Tak terasa aku sekarang telah menginjak kelas 12 dan setahun kedepan akan menempuh kelas baru di bangku kuliah. 2 tahun kebelakang memang sudah banyak yang terjadi tapi entah hanya di tahun inilah yang sangat berkesan bagiku.
Aku Rian, lelaki sunda yang berasal dari keluarga yang biasa saja, bukan dari kalangan keluarga yang mampu tapi juga masih bisa bertahan hidup meski hanya mengandalkan penghasilan dari Ibu dan harta warisan Almarhum Ayah. Ya, aku anak Yatim dengan 1 Kakak laki-laki yang berbeda 6 tahun.
OK, kita flashback dulu sebentar, Tahun pertama di SMA semua siswa wajib memilih kegiatan ekstrakurikuler yang sudah terdaftar resmi. Karena aku termasuk anak yang nggak mau ribet sama urusan ekstra setelah jam sekolah akhirnya aku memilih ekskul yang paling nyantaaaaiiiii sedunia… apa hayooo? Ya DKM, Dewan Kepengurusan Masjid. meski awalnya hanya ingin terdaftar saja tanpa harus ikut-ikutan kegiatan nya tapi lama-kelamaan aku aktif juga, apalagi di kelas 2 yang harus jadi pengurus bukan sebagai anggota. Dari awal yang baca Al-Quran yang asal bisa baca, Alhamdulillah sekarang Makhraj dan Tajwid ku sudah lumayan berkat kegiatan ekskul itu. Malu dong kalo anggota DKM ga bisa baca Al-Quran. Tapi yang akhirnya membuatku semangat untuk ikut kegiatan DKM adalah adanya seorang ukhti yang aku sukai… “Ya Allah semoga aku bisa selalu meluruskan niatku..”
Ya, dari kelas 10 sampai kelas 11 berakhir, aku selalu menjadi pengagum rahasianya. Aku hanya bisa mencuri-curi pandang saja saat kegiatan DKM, karena kelas kami berbeda selama 2 tahun itu. Ngobrol pun hanya sebatas keperluan ekskul saja tak lebih, meski aku sering diam-diam menggoda dan iseng padanya.
Semester akhir kelas 11 adalah saat ujian penjurusan untuk kelas 12. Setelah melalui ujian penjurusan dan hasilnya diumumkan, aku terkejut melihat pengumuman di Mading Sekolah yang hasilnya kami lulus penjurusan IPA dan akhirnya kami satu kelas di kelas 12 IPA 2.
“Alhamdulillaaaahhhh…!!!” Teriakku kegirangan. “Heeiiii… kenapa kamu? seneng betul rupanya masuk IPA..” Ucap Yusuf teman DKM ku yang ternyata satu kelas juga denganku di IPA 2 nantinya. “Jelas dong, masa depanku cerah nih di IPA 2… ahahahahaha” “Istighfar Kang…!!” Suara seorang perempuan disampingku Aku tak sadar ternyata dia tiba-tiba sudah ada disampingku, ya Ukhti yang kusuka, Nona Cantika namanya. Seketika aku mematung dan lari sekuat tenaga saking malunya terlihat bodoh di depan Nona.
Kenaikan kelas pun tiba, aku naik kelas dengan peringkat yang cukup lumayan, peringkat ke 5 di kelasku dan aku mendapat bocoran kalo Nona peringkat 3 di kelasnya dan selisih nilai kami tak jauh beda, hanya 5 poin saja Nona lebih unggul.
Di kelas 12 IPA 2 aku akhirnya bisa puas memandangi wajah Ukhti idamanku setiap hari meski harus dibatasi karena kewajiban lelaki adalah menundukan pandangan. Di kelas 12 kami sudah tak aktif sebagai pengurus DKM karena harus fokus untuk kelulusan nanti.
Polos wajah Nona yang dibalut hijab syar’i selalu kunantikan di pintu masuk kelas kami dan entah mengapa saat Nona memasuki kelas setiap harinya pandangannya selalu mencariku terlebih dahulu. Mungkin aku kegeeran saja, tapi memang begitu nampaknya. Setiap harinya rasa suka ini semakin besar padanya. Mungkinkah kuungkapkan saja padanya?
Di kelas ini aku jadi lebih dekat dengannya, apakah karena dia menyukaiku juga? atau menganggapku hanya sebagai teman satu kelas dan satu ekskul. Hingga suatu hari di pertengahan awal semester 2 aku mendapati secarik kertas yang jatuh di bawah bangkunya yang kebetulan bersebelahan dengan bangkuku sekarang ini. Awalnya aku tak berani memungut kertas itu dan membiarkannya saja, tapi hati ini berniat lain yaitu ingin menggunakan kesempatan ini untuk bisa lebih dekat dengannya.
Akhirnya kupungut kertas tersebut dan tak sengaja kulihat isinya. Ternyata isinya adalah puisi ungkapan perasaannya terhadap seorang pria. Hatiku hancur serta putus harapan untuk bisa mengambil hatinya… Aku lemas, tak bersemangat tiba tiba terasa gelap dunia ini.
“Assalamu’alaikum…” Ucap Nona terdengar lembut di sampingku. Aku yang sedang lemas tak berdaya menjawab dengan lesu “Wa’alaikumsalam..” “Kenapa Kang Rian… Sakit?” Tanya Nona dengan nada cemas. “Iya kenapa kamu Yan..” Tanya Mia teman sebangku Nona yang dari tadi pergi berdua. Tanpa memperlihatkan wajah aku serahkan secarik kertas tadi pada Nona “Ini… maaf tadi kertas ini jatuh ke bawah bangku ku…” aku berbohong agar tak malu… Aku berlalu pergi tanpa melihat wajah Nona…
Keesokan harinya ada yang aneh dengan Nona, Aku melihat Nona tak mengarahkan pandangannya padaku dan hanya berjalan tertunduk hingga duduk di bangku miliknya, dan seperti itu selama 3 hari.
Aku bertanya pada Mia perihal tingkah Nona selama 3 hari ini.. “Mi, Nona kenapa ya belakangan ini..?” “lho, kenapa tanya saya…?” jawab Mia “Kamu kenapa sama Nona jadi jutek gitu..?” Mia tanya balik “Laahhh… emang aku jutek…? perasaan aku baik-baik aja, cuma sedikit ngobrol karena ga enak, Nona nya juga kaya yang enggan bicara sama aku…” jawabku “Nona itu malu sama kamu karena secarik kertas yang kemarin…” Jelas Mia “kenapa malu..?” “Susah ceritanya… mending kamu sendiri yang tanya sama dia…” Mia berlalu pergi meninggalkan aku yang penasaran.
Keesokan harinya aku menunggu Nona di depan pintu kelas. Saat Nona datang dengan tertunduk, aku mengajaknya untuk bicara sebentar di taman sekolah. Di sana banyak orang yang baru sampai di sekolah jadi kami tak berduaan.
“Kamu kenapa Teh…” tanyaku pada Nona dengan sebutan hormat pada perempuan di DKM “Apa aku berbuat salah sama Teteh…?” tanyaku kembali. Nona masih tertunduk malu dan menjawab “Aku malu Kang…” “Malu sama Aku..?” “Iya… aku malu, masa sebagai perempuan menulis puisi-puisi begitu…” jawab Nona “Kenapa harus malu… itu kan perasaan. Simpan sampai waktunya datang untuk mengungkapkannya. Kemarin aku tak sengaja membacanya… maaf..!” “Ga apa-apa Kang, Nona ke kelas dulu yaaa…” Nona berlalu pergi menuju kelas. “Ya Allah… kenapa jadi begini yak…” gumamku.
Selama pelajaran berlangsung aku tak bisa konsentrasi dan aku memutuskan untuk mengungkapkan perasaanku pada Nona hari ini juga. Kebetulan binderku yang sebagian isinya puisi cinta untuk Nona aku bawa. Aku sebenarnya ragu kalau Nona menyukaiku juga namun jangan menyerah sebelum berperang pikirku.
Waktu menunjukan pukul 14.00 dan jam pelajaran sudah rampung semua, aku kembali mengajak Nona untuk berbicara dan menunggu sampai semuanya pulang. “Teh, aku mau bicara sebentar ya…!” pintaku pada Nona “Ada apa Kang…?” “Sebentar aja, Mia sama Yusuf boleh menemani biar tak jadi fitnah.” Akhirnya semua teman sekelas meninggalkan kelas hanya tersisa kami berempat.
“Ada apa sih Yan…?” yusuf bertanya “Nggak kok, aku cuma mau ngasih pinjam binder ini sama Nona.” jawabku pada yusuf. “Iya buruan…!” Mia mulai kesal. Aku pun memberikan binderku pada Nona sebagai ungkapan rasaku padanya. “Ini teh… biar seimbang aku juga pasti malu kalo Teteh baca isi binder ini.” “Apa ini Kang Rian..?” Tanya nona “Udah bawa aja dulu, silahkan baca… silahkan ketawain isinya sepuas Teh Nona..!” “Udah ya saya duluan..” kataku pada Nona yang masih duduk di bangkunya dan terlihat sangat penasaran dengan isi binderku.
Keesokan harinya, seperti biasa aku duduk di bangku menunggu serupa wajah nan menawan yang datang melalui pintu kelas itu. Akhirnya Nona pun datang dengan wajah tertunduk dan murung. kala itu aku belum melihat matanya. hingga dia duduk di bangkunya di sebelahku dan mengembalikan binderku. “Ini Kang…” “Udah selesai bacanya…?” “Udah…” Nona menatapku “Lhooo… kenapa matamu Teh? Teteh menangis semalam..? Kenapa..? isinya jelek ya sampai bikin Teteh kesel dan nangis gituuu…?” “Hayooo diapain…?” Yusuf dan Mia kompak bertanya kesal padaku… Nona langsung menjawab seketika… “Nggak Kang ga jelek… bahkan indah menurut Nona…” “Kalo bagus isinya kenapa nangis..?” tanyaku “Malah sekarang aku yang malu… jadi impas ya..” kataku “Nona iri sama wanita yang Akang kagumi… andai Puisi-puisi itu buat Nona, pasti Nona bahagia…” Nona langsung menutup mata karena malu tak sengaja berkata demikian.. “maaf Kang… maaf.. Nona keceplosan” ucap nya lagi. “Cie cie… Nona pengen diperhatiin…” Goda Mia pada Nona “Busyet dah Rian… ternyata pintar berpuisi juga, sampe-sampe Nona terharu gitu bacanya…” yusuf memujiku… “Namanya Kagum pasti dapat banyak inspirasi, makanya kutulis jadi puisi biar awet rasanya…” jelasku “Alhamdulillah… Wanita yang aku kagumi mungkin sudah membaca semua puisi-puisiku. tinggal tunggu reaksinya saja..” jelasku lagi. “Oooo gitu ya Kang.. selamat ya!!” Ucap Nona. “Siapa tuh kalo boleh tau..?” Tanya Mia penasaran. “Ada deh ntar juga tau, surprise…” Kami mengakhiri perbincangan dan memulai pelajaran karena guru mata pelajaran pertama sudah datang..
Di tengah-tengah jam pelajaran aku menuliskan pesan singkat di secarik kertas untuk Nona, isinya seperti ini “Teh Nona, satu-satunya wanita yang pernah membaca isi binder Rian ya cuma Teh Nona saja, Teh Nona paham kan..? Jadi bila berkenan biarkan Rian menjadi pria yang pantas dulu baru setelah waktunya tiba, Rian akan datang menemui orangtuamu.”
Aku melihat nona saat membaca pesan singkatku dan dia membalas pesan singkatku dengan mengembalikan secarik kertas tadi dengan pesan seperti ini. “Kang Rian puisi yang nona buat itu buat kang Rian Kok, jadi insya Allah Nona akan menunggumu.” Seketika kami saling berpandangan dan Nona mengangguk sambil tersenyum padaku. “Alhamdulillaaaaah…” teriakku dalam hati. Cintaku ternyata tak bertepuk sebelah tangan.
Cerpen Karangan: Jaka L Hakim