Agustus 2012. Matahari beranjak meninggi menjauhi singgasananya. Sorot mentari mulai memenuhi sudut kota pahlawan, Surabaya. Hiruk pikuk kota sudah ramai dengan aktivitasnya, kegiatan bekerja, berdagang, sekolah, dan lainnya. Surabaya yang terkenal dengan kepadatan penduduknya dan aku ada diantaranya. 4 bulan sudah berlalu, aku menjelma sebagai gadis perantau untuk mengenyam sebuah pendidikan di salah satu perguruan tinggi Surabaya.
Jam tanganku menunjukkan waktu 08.30 WIB yang artinya sudah seharusnya aku tiba di kelas sejak 30 menit lalu. Sayangnya aku masih berdiam disini, di parkiran kampus, menunggu seorang wanita berambut pirang berdebat dengan seorang lelaki. Dan sudah dipastikan kami terlambat kelas pertama. Meskipun menunggu dengan kejengkelan aku tak akan meninggalkan sahabatku untuk mengejar kelas pertama. Biarlah kami masuk kelas dengan menanggung malu bersama. Itu lebih baik.
“Tas! Buruan! Dah telat woe” seruku pada akhirnya. Dia Tasya Putri Susanti, biasa dipanggil Tasya. Sahabatku sejak SMA. Dia mengangkat tangannya memberi intruksi untuk menunggu sebentar. Setelah beberapa saat akhirnya dia menghampiriku masih dengan menggerutu.
“Pokoknya gausah pacaran Yu, ga enak” Kata yang sering kudengar jika Tasya usai berdebat dengan kekasihnya. Yap, katanya pacaran tidak menyenangkan, anehnya dia sudah menjalin hubungan hampir setahun. Padahal aku berharap dia segera putus, supaya bisa menemani kejombloanku hehe. Aku dan Tasya segera menuju kelas untuk mengikuti kuliah pagi ini.
Namaku Ayu Rachmani. Usia 19 tahun, kulit kuning langsat, beralis cukup tebal, dengan rambut hitam sebahu. Hidup dengan keluarga kecil sebagai anak tunggal. Ya meskipun pada faktanya aku memiliki saudara kembar, yang akhirnya dia meninggal karena sakit saat berusia 5 tahun. Kurang lebih begitulah sedikit tentangku. Oh ya, satu-satunya hal yang aku suka adalah membaca buku terutama novel. Entah mengapa begitu menyenangkan membaca tulisan orang-orang, meskipun sebagian besar didalamnya adalah fiksi.
Usai kuliah aku tak langsung pulang, melainkan berkumpul bersama mahasiswa perwakilan kelas lain di fakultasku untuk mendapat penugasan agar resmi menjadi keluarga mahasiswa fakultas. Sejenis kegiatan ospek, namun kali ini dilakukan oleh tiap fakultas kampusku termasuk fakultasku. Disinilah kami berkumpul, duduk tanpa alas di lapangan basket dengan beberapa kakak tingkat yang berada di depan. Sebenarnya aku tidak tertarik dengan hal-hal seperti ini. Bagiku hanya membuang waktu. Namun apalah daya, kegiatan ini diwajibkan untuk mahasiswa baru.
Seperti biasa aku memilih duduk paling belakang. Dan pengumumanpun mulai disampaikan dengan bertele-tele, membuatku mengantuk. Akhirnya kukeluarkan sedikit novel yang ada di tasku. Membuatku terlena tanpa mengantuk sama sekali. Anties, teman yang duduk disebelahku menyenggolku berkali-kali hingga membuatku jengkel karena telah mengganggu waktuku bersama novel kesayangan. Hingga akhirnya, aku tersadar seseorang mengambil novelku secara kasar. Dan kini semua orang menatap si pelaku, termasuk aku.
“Ga sopan banget ya baca buku pas katingmu lagi ngomong di depan” suaranya terdengar tegas namun masih dalam batas wajar, alias tidak menyebalkan. Aldo Dwi Bakhtiar, nama yang tertera di sebelah kanan jas almamater biru itu. Aku berdiri menghadapnya dengan posisi tertunduk. “Maaf kak saya tidak akan mengulanginya lagi” kataku. “Ngapain baca novel pas kakak-kakakmu lagi ngomong di depan?” tanya seorang kakak tingkat perempuanku dengan suara sinis. “Saya ngantuk kak” jawabku jujur yang kemudian disusul tawa dari teman-temanku. Lalu suasana kembali senyam sebab terdengar suara yang saling menyahut berupa sindiran untukku. Bukan dari teman yang tengah duduk bersila ini, bukan. Ya, tentu dari kakak-kakak tingkat dengan gaya bicara tak terbantahkan. Aku semakin tertunduk malu, sampai pada akhirnya suara didepanku membuat pernyataan yang mengejutkan.
“Novelnya aku sita seminggu” ah! Tentu ini lebih buruk dari omelan-omelan tadi. Itu bukan novelku, melainkan novel yang kupinjam di perpustakaan kota. Dan yang lebih buruk masa pinjamku berakhir dua hari lagi. Aku mencoba bernegosiasi dengan alasan yang sebenarnya, kutunjukkan pula sebuah kertas berstempel dari perpustakaan kota yang terselip di novel berjudul ‘Dear, My Love’ itu. Namun nihil. Tiba-tiba kepalaku pusing memikirkan denda yang harus kubayar. Sial memang si Aldo Dwi Bakhtiar.
Hari tetap berjalan sebagaimana mestinya. Dan disinilah aku sekarang. Berdiri di alun-alun kota sambil menatap nanar bangunan bertulis ‘Perpustakaan Kota Surabaya’. Selama dua hari kemarin, aku tidak menyerah untuk mengambil kembali novel dari seorang yang akhirnya aku ketahui nama panggilannya yaitu Aldo. Tapi si kakak tingkat tengil itu mengacuhkanku. Aku berjalan lesu ke meja administrasi. Lagi-lagi aku dibuat terkejut oleh pustakawan.
“Betul mbak. Bukunya sudah dikembalikan sehari yang lalu oleh seseorang yang katanya kakaknya mbak. Lalu meminjam kembali buku berjudul ‘Bundaku, Pertiwiku’ pagi ini. Kakaknya masih di perpustakaan kok, coba mbak Ayu cari” Kepalaku kembali pening. Bisa-bisanya KTP ku dikendalikan oleh orang lain. Aku bergegas menyisir ruang baca berharap menemukan seseorang yang mungkin kukenal. Lalu, aku hampiri lelaki berkaos hitam dengan jeans selutut yang tengah asik membaca.
“Sekarang saya tanya siapa yang ga sopan kalo pake KTP orang tanpa izin?” aku membuka suara mengintrupsi kegiatan membacanya. “Hai Ayu. Maaf ya. Saya pinjam KTPnya sebentar. KTP saya hilang dan masih proses pembuatan yang baru” aku melongo tak percaya. Aldo berkata lembut dan sopan, sangat berbeda saat di kampus. Dan aku tidak bisa berkedip melihat senyumnya, manis.
“Y ya ya kenapa gak izin ke saya?” sial aku gugup. “Saya mau ngomong sebenarnya. Tapi bingung gimana hehe” jawabnya santai. Aku melongo mendengar perkataannya. Manusia ajaib.
“Sini duduk” ditepuknya bangku yang ada disamping. Dia memulai sebuah obrolan dan aku masih membalas seadanya sebab jantungku yang berdebar hebat. Disinilah aku tahu, bahwa Aldo orang yang sopan, ramah, gemar mengikuti organisasi, penyuka kucing, pecinta novel juga, dan jangan lupakan tentang senyumnya yang manis.
“Mau baca bareng tah?” “Silahkan kak. Saya sudah baca kok”
Pertemuan awal itu menjadi sebuah perkenalan yang cukup jauh. Dua bulan kami menjadi akrab. Di kampus kami bertegur sapa seadanya. Tapi diluar kampus, aku pergi ke perpustakaan dengannya seminggu tiga kali dan makan bersama di warteg sepulang dari perpustakaan. Dari yang awalnya ‘saya kamu’ menjadi ‘aku kamu’. Aku merasakan banyak kebahagiaan selama di Surabaya, salah satunya dengan mengenal dia. Hingga suatu saat aku menerima telepon dari Ibu melalui hape Tasya, karena hapeku rusak.
“Pulanglah segera Yu. Ayah pengen ketemu kamu” Ibu berkata dengan tersedu. Nafasku tercekat. Ayah tidak baik-baik saja. Aku segera memesan tiket kereta dan pulang saat itu juga. Aku hanya berpamitan dengan Tasya. Dan Aldo menghilang dari pikiran tergantikan oleh wajah Ayah yang sangat kusayang.
Sebulan sudah berlalu semenjak aku memutuskan untuk pulang kampung dan tidak kembali ke Surabaya. Diabetes yang Ayah derita kambuh dan menyerang sarafnya sehingga dia lumpuh sementara. Aku memutuskan untuk mengambil cuti semester meskipun Ayah Ibu melarang. Ibu harus mengambil alih pekerjaan Ayah agar tidak mengalami bangkrut, sedangkan aku di rumah merawat Ayah.
Tasya libur semester, akhirnya dia bisa pulang kampung dan berkunjung ke rumahku.
“Ini ada titipan dari Aldo” Tasya menyerahkan kotak berwarna coklat. “Tega banget punya pacar ga bilang-bilang” lanjut Tasya mengomel. “Aku gak pacaran sama dia Tas” kataku sambil tersenyum.
Usai Tasya pulang barulah kubuka kotak dari Aldo. Hatiku bergetar hebat melihat novel karya terbaru dari penulis favoriteku, bersama boneka beruang kecil dan dua surat.
11 Oktober 2012 Selamat ulang tahun cantik. Ada sedikit hadiah buat kamu semoga kamu suka. Semangat kuliah, kita pasti bisa sukses bareng. Tetap jadi gadis periang yang kukenal ya. Jangan lupa review novelnya hehe.
25 Oktober 2012 Ayu apa kabar? Aku kesepian gak ada kamu. Telfonmu tidak aktif, aku baru tau dari Tasya kamu pulang karena Ayahmu sakit. Salamkan untuk Ayah Ibumu. Maaf aku belum bisa samperin kamu. Aku sibuk menyiapkan sidang dan syukurlah aku lulus dengan predikat terbaik Yu. Jujur aku pengen kamu datang ke wisudaku dan memperkenalkan kamu ke Ayah Ibuku. Tapi semesta belum mengizinkan. Yu sebentar lagi aku akan ke Kalimantan untuk bekerja di perusahaan Pamanku. Doakan aku bisa bekerja dengan baik. Jangan sedih, kita akan segera bertemu. Sehat selalu cantikku. Belajarlah dengan baik dan lulus dengan predikat terpuji.
Air mataku luruh membaca surat dari Aldo. Laki-laki yang sempat terabaikan dari benakku, dan kini aku begitu merindukannya. Meskipun sangat menyakitkan, aku ingin mengakui bahwa dia adalah cinta pertamaku.
Aldo Dwi Bakhtiar kita harus bertemu nanti.
Cerpen Karangan: Rindi Ayu Blog / Facebook: Rindi Lestari Status: Mahasiswa Semester Akhir Instagram: Rindi.al Sambil membaca ini dengarkan lagu Tiara judulnya Janji Setia 🙂
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 18 Mei 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com