Kalau saja kau tak terlalu memaksakan diri salat di Masjid Agung. Kalau saja tak kau rampungkan bacaan surah, yang katanya bisa mencahayakan wajah antara jumat ini dengan jumat depan itu. (Barangkali ini yang terlalu musykil) Kalau saja Yang Maha Menakdirkan tak mengariskan ibu dari anak kecil itu membawakan bola kasti sebagai pelipur tangis—lalu bola itu menggelinding mengenai pinggangmu. Pasti, kau tak akan dihadapkan dengan kebohongan yang lebih sulit dari mengatakan bahwa hidupmu saat ini baik-baik saja. Antara memenangkan perasaanmu padanya yang memang tak mau luntur hingga kini, atau menolaknya dengan logika bahwa masih banyak wanita lain di dunia. Dengan dalil yang sangat kau kenal: lelaki menang milih.
Beberapa saat lalu, beberapa menit sebelum kau letakkan kembali sebuah mushaf bersampul hijau daun itu ke raknya semula. Sebuah bola kasti memantul dari suatu tempat mengenai pinggang kananmu. Kau lalu berhenti di ayat ke-108 (dua ayat sebelum surah itu selesai kau daras). Seorang anak kecil setinggi rak buku yang menempel—melingkar—di tiang masjid itu pelakunya.
Wajahnya melas, ia berjarak satu meter darimu. Kau tutup mushaf itu lebih cepat dari perkiraan waktu semula. Lalu mushaf itu kau letakkan di tempat yang tak seharusnya karena tergesa memungut bola kasti seperti memungut salju yang baru saja jatuh dari ranting pohon mahoni. Kau menyunggingkan senyum terbaik setulus guru PAUD pada murid-muridnya, tepat kala kau berjongkok dan menawarkan bola itu di depannya. Tetapi, ia justru melihatmu dengan ketakutan anak usia SD yang hendak dikhitan. Sontak saja anak itu menangis kejer dan meronta memanggil mamanya.
“Eh, sudah jangan nangis. Ini bolamu, Dek, kukembalikan. Lho kan, masih utuh.” Hiburmu yang lebih garing dari puisi penyair pemula. Kau meraih lengan mungil kanannya lalu menggengenggamkan bola kasti itu padanya. Tetapi, itikad baikmu tak dihargai, justru ia melempar bola itu ke mukamu yang jelas tak sakit. Rasa sakit itu justru dibawa seorang wanita yang mengekori tangis anak kecil itu dari belakang. Wanita itu tersenyum dari jarak dua meter. Kau tak menangkap senyum itu dari bibir, melainkan mata, sebab ia mengenakan cadar. Saat itu kau belum tau bawah wanita itu adalah “dia”.
“Maaf, ya, Mas. Anak saya ini memang gak bisa anteng.” Ia menunduk hormat seperti orang Jepang saat akan menyeberang jalan melewati zebra cross, meski trafic light menyala merah. Wanita itu lebih memilih memandang wajah anak lelakinya alih-alih sedetik pun melihat pori-pori wajahmu yang mulai mengeluarkan keringat dingin. “Ayo, Dek, minta maaf dulu sama Masnya.” Suara dari balik cadarnya tak terasa asing di telingamu. Tetapi kau terlalu lihai berlatih setiap hari. Meredam kenangan tentangnya semenjak dia menikah di tempat suci ini lima tahun lalu. Karena itu, kenangan apapun tentang dia tak akan berarti apapun lagi bagimu. “Salim dulu, Dek.” Tangan kananmu menjulur tanpa bermaksud menghubungkan apapun. Tangis anak itu telah surut ketika ibunya datang. Tetapi takdir yang telah dititahkan lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan bumi baru saja terbit menunjukkankan jalan. Wanita itu meraih lengan mungil anaknya, lalu dengan jemari lentiknya ia menautkan lengan itu pada tanganmu yang kasar penuh kapal. Tiga tangan terhubung saat itu.
Dengan malu-malu dua bola mata itu akhirnya memandang penuh ke arahmu. Pandangan kalian bertemu. “Abra …?!” Ada yang tiba-tiba keropos di suatu tempat di dalam dirimu. “Vi … vi?!” Nadamu parau. Anak itu menghambur ke pelukan Vivi usai menyudahi bersalaman denganmu. “Berapa ratus tahun kita nggak ketemu, Bra….” Nada suaranya tak seformal sebelumnya. Tapi kau sadar Vivi sangat senang, mungkin bahagia. “Tungguu …” Kau ingin memotong tetapi terlambat “untuk kesekian kalinya, ya, Vi. Jangan memanggilku dengan panggilan itu. Absurb sekali dengernya.” “O iya maaf, ya, Ab.” Vivi terkekeh centil. Akhirnya ia memanggil dengan panggilan yang biasa dipakainya sewaktu SMA dulu—ketika kalian pacaran ia memanggilmu Abi.
Sebagai seorang yang telah bergelut dengan keprofesionalan. Dan terlebih, sebagai seorang lelaki yang pernah mencintainya secara total. Kau tentu tak sungkan mengajaknya ngobrol ke suatu tempat yang lebih nyaman. Walau sempat berpikir kemungkinan penolakannya lebih besar. Sekali lagi, perihal takdir. Walau pergitunganmu biasanya jarang meleset. Tetapi kalau sudah menyangkut takdir akan lain ceritanya. Vivi menerima ajakanmu, seperti seorang pedagang mengahadapi pembeli tanpa tahu dibolehkannya tawar menawar harga.
Sebuah warung sop dan soto di samping masjid. Tempat yang kau sangka tak akan menahan kalian dalam waktu lama, justru terasa bagai penjara bagimu. Kau lantas ingat berita pernikahannya, lima tahun lima bulan sebelum hari H yang lalu. Kala itu kau masih kuliah semester empat, tahun kedua ketika kau mulai memilih mata kuliah konsentrasi. Dulu, kabar pernikahannya sebatas kabar burung (bagimu) jadi kau tak menanggapinya sebagaimana omongan tetangga tentangmu. Biarkan saja, pikirmu. Akan tetapi hari yang tak diharapkan justru datang lebih cepat dari dugaan. Ada kabar burung lain yang hinggap ke telingamu, bahwa Vivi hamil duluan. Lalu pernikahannya dimajukan empat bulan lebih cepat dari perencanaan.
Undangan itu kau terima dengan tangan bergetar. Mendadak kau seperti seorang kurir yang kena begal dan paket-paket kirimanmu raib. Sejujurnya kau masih mengharapkannya kala itu. Rencanamu, setelah lulus kuliah akan melamar wanita itu. Terlalu naif memang pikiranmu, bahwa kuliah dan pacaran tak bisa berjalan beriringan. Kau lalu jatuh sakit, seperti Zainuddin yang mengetahui berita pernikahan Hayati. Tetapi tak selama dia, kau hanya butuh tiga hari saja untuk pulih. Di penghujung hari ketiga, tepat pukul sebelas lima delapan. Kau merasakan ada yang terputus di dalam dirimu. Tapi kau tak tahu pastinya. Yang teringat, kau hanya tertidur sangat pulas seperti tidurnya orang puasa setalah makan sahur. Ketika bangun, badanmu begitu bugar, seperti tanah kering tersiram hujan berkah musim semi. Dan semenjak itu kau tak pernah merasa galau lagi. Semenjak itu kau punya kemampuan baru: lihai membual. Dan yang paling gampang dan sering kau tipu, tak lain dirmu sendiri.
Ketika melihat wanita kau tak lagi merasakan getaran, rasa-rasa ingin memiliki. Bahkan di perpustakaan kampus, kau tak lagi mencari-cari penyegar mata, yang biasanya selalu mengembalikan kesadaranmu saat matamu lelah lantaran pura-pura membaca. Kau merasakan, ada sebuah pintu kayu besar di dalam hatimu tertutup. Tak ada lagi yang bisa membukanya selain dirimu sendiri. Sampai sekarang.
Angin berembus, menggoyangkan hijab hitam besar Vivi. “Di mana suamimu?” Suaramu menghentikan pergerakan tangannya menyuapkan kuah sop ayam dengan seiris wortel pada Abian, anaknya. Hanya satu detik tertahan, ia lalu tetap menyuapi anak pertamanya itu dengan lahap. “Pergi.” “Ke?” Hening. Selama beberapa saat.
“Vi?” Vivi menyeka beberapa bulir embun di balik cadarnya. “Kamu mau nggak, nikahin aku?!” Benteng yang kau bangun selama hampir enam tahun runtuh perlahan. “Jangan bercanda, Vi.” “Aku serius. Si bajingan itu udah minggat tiga tahun lalu, setahun lalu kontraknya habis. Tetapi urung pulang dengan dalih karantina wilayah. Tetapi saat kubajak akun sosmednya, ia justru melipir dengan wanita lain. Aku mencoba menelepon, akan mengajukan khuluk, berulang kali. Tetapi nomorku sepertinya telah diblok olehnya. Sampai kapan pun aku nggak akan memaafkan bedebah jahannam itu. Enam tahun lalu ia merenggut mahkotaku, memaksa aku berpisah denganmu selamanya, terpaksa aku menikah dengannya dengan dalih menutup aib.”
Suara sesenggukan yang tak pernah ingin kau dengar menggema ke tiap sudut warung yang sepi, beradu dengan bising kipas angin di pojok ruangan. Kau lalu mengambilkannya tisu, bahkan kau sendiri yang menyapu air matanya. Bahkan vivi sengaja melonggarkan ikatan cadarnya agar terlepas. Wajah yang dulu memotivasimu berangkat sekolah tak berubah. Atau mungkin lebih cantik sebab terlampau lama tak kau lihat.
“Keputusanku udah bulat, Ham. Dan aku tahu kamu masih cinta kan, sama aku?” kalimat terakhirnya kauamini. Handle pintu kayu di dalam hatimu bergetar. “Tapi Vi ….” “Nggak ada tapi-tapi, Ham. Memang seharusnya aku dulu nikah sama kamu. Aku tahu itu. Aku merasaakan jika aku adalah rumah bagimu dan kau adalah penghuni yang selalu kunanti kepulangannya. Aku telah merasakan itu bahkan sejak dulu kita pacaran. Firasatku nggak pernah salah Ab.” Lagi-lagi. Kalimat terakhir ujarannya kauamini.
“Tapi, Vi ….” “Tapi kenapa?” “Aku sudah tak tertarik lagi pada wanita.”
Izinkan aku bertanya mewakili para pembaca yang kebingungan dengan kalimat terakhirmu itu. Apakah kali ini kau masih membual?
Klaten, Maret 2021
Cerpen Karangan: Adnan Jadi Al Islam Blog / Facebook: Senju Adnan Hashirama