujan reda, kami melanjutkan perjalanan. Vixion Rian berjalan cukup jauh menjajaki jalanan yang licin dan basah terkena air hujan, sampai kedua mataku tertuju pada sebuah tulisan GKB yang berwarna warni itu. Kini kami tiba di sebuah angkringan kemudian memesan camilan dan minuman.
“Gimana?“ Rian membuka pembicaraan. “Apanya?” tanyaku. Perbincangan di antara kami begitu kaku, bahkan membuat suasana begitu hening di tengah keramaian taman ini, dan tiba-tiba “Mungkin kita bisa menjadi lebih dari sekedar teman”, katanya. Deg… hatiku berdegup kencang bahkan tenggorokanku terasa sulit untuk menelan sesendok es cendol yang berada di dalam mulutku.
“Maksudnya?” tanyaku dengan hati-hati. “Aku mau hubungan kita lebih dari sekedar teman bahkan sahabat”, jelas Rian. “Tapi Rian, aku berbeda dengan mereka yang ada di luar sana yang jauh lebih baik daripada aku”, jawabku merendahkan diri. “Tapi sudah kupikirkan Afna, Aku tidak apa-apa kalau nantinya kita jarang untuk berkomunikasi”, jawab Rian sembari menatapku. ”Apa kamu tidak takut, kalau nantinya aku tidak bisa pegang prinsip dan mungkin aku tertarik sama laki-laki di pesantren?” jawabku mencoba membujuknya. “Aku hanya punya satu prinsip yaitu percaya, meskipun aku tidak tahu kamu nantinya jika di pondok ada laki-laki yang kamu miliki, tapi aku tetap percaya bahwa aku yang kamu miliki” jawabnya meyakinkanku. “Beri aku waktu dulu Rian”, pintaku.
Sepulang dari taman aku hanya termangu memikirkan perkataan Rian tadi, hati ini begitu bimbang dan takut akan keadaan yang sekarang ini terjadi. Kami berdua sangat jauh ditinjau dari jarak rumah pun masih jauh, tapi perasaan ini tak bisa dielakkan. Setelah pertemuan itu, kami tak lagi saling bertukar kabar beberapa hari hingga tinggalah satu hari liburan ini usai.
Drrrt drrrt, segera kuambil ponsel yang tergeletak di atas meja warna hijau sebelah tv. ternyata BBM masuk dari Rian Rian: ”Gimana?” Aku: “Iya” Kutekan tombol send pada kolom BBM, dengan senyum-senyum sendiri, merebahkan tubuh di atas kasur yang empuk saking senangnya perasaanku 3 tahun terakhir ini telah terbalas. Pikiranku terbang melayang membayangkan saat bagaimana aku merasakan perasaan ini untuk pertma kalinya terhadapmu, di kantin sekolah, di angkot, di ruang guru, di rumah, dan di taman dua hari lalu.
Aku sadar, jika ditinjau dari jarak Aku dan Rian sangatlah jauh tapi di belakang adakalanya jarak itu menjadi sangat dekat, sedekat kuku dengan ujung jari. Walaupun kita telah berpisah satu sama lain, namun jarak tetap menyatukan kita kembali.
Cerpen Karangan: Diana Fitri Wulandari Blog / Facebook: Diana Dhind
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 8 Mei 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com Maaf kakak sempet off beberapa hari karena harus bolak balik ICU, ada anggota keluarga yang sakit meski pada akhirnya harus berpulang… stay safe ya guys!