Kau seperti burung. Jika kudekati kau selalu terbang. Namun, jika tak kudekati … hatiku tak akan pernah tenang.
Kata orang, masa SMA itu masa terindah sepanjang masa. Duh, apa mereka tidak pernah merasakan bagaimana sakitnya ditolak oleh cinta pertama? Rasanya menyakitkan sekali tahu. Awal mula masa SMA yang indah berwarna-warni malah menjadi gelap gulita.
Setidaknya itulah yang Nasya rasakan. Baru pertama kali ia merasakan jatuh cinta, tapi pertama kali juga cintanya ditolak mentah-mentah dengan begitu kejamnya.
Laki-laki jahat itu adalah Angkasa. Entah memang anti sosial atau anti dengannya, Angkasa tak pernah mau didekati oleh Nasya. Tiap mendekat beberapa langkah, Angkasa keburu kabur. Persis seperti burung. Hal itu tak membuat Nasya menyerah. Ia gadis yang sangat ambisius dan akan melakukan apa pun untuk mewujudkan keinginannya, termasuk menjadikan Angkasa menjadi kekasihnya.
Saat pertama kali Nasya berhasil mendekati Angkasa. Saat itu juga Nasya mengungkapkan perasaannya. Ia tidak peduli dengan penonton di sekelilingnya. Momen itu tak akan pernah bisa terulang untuk kedua kalinya.
Sudah dapat ditebak, Nasya ditolak mentah-mentah oleh Angkasa. Walaupun menyakitkan, tapi tak apa. Yang terpenting Nasya bisa mengungkapkan perasaan terdalamnya. Yah, walaupun selama seharian penuh ia menangis di dalam kamarnya.
Kenangan itu sudah berlalu bertahun-tahun yang lalu. Mungkin sudah enam atau tujuh tahun. Nasya masih belum bisa melupakan kenangan pahit itu. Ditolak untuk pertama kalinya membuat Nasya trauma dan memilih hidup menyendiri. Ya, gadis itu tak lagi mencoba mengungkapkan perasaannya lagi. Perasaan ditolak yang begitu nyeri masih membekas kuat. Pada akhirnya ia memutuskan lajang seumur hidupnya, kalau bisa ya.
Sayangnya, cita-cita melajang tidak akan pernah terwujud. Orangtuanya menjodohkannya dengan anak orang karena takut dirinya benar-benar melajang selamanya. Mau menolak Nasya tak bisa, apalagi mamanya sudah memasang wajah garang seperti singa. Terpaksalah Nasya bertemu dengan calon suaminya di kafe yang baru buka.
Gadis yang telah menjelma sebagai wanita itu duduk termenung di dekat jendela. Calon suaminya tidak datang-datang sejak tiga puluh menit lalu. Nasya bosan sekaligus kesal. Sensasi menunggu ini tak menyenangkan. Apalagi ia pun harus kembali bekerja lagi. Kalau Nasya tahu nomor telepon laki-laki itu, sudah habis Nasya teror seharian.
“Maaf saya terlambat.” Deg! Nasya melotot tajam. Ya, Tuhan! Kenapa calon suaminya adalah Angkasa? Tidak tahukah selama tujuh tahun ini Nasya mencoba move on dari laki-laki jahat ini? Kalau dipertemukan kembali begini bagaimana bisa Nasya move on?
“Maaf. Anda salah orang,” ujar Nasya. Wanita itu menyambar tasnya tanpa banyak bicara. Ia belum siap jika berhadapan kembali dengan Angkasa. Penolakan itu masih membekas, rasanya masih sakit, dan memalukan. Nasya tak ingin mengingatnya lagi.
“Tunggu sebentar!” Angkasa menghentikan Nasya yang hendak menaiki taksi. “Apa kita bisa bicara, Nasya Alicia Clarissa?” Nasya tertegun sejenak. Tak menyangka jika Angkasa tahu nama lengkapnya. Berarti … Angkasa masih mengingatnya?
Angkasa membawanya ke sini. Ke tempat yang lebih privasi. Tepatnya di atap kafe yang tadi disinggahinya. Ternyata, kafe baru ini milik Angkasa. Tidak mengejutkan lagi sepertinya.
Di atap ada beberapa meja untuk pengunjung VIP, sepertinya. Selain itu, atap ini dihiasi berbagai macam tanaman dan bunga. Kesannya sejuk dan hawanya pun dingin. Cocok sekali dengan orang yang butuh ketenangan. Contohnya, Nasya sendiri.
“Langsung saja, ya.” Nasya mengangguk acuh. Ini adalah salah satu strateginya agar Angkasa ilfeel dengannya dan ogah menikah dengannya. Ya, sekalian Angkasa tahu bagaimana rasa sakitnya ditolak. “Pernikahan kita akan dilaksanakan lima bulan lagi. Semua anggota keluarga telah menyetujuinya. Rencananya, nanti malam saya akan melakukan lamaran secara resmi,” jelas Angkasa dengan gaya formalnya. Nasya sedikit terkejut. Namun, wanita itu berusaha menutupi ekspresinya. “Bagaimana? Apa kamu setuju?” Keputusan Nasya tidak ada nilainya sama sekali. Ia yakin, mau setuju ataupun tidak. Pernikahan ini akan tetap dijalankan. Nasya yakin itu. Orangtuanya sangat menginginkan cucu, mengingat teman sebaya mereka sudah punya cucu. Ini adalah tidak enaknya jadi anak tunggal.
Nasya mengambil napas dalam. “Terserah saja. Lagi pula, keputusan saya tidak akan berdampak apa-apa. Pasti orangtua Anda dan orangtua saya akan memaksakan pernikahan ini bagaimanapun caranya,” tutur Nasya logis. “Kalau sudah tidak ada yang dibicarakan lagi … saya permisi.” Wanita itu mengambil tasnya buru-buru tanpa memedulikan wajah kecewa dari lawan bicaranya. Nasya kepanasan berduaan saja dengan Angkasa. Perasaannya yang sudah ia kubur dalam-dalam berontak dan ingin dilepaskan. Nasya tak menginginkan hal itu terjadi. Cukup di masa lalu saja dia merasakan perasaan itu. Ia tak ingin tersakiti lagi oleh perasaan yang pernah dimilikinya ini.
“Nasya!” Argh! Apalagi ini? Kenapa Angkasa memanggil namanya lagi? Tidak tahukah Nasya sudah frustasi sekaligus emosi berada di tempat ini?
Nasya berhenti dan memutuskan menghadapi Angkasa. Dirinya tidak salah apa-apa. Ia harus lebih berani. Memangnya siapa Angkasa ini? Hanya laki-laki berengsek yang tak punya hati. “Apalagi yang ingin Anda bicarakan? Bukannya tadi sudah semua?” tanyanya dengan nada kesal yang kentara. Walaupun mencoba berani, Nasya tetap tidak bisa menatap mata Angkasa. “Apa kamu tidak bisa menatap saya dengan benar?” Kedua pundak Nasya tiba-tiba dicengkeram dengan kuat oleh Angkasa. Nasya berontak meminta dilepaskan. Namun, cengkeraman Angkasa jauh lebih kuat.
Dengan terpaksa, Nasya mendongak dan menatap wajah Angkasa. Air mata wanita itu jatuh, ia tak sanggup jika harus berhubungan lagi dengan Angkasa. Rasanya sakit sekali. “Apa Anda tidak puas menyakiti saya?!” teriak Nasya. “Apa maksud kamu?” bingung Angkasa. Nasya terkekeh tak percaya. Dasar bajingan! Bisa-bisanya melupakan kejadian itu. “Dulu … saya pernah mengemis-ngemis cinta dengan begitu bodohnya pada Anda. Dulu … Anda tidak pernah mau saya dekati. Saya berusaha sekuat tenaga agar bisa mencapai Anda dan menyatakan semua perasaan yang saya punya, tapi apa … Anda menolak saya! Ada memaki saya! Anda merendahkan saya! Bagaimana bisa Anda melupakannya? Bagaimana bisa Anda berpura-pura tidak tahu begini?!” murka Nasya. “Selama tujuh tahun ini … saya belum bisa melupakannya. Penolakan Anda, penghinaan Anda, dan perasaan yang saya punya. Rasanya menyesakkan sekali. Hampir saja saya bisa membuang masa lalu saya, tapi kenapa Anda malah datang? Kenapa Anda malah datang ke hidup saya?!”
Nasya menangis dengan kencang. Melampiaskan semua rasa sakit yang ia pendam selama tujuh tahun ini. Selama tujuh tahun, hatinya selalu sesak. Ia tak benar-benar bisa membuang masa lalunya. Angkasa selalu saja muncul di kepalanya. Hampir setiap hari dan itu hampir membuatnya gila setengah mati. Lalu, kini … wujud Angkasa yang sebenarnya benar-benar datang di hidupnya. Parahnya, Angkasa akan menikahinya. Bagaimana bisa Nasya baik-baik saja?
“Nasya,” panggil Angkasa lembut. Angkasa menarik dagu Nasya dan memegang kedua pipi wanita itu. Air mata yang membasahi pipi Nasya ia hapus dengan begitu halus. Nasya hampir tidak percaya dengan perilaku Angkasa saat ini. Bagaimana bisa laki-laki dingin dan selalu kabur saat ia dekati tiba-tiba merangkulnya dengan cara seperti ini? Apa laki-laki ini bukan Angkasa yang dikenalnya dulu?
“Kamu tahu kenapa saya menolak kamu 7 tahun, 8 bulan, 15 hari, 2 jam dan 15 menit lalu?” tanya Angkasa tiba-tiba. Angkasa mengingat detailnya? Bagaimana bisa? “Itu karena kamu bodoh sekali,” tembak Angkasa. Wah-wah, sudah menolaknya dengan kejam. Sekarang Angkasa mengatainya bodoh? Benar-benar tidak bisa dimaafkan! “Angkasa! Ku—” Angkasa membungkam mulut Nasya. “Dengarkan saya dulu,” pintanya tanpa melepaskan jarinya di bibir Nasya. Nasya tak tinggal diam. Wanita itu menjauhkan jari Angkasa dari bibirnya. Nasya membuang muka saking emosinya.
“Nasya. Kenapa kamu bodoh sekali? Kenapa kamu mengejar laki-laki dengan cara seperti itu? Apa kamu tidak tahu jika ada peribahasa yang mengatakan ‘jika dikejar akan semakin jauh’? Lalu, apa kamu tidak tahu jika seharusnya gadis itu diam saja dan menunggu laki-laki yang mengejarnya?” Nasya tak menjawabnya. Ia pun tak tahu dengan pasti alasannya mengejar Angkasa dulu.
“Saya tahu. Perlakuan saya dulu benar-benar kejam. Untuk itu saya minta maaf.” Baguslah kalau meminta maaf. Itu yang Nasya tunggu-tunggu. “Tapi saya tidak menyesal karena telah menolak kamu.” Aish! Benar-benar laki-laki berengsek!
“Kamu mau memukul saya?” tantang Angkasa saat melihat tatapan penuh emosi dari Nasya. Nasya menggeleng kembali membuang muka. “Jika waktu dapat diputar kembali pun, saya akan melakukan hal yang sama,” Angkasa menegaskannya. “Bukankah sangat memalukan dikejar-kejar gadis seperti itu?” Nasya menoleh dan menatap heran Angkasa. Angkasa bisa merasa malu juga? Ah, yang benar saja. Laki-laki tak punya hati seperti Angkasa pasti tak tahu malu.
“Bayangkan saja jika dulu saya menerima kamu. Sudah pasti saya jadi bahan olok-olokan karena menerima cinta gadis yang terus berjuang mendapatkan saya, sementara saya hanya diam saja, dan mengabaikannya. Rasanya pasti memalukan. Saya tidak ingin merasakan hal itu. Karena itu saya menolak kamu.” Angkasa ya Angkasa. Egois.
“Apa sudah selesai?” tanya Nasya karena Angkasa tidak lagi berbicara untuk waktu yang lama. “Kalau begitu saya akan pergi.” “Tunggu sebentar.” Lagi-lagi Angkasa menahannya. “Ada yang belum saya katakan.” “Kalau begitu katakan,” kesal Nasya. “Saya tidak punya banyak waktu.” Angkasa mengambil napas dalam-dalam sebelum mengungkapkan isi hatinya. “Sebenarnya … saya juga menyukai kamu, Nasya.” Pasti bohong. Tidak mungkin! “Lebih lama malah,” ungkapnya. “Dulu sebelum kamu mengejar-ngejar saya, saya lebih dulu menyukai kamu, tapi saya tidak berani mendekati kamu.” Ya, pantas saja Angkasa kabur terus saat didekatinya. “Karena itu saya terus menjauh. Saya tak ingin kamu tahu bagaimana saya yang sebenarnya. Itu cukup memalukan,” jujur Angkasa. “Waktu kamu menyatakan perasaan kamu. Saya senang sekali, tapi kenapa kamu mengatakannya di depan umum? Itu yang saya sayangkan.” Bagaimana bisa Nasya memilih tempat untuk menyatakan perasaannya saat Angkasa tak pernah mau dekat dengannya?
“Andai kamu menyatakannya di tempat sepi atau kamu menunggu saya sedikit lebih lama lagi. Mungkin, kita telah menikah saat ini,” lanjut Angkasa. Ya, terserah! Memang semua ini salah Nasya! Angkasa selalu benar!
“Saya tahu perlakuan saya sangat tidak bisa dimaafkan, tapi tolong pahami saya. Saya melakukan itu semua demi kamu.” Demi Nasya? Oh, yang benar saja! Bilang saja menyesal apa susahnya, sih?
“Waktu itu ada banyak yang menonton dan ada juga gadis-gadis yang dulu pernah saya tolak. Bayangkan saja bagaimana jika saya menerima kamu waktu itu? Pasti kamu akan dikeroyok oleh mereka. Saya tidak ingin itu terjadi. Karena itu saya menolaknya. Saya tak ingin kamu terluka.” “Tidak ingin saya terluka kata Anda? Saya malah terluka, Angkasa! Penolakan itu rasanya jauh lebih sakit daripada dipukul oleh mereka! Sakitnya bertahan tujuh tahun lamanya. Apa itu tidak luar biasa?” timpal Nasya. Nasya tak habis pikir. Bagaimana bisa ada laki-laki seperti Angkasa? Bagaimana bisa ia menyukai Angkasa? Pasti dulu otaknya eror karena terpesona dengan ketampanan Angkasa.
“Saya benar-benar minta maaf,” tutur Angkasa sungguh-sungguh. “Sejujurnya, saya tidak ingin menyakiti kamu. Namun, sepertinya itu mustahil.” Memang mustahil.
“Karena itu, saya ingin memperbaiki semuanya dengan menikahi kamu,” sambung laki-laki itu. “Selama tujuh tahun ini saya mencari kamu. Setelah lulus SMA, saya berniat memperbaiki semuanya dan mengatakan perasaan saya, tapi kamu malah kuliah di luar negeri untuk menghindari saya. Lalu, setelah kamu lulus kuliah saya berniat menemui kamu secara langsung. Namun, saya tidak memiliki keberanian. Karena itu saya mengatakannya lewat kedua orangtua kamu. Saya ingin menikahi kamu, Nasya.”
Untuk yang satu ini, Nasya benar-benar tak menyangkanya. Angkasa melakukan semua itu? Mencarinya? Melamarnya lewat kedua orangtuanya? Ingin sekali Nasya tertawa. Semudah itukah dirinya di mata Angkasa?
“Selama tiga tahun saya mencoba sebaik mungkin agar kedua orangtua kamu menerima saya. Setelah perjuangan saya selama tiga tahun ini untuk menarik hati mereka … akhirnya mereka mengizinkan saya menikahi kamu. Saya sangat bahagia. Namun, sepertinya kamu tidak ingin menikahi saya.”
“Bagaimana bisa saya menikahi Anda? Memangnya Anda siapa, hah?! Anda hanya laki-laki berengsek yang suka sekali menyakiti hati anak orang!” murka Nasya. “Jika Anda berpikir saya akan luluh begitu saja. Anda salah. Sampai kapan pun saya tidak akan pernah mau menikahi Anda.”
Angkasa menatap Nasya tak percaya. “Benarkah kamu tidak ingin menikahi saya?” Nasya mengangguk tanpa ragu. “Saya tidak ingin menikahi Anda.” Setelah itu, Nasya pergi begitu saja tanpa memedulikan teriakan Angkasa yang kembali memanggil namanya.
Jika kalian pikir semudah itu menyembuhkan rasa sakit … kalian salah. Rasa sakit yang Nasya rasakan terlampau dalam. Tidak ada yang mampu menyembuhkannya. Pertanggung jawaban Angkasa tak lagi berarti mengingat rasa sakit yang tertimbun lebih nyeri. Pernikahan dan cinta pun tak dapat menghibur Nasya. Satu-satunya yang dapat menghibur Nasya hanyalah Angkasa benar-benar menghilang dari hidupnya.
Cerpen Karangan: Febi Auliasari Halo, aku Febi. Mahasiswa semester dua jurusan Hukum Tata Negara. Aku suka banget nulis di Wattpad. Terkadang aku juga nulis cerpen buat ngisi waktu luang. Semua genre aku suka, terutama misteri thriller. Aku penulis romance yang enggak punya pengalaman romance sama sekali. Aku introvert, pendiam, penyendiri, dan susah bergaul. Kalian bisa mampir ke Wattpad aku di @Annelysme.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 20 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com