Seperti namanya, hari Kamis, cukup memberiku kenangan manis, di mana pada hari itu aku pertama kali merasakan getaran hebat di jantungku, tepat saat aku melihatnya. Entah itu getaran apa, aku tidak tahu. Namun, Sejak saat itu wajahnya, senyumnya dan semua yang ada pada dirinya, selalu mengganggu pikiranku.
Hari itu, pagi begitu cerah. Mentari pagi menyapaku dengan indah bersamaan dengan angin sepoi-sepoi yang berembus memberi kesejukan. Aku berdiri di depan rumah. Rumah yang baru saja dua hari kutempati. Semenjak Ayahku yang notabene seorang prajurit TNI berpindah tugas ke kota ini, aku dan keluargaku pun terpaksa harus mengikuti Ayah.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling komplek perumahan. Keadaannya tampak masih sepi, hanya ada beberapa orang yang terlihat tengah sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Tanpa disadari aku sedikit termangu, ketika sosok pemuda yang tengah mengayuh sepeda ontelnya melintas di depanku. Tiba-tiba dunia seakan terhenti begitu cepat.
Wajahnya membuatku terperangah. Aku seakan-akan terbius akan pesonanya. Pesona seorang pemuda berseragam putih abu-abu. Dia memang tidak sempurna, tetapi nyaris. Aku belum ingin mengakhiri tatapanku, sebelum ia enyah dari penglihatanku. Seketika aku menerbitkan senyuman untuk dia yang belum kuketahui namanya.
“Renjana!”
Panggilan dari ibu cukup membuatku terkesiap dan membuyarkan lamunanku. Dengan sedikit tergesa, aku masuk ke dalam rumah untuk menghampiri ibuku. Kulihat ibu tengah sibuk menyiapkan sarapan di dapur.
“Ayo, segera siap-siap! hari ini, hari pertama kamu sekolah, Sayang!” perintah ibu.
Tubuhku seakan melemas saat mendengar kata sekolah. Aku bukanlah orang yang mudah bergaul dan beradaptasi di tempat yang baru, dengan orang-orang baru. Bagaimana jika aku tidak memiliki teman di sekolah baruku nanti? Namun, apa yang bisa kuperbuat selain menuruti perintah ibu.
Dengan langkah yang sedikit malas, aku berjalan menaiki anak tangga menuju kamar. Setelah semuanya selesai, aku kembali ke meja makan. Tampak ayah dan kak Banyu telah duduk di sana, menungguku untuk sarapan. Kami pun melakukan sarapan bersama, tak terkecuali ibu.
Setibanya di sekolah, aku berjalan menuju kelas X-3, diantar oleh salah satu guru di sekolah itu, namanya bu Mita. Keadaan sekolah sudah sangat sepi, tanda kegiatan belajar akan segera dimulai.
Aku dan bu Mita berjalan melewati koridor sekolah. Seketika aku terkejut saat melihat sosok pemuda itu lagi. Dia baru saja keluar dari kelas dengan setumpukkan buku yang dibawanya, entah mau kemana. Pemuda itu tampak menerbitkan senyuman di wajahnya dan menyapa bu Mita. Pemuda yang tadi pagi membuatku terbius akan pesonanya, ternyata kami satu sekolah. Sungguh itu membuatku sangat senang.
Senyumannya. Ah, seakan menjadi pemandangan terindah di sekolah ini. Aku mendongakkan kepala, melihat nama kelas yang terpampang jelas di atas pintu kelas itu. Kelas XII IPA-1, Sudah dapat kupastikan bahwa dia adalah senior di sekolahku.
Hari berganti hari. Seminggu telah kulewati, sebagai siswa baru di sekolah itu. Semakin lama, semakin banyak pula informasi yang kudapatkan tentangnya. Namanya adalah Kala. Hanya Kala, tidak ada kepanjangan ataupun marga yang mengikutinya. Informasi lainnya adalah tentang dia yang tercatat sebagai siswa berprestasi di sekolah, juga tentang dia yang jago bermain basket.
Dari kejauhan, aku selalu memperhatikannya, ketika dia tengah berjalan, mengobrol, juga ketika dia bermain basket. Sungguh menjadi pemandangan baru yang mengesankan bagiku. Entah kenapa jantung ini selalu berdebar, ketika melihat wajah dan juga senyumnya, seolah-olah ada kebahagiaan tersendiri saat aku melihatnya.
Pada suatu hari, aku terkena masalah di sekolah karena nilai ulangan pelajaran matematikaku yang di bawah standar sehingga diminta untuk remedial. Betapa frustrasinya aku saat itu. Pelajaran itu adalah salah satu dari sekian mata pelajaran yang paling aku benci. Aku benar-benar lemah pada pelajaran tersebut.
Aku pergi ke taman belakang untuk mencari tempat yang nyaman dalam mempelajari materi matematika. Ditengah-tengah kegiatanku mengelilingi taman, tiba-tiba aku menemukan sebuah kursi taman yang cukup jauh dari keramaian. Tepatnya, di bawah pohon rindang. Kupikir tempat itu sangat tepat untukku belajar. Tanpa menunggu komando, aku segera menghapiri kursi itu dan mulai membuka kembali hasil ulanganku.
Aku semakin frustrasi, setelah mempelajari materi itu berulang kali dengan hasil yang nihil. Entah harus memulai dari mana dan bagaimana caranya agar aku bisa dengan mudah memahami materi tersebut. Aku kesal dengan diriku sendiri. Pada akhirnya, aku mencorat-coret buku catatanku, setelah berulang kali gagal dalam memecahkan satu rumus trigonometri. Hingga tiba-tiba suara seseorang menghentikan kegiatanku.
“Ada yang bisa kubantu?” tanyanya. Aku mendongakkan kepala, menatap ke sumber suara. Lagi-lagi pemuda itu. Aku terkejut, tiba-tiba dia sudah berdiri di depanku. Ya, dia adalah Kala. Betapa senangnya aku saat dia melemparkan senyumnya kepadaku dan itu membuatku terpaku beberapa saat.
“Ehem!” Seketika suaranya membuatku terkesiap. Berulang kali aku mengerjapkan mata sehingga membuatnya terkekeh menahan tawa. Ah, kenapa aku harus segugup itu? Pikirku. Aku mengalihkan kembali pandanganku ke arah buku catatan yang telah penuh dengan coretan tinta hitam.
“Ada masalah?” tanyanya lagi, seolah dia mengetahui masalah yang tengah kuhadapi. Dengan sedikit ragu aku memberanikan diri untuk membuka mulut. “Aku … aku … aku tidak memahami rumus ini,” lirihku gugup seraya menunjukkan buku modul matematika ke hadapannya.
Dia hanya tersenyum seraya mendudukkan tubuhnya di sampingku. Dalam hitungan detik, suara detak jantungku terdengar begitu nyaring oleh telingaku sendiri. Aku memperhatikannya, ternyata wajahnya lebih tampan, ketika dilihat dari samping.
Dia mengambil alih buku catatanku dan kau tahu apa yang terjadi? Dia mengajariku hingga aku dapat memahami rumus yang sebelumnya sangat sulit untuk kupecahkan. Dari situlah kisah kami dimulai. Aku dan dia memiliki kedekatan, hingga kami menjadi sepasang sahabat. Dia selalu membantuku, ketika aku membutuhkan bantuannya, dan tempat itu menjadi tempat favorit kami berdua.
Semakin sering berada di dekatnya, aku pun semakin kuat mengaguminya. Hingga pada akhirnya, aku memahami akan arti getaran di jantungku. Ya, itu adalah getaran cinta. Perhatian yang dia berikan, membuatku merasa makin yakin bahwa aku jatuh cinta bukan pada orang yang salah. Namun, aku tidak mempunyai keberanian untuk mengungkapkan perasaan itu, hingga aku memilih untuk memendamnya sendiri.
Hampir satu tahun aku memendam perasaan itu sendiri. Aku merasa, semakin lama aku semakin tidak kuasa untuk menahannya. Ada hasrat yang membuncah seolah ingin dia mengetahui akan perasaanku yang sebenarnya. Hingga pada suatu hari, tepat di hari kelulusannya, aku memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaan itu kepadanya.
Berhari-hari aku mengumpulkan segenap keberanian itu, hingga tiba pada waktunya, tepat di tempat yang selama ini menjadi tempat favorit kami, aku mulai mengungkapkan perasaanku sebelum perpisahan itu terjadi. Berharap dia akan memiliki perasaan yang sama terhadapku.
Aku menghela napas panjang sembari menatapnya. “Kak, aku tahu ini terlalu lancang untuk aku mengungkapkannya. Namun, sebelum kita berpisah, kurasa aku harus mengungkakan tentang perasaan ini kepadamu. Perasaan yang selama ini selalu membuat jantungku berdebar dan selalu mengganggu pikiranku,” ucapku sedikit memberi jeda akan perkataan selanjutnya.
“Awalnya aku tidak mengerti tentang perasaan ini. Perasaan yang muncul tiba-tiba sejak pertama kali aku melihatmu. Kukira ini hanyalah perasaan kagumku terhadapmu, ternyata aku salah. Semakin lama aku semakin memahami bahwa aku memiliki perasaan lebih terhadapmu. Bukan hanya sekadar kagum, melainkan lebih dari itu. Kedekatan kita selama ini semakin memperkuat perasaanku, tetapi aku tidak memiliki nyali untuk mengungkapkannya. Baru hari ini aku mendapatkan kekuatan itu dan berani mengungkapkan ini semua kepadamu,” lanjutku panjang lebar.
“Sebelum kita berpisah, aku hanya ingin tahu tentang perasaanmu terhadapku. Apakah Kakak memiliki perasaan yang sama seperti yang kurasakan?” tanyaku dengan segenap rasa penasaranku.
Aku masih menatapnya, menunggu jawaban yang keluar dari mulutya. Dia tampak memberikan tatapan sayu kepadaku, seolah ada keraguan di dalam dirinya untuk memberikan jawaban akan pertanyaanku.
“Renjana,” panggilnya lirih. “Aku tidak tahu harus berkata apa.” Ia terdiam sejenak. “Kamu harus tahu bahwa aku sudah menganggapmu seperti adikku sendiri dan aku harap itu tidak akan berubah,” jelasnya.
Dengan mata yang mulai berkaca-kaca, bibir mulai bergetar merasakan rasa sakit yang seketika menghujam jantungku. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi, yang kutahu jawabannya sangatlah menyakitiku. Sangat, sangat menyakitiku.
“Renjana, maaf,” lirihnya memelas. Sekuat mungkin aku berusaha menanggapinya. “Ya, aku mengerti,” ucapku sedikit bergetar. Tanpa kusadari, akhirnya air mata mulai luruh membanjiri pipiku. “Jawabanmu cukup jelas. Terima kasih untuk kebaikanmu selama ini dan selamat atas kelulusanmu, aku pamit!” imbuhku. Secepat kilat aku berlari dari hadapannya dengan membawa rasa sakit yang terlanjur menusuk hati. Namun, kendatipun begitu aku tetap membiarkan rasa ini mengalir seperti air hingga pada akhirnya akan mengering dengan sendirinya.
Paling tidak aku sudah lebih tenang karena sudah mengungkapkan perasaan yang selama ini membuatku gelisah dan aku yakin bahwa semua akan indah pada waktunya.
Aku tidak perlu berlarut dalam kesedihan karena tidak bisa memiliki apa yang aku inginkan. Sejatinya, itu adalah yang terbaik untukku dan aku yakin Tuhan telah menyiapkan seseorang yang jauh lebih dari sekadar yang kuinginkan.
Cerpen Karangan: Pena Batik Blog: authorreceh.blogspot.com
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 23 Juli 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com