Namaku Sera, aku duduk di bangku kelas satu SMA. Aku memiliki kisah yang paling dramatis, dimana kisahnya, aku menolak cinta seorang kakak kelas tetapi kini aku merasa galau.
Di waktu senja menjelang, langit di ufuk barat seolah menjemput matahari, mengganti hari menjadi gelap. Disaat itu aku merasa sedih, aku duduk di tepian sungai, memandangi ikan-ikan yang berenang kesana kemari menunjukkan kelincahan geraknya.
Aku mengingat seseorang sore itu, seseorang yang telah menjadi cinta pertamaku, ia bernama Rio, siswa populer di sekolah yang duduk di bangku kelas dua SMA. Sesal hatiku telah menolak cintanya satu minggu yang lalu, sebab kini Rio telah berubah. Ia semakin hari semakin terlihat tampan, anehnya setiap bertemu denganku atau hanya berpapasan, Rio selalu menunjukkan senyumannya. Bukankah aku telah menolaknya, seharusnya ia sekarang mengabaikanku?
Suatu hari di sekolah, aku sengaja ingin melihatnya, aku merindukan wajah tampannya. Rasanya setiap saat aku ingin melihat senyumannya. Aku menyadari, ternyata aku sekarang mencintainya. Tetapi bagaimana bisa aku menolaknya seminggu yang lalu, sungguh keputusan yang sangat bodoh, bukan?
Aku berjalan menyusuri koridor, tanpa sengaja aku melihatnya bersama Fiera, kebetulan Fiera sekelas dengan Rio. Hatiku berdebar, rasanya bagai tersayat pisau saat melihat Rio tertawa bersama Fiera di depan perpustakaan sambil mereka memegang buku di tangannya masing-masing. Aku baru merasakan sakit di hatiku pertama kali, air mataku tidak dapat dibendung lagi di kala mengingat tawa bahagianya bersama Fiera, hatiku terasa tersayat.
Aku berbalik pergi saat Rio sedang bersama dengan Fiera, aku tidak sanggup melihatnya. Meskipun kelasku berada di bagian ujung perpustakaan, aku rela mencari jalan pintas bahkan dari belakang sekolah sekalipun.
Entah perasaan macam apa ini, aku selalu merasa gugup berhadapan dengannya, tetapi saat melihatnya bersama orang lain terutama Fiera, hatiku sangat sakit. Fiera memiliki wajah yang cantik, sedangkan aku! Aku hanya memiliki wajah pas-pasan. Tidak cantik tapi tidak juga jelek.
Aku menjadi perempuan yang aneh, aku menangis ketika melihat Rio bersama Fiera, belum lagi setiap hari pikiranku selalu kacau, aku selalu berkhayal waktu bisa terulang kembali dan aku akan mengubah keputusanku saat Rio menembakku, aku akan menerima cintanya. Tapi semuanya hanya ilusi belaka, kenyataannya setiap hari aku memerhatikan Rio tersenyum bahagia bersama teman laki-lakinya, namun entah mengapa setiap waktu selalu ada Fiera hadir di situ.
Menjelang kenaikan kelas, aku mendengar suara gaduh yang bersumber dari dalam perpustakaan. Aku bertanya kepada temanku Sarah yang kebetulan datang dari perpustakaan. “Sar, ada apa sih ribut-ribut disana, perkelahian ya?” Tanyaku sambil sesekali melirik ke arah sumber suara. “Yah kamu nggak tau. Itu loh, si Rio sama si Fiera kepergok sedang ngomong gitu, tentang cinta-cintaan. Makanya ada yang tahu terus ngdukung mereka buat pacaran, eh ternyata Rio malah diam.” Papar Sarah, aku hanya mengangguk saja tidak ingin menanggapi yang lain-lain.
“Ayo Ser kita ikut nimbrung daripada kamu baca buku terus di kelas. Sekali-sekali lah nurut sama aku. Kita kesana dan dukung mereka biar cepat pacaran, mereka cocok loh!” Tutur Sarah padaku, ia tidak tahu jantungku sedari tadi berdebar tidak karuan, telapak tanganku bisa dipastikan sangat dingin karena perasaan gila yang pertama kali aku rasakan, aku cemburu berlebihan padahal Rio bukan siapa-siapa aku. “A-aku masih ada urusan. Aku pergi dulu.” Ucapku sedikit terbata sembari melepas genggaman tangan Sarah di tanganku. Aku berlari ke toilet putri dengan perasaan yang sangat hancur. Aku tahu pasti Sarah heran tingkahku, dia belum tahu apa yang aku rasakan.
Aku menangis sejadi-jadinya di toilet mencurahkan rasa sedih dan sakitku. Oh, memang cinta pertama membuatku menjadi orang yang aneh, otakku tidak hentinya mengingat momen Rio dan Fiera yang pernah aku lihat beberapa hari yang lalu. Semakin sakit hatiku semakin banyak berderai air mata sampai aku sesegukkan dan mataku tentu bengkak.
Setelah sekian lamanya aku berada di toilet menghabiskan waktuku untuk menangis, kini aku sudah berada di dalam kelas, aku tidak peduli dengan orang disekitarku. Beruntung mereka juga tidak terlalu ingin tahu apa yang terjadi kepadaku sehingga mataku bengkak.
Kali ini aku mengambil kertas untuk menulis surat, aku mencurahkan isi hatiku disana, emosiku memuncak sehingga aku tidak tahu langkah yang kuambil saat ini benar atau salah. Aku menulis surat untuk Rio.
Rio maafkan aku seminggu yang telah berlalu, aku menolakmu secara mentah-mentah. Aku bahkan tidak berfikir terlebih dahulu untuk mempertimbangkannya. Rio, asal kamu tahu saat ini hatiku bergejolak, aku selalu merasa sakit hati melihat kamu bersama Fiera. Andai waktu bisa diurungkan kembali dan aku dapat mengubah keputusan, mungkin aku tidak akan merasakan sesakit ini. Semoga kamu bahagia Rio. Maafkan aku.
Itulah isi surat tergila yang pernah aku tulis seumur hidupku. Aku juga melakukan hal yang konyol kali ini, aku menyelinap masuk ke dalam kelas Rio untuk meletakkan surat yang aku tulis di tas Rio, kala itu kelas sedang sepi karena semua siswa menikmati waktu istirahat kantin sekolah.
“Hei, ngapain kamu disini. Apa kamu mencuri?” Tidak kusangka, setelah aku berhasil memasukkan surat ke dalam tas Rio, seorang siswa datang memergoki gelagatku, ia mengira aku mencuri! “Ti-tidak.” Ucapku jujur, memang aku tidak bermaksud melakukan hal tidak terpuji itu, tetapi aku hanya bertujuan untuk memasukkan surat yang sudah kutulis untuk Rio ke dalam tasnya.
Karena suara teriakan siswa yang memergokiku tadi begitu keras, semua siswa masuk dan melihat apa yang terjadi di ruangan tempatku berada. Aku menunduk malu, mataku melihat sendiri dari antara mereka ada Rio disana. Malah, aku masih diam di tempat, aku berdiri mematung di dekat kursi dan tas milik Rio.
“Dia sepertinya mencuri, ayo cek sekarang tas kalian semua!” Ucap siswa yang memergokiku tadi, semua orang melakukan apa yang diucapkannya termasuk Rio. Rio membuka dan mengecek tasnya seperti yang sudah dilakukan siswa lain di kelas itu. Semua orang mengaku tidak kehilangan apa-apa, memang benar kok, aku tidak mengambil apapun. Sementara yang terjadi dengan Rio. Rio menemukan lipatan kertas yang merupakan surat yang aku tulis tadi. Betapa malunya aku, aku berdiri tepat disamping Rio dan semua orang melihat Rio dengan saksama. Mereka ingin tahu mengenai kertas putih yang dipegang Rio. Oh tidak! Rio membukanya dan membaca semuanya, meskipun ia tidak membacanya hanya didalam hati, jelas aku tahu. Rasa malu yang aku alami hari ini berlipat ganda.
“Apa isinya. Apa itu surat teror?” Tanya seorang siswi kepada Rio yang selesai membaca suratku. Anehnya Rio tidak menunjukkan reaksi apa-apa, tatapannya dingin seolah mengatakan jika kehadiran surat yang telah ia baca biasa-biasa saja, tidak bermakna apa-apa. “Bukan, ini hanya surat permintaan maaf.” Ucapnya kepada orang banyak yang sudah berdiri didepan dengan penuh tanda tanya. “Hah? Maaf untuk apa. Berani sekali dia mencari masalah dengan pangeran sekolah.” Ucap salah satu siswi sambil menatapku dengan tatapan permusuhan. Disini aku merasa sangat malu, mukaku mau ditaruh dimana coba? Sudah seperti udang direbus
“Karna dia pernah menolak cintaku.” Tidak kusangka Rio mengatakannya kepada orang banyak seraya menengok ke arahku dengan tatapan dingin. “Huu … sepertinya menyesal nih, mau minta diterima lagi. Jangan Rio, terlalu bego.” Ucap salah satu siswi dan orangnya masih sama, yang menjawab sebelumnya.
Tiba-tiba datang Fiera lalu berdiri di samping Rio, memegang lengan Rio dengan posesif. “Rio. Apa kamu akan berbaikan dengannya. Rio jawab!” Ucap Fiera sedikit berbisik tetapi aku bisa mendengarnya. Aku sudah sangat mati malu, terpaksa aku melangkahkan kakiku yang sudah lama terpaku di ruangan itu. Mukaku sudah memerah, aku tidak menyangka akhirnya akan seperti ini. Aku tidak peduli lagi, aku harus berlari sekuat mungkin menerobos keramaian di depanku. Sayangnya, tanganku ditarik kembali.
“Aku akan mengatakan kepada kalian semua. Aku menerima maafnya Sera, karena memang aku menunggunya sejak lama.” Ucapan Rio seakan menjadi suprise, bahkan aku merasa sedang bermimpi. Aku memerhatikannya, juga melihat sekeliling, semua orang menganga lebar. Fiera yang tadinya memegang lengan Rio dengan posesif perlahan melonggarkan gengamannya lalu melepaskannya dengan penuh terkejut. Ia berlari keluar menggantikan posisiku yang seharusnya.
Kini tatapanku beralih kepada Rio yang mulai tersenyum kepadaku. Aku tidak menyangka ujung dari kejadian ini. Aku diam terpaku menatap wajah tampannya.
“Terimakasih. Mulai sekarang kamu menjadi pacarku.” Usai mengucapkan itu Rio mencium pipiku tanpa permisi disusul sebuah pelukan. Aku hanya terkejut dan terdiam dengan sikapnya, aku masih belum percaya dengan kejadian hari ini. Meskipun ia mengatakan aku menjadi pacarnya dan aku belum menjawab, ya sudah aku menerima semuanya dan kembali memeluknya.
Semua orang bersorak histeris, mereka terbawa perasaan menyaksikan adegan kami sebagai tontonan mereka. Sekarang aku merasa sangat senang, aku tidak pernah sedih dan galau lagi setelah perasaan ini terungkap. Aku dan Rio resmi berpacaran.
Sekian kisah cinta pertamaku. Cinta pertama memang membuatku galau berat, karena disitulah pengalaman pertama aku merasakan cemburu dan ingin memiliki seseorang sampai aku harus mengalami kegalauan.
Cerpen Karangan: Galgani Blog / Facebook: Marlita Galgani Ins: marlita_0902 Ins: Marlita Galgani Info lain: Penulis Novel Online