Subuh ini udara segar telah masuk ke dalam sela-sela ventilasi kamar. Serasa malas bangun dari tempat tidur. Persiapan untuk kembali ke pondok pesantren membuat aku semakin malas. Masih tak ingin berpisah dengan handphone kesayangan.
“Vina ayo keluar dari kamar, kamu pagi ini harus kembali ke pondok nduk,” panggil Umiku. “Iya Umi, sebentar lagi Vina keluar,” dengan malasnya kuambil ransel kemudian menghampiri Abah dan Umi untuk berpamitan.
“Nanti diantar Kang Hadi, Abah dan Umi tidak bisa ikut” kata Abah padaku. “Yah kenapa?” renggekku.
Abah dan Umi mengantar aku ke teras. “Hari ini Abah dan Umi akan kedatangan tamu nduk, dan tidak bisa ditinggal!” penjelasan Abah kepadaku. “Baiklah Abah-Umi, Vina pamit dulu Assalamualaikum” mencium tangan Abah dan Umi. “Waalaikumsalam” Jawab Abah dan Umi.
Setiba di depan pesantren, teringat dengan pesan Mas Hanif yang meminta untuk meneleponnya jika sudah sampai di pesantren. Aku mengenal Mas Hanif sejak satu bulan yang lalu. Kami berdua bertemu saat menghadiri acara Gebyar Budaya Islami di Semarang. Kemudian kami bertukar nomor telepon. Sejak saat itu kami menjalin komunikasi lewat handphone.
“Halo Assalamualaikum, Mas Hanif?” “Waalaikumsalam, Vina,” suara di sebrang sana. “Mas Hanif, Vina pamit dulu ya, mau masuk pondok,” pamitku padanya. “Iya hati-hati, tapi kok rasanya masih kangen ya, hehe,” candanya. “Udah ah jangan bercanda terus, Davina mau masuk. Assalamualaikum,” dengan rasa sebal aku menutup telepon Mas Hanif. “Waalaikumsalam,” kecewa Hanif dengan jawaban Davina yang terburu-buru.
Setelah usai menelepon Mas Hanif, aku segera bergegas masuk pesantren. Setelah meraih ransel, aku teringat dengan bingkisan yang ada di dalamnya. Bingkisan ini sudah aku siapkan seminggu sebelum kembali ke pesantren. Bingkisan ini akan aku berikan untuk Umi dengan menitipkannya kepada Kang Hadi.
“Ini Kang, tolong berikan kepada Umi,” kuberikan Handphone dan sebuah bingkisan untuk Umi. “Iya neng Vina, nanti saya sampaikan kepada Umi,” jawab Kang Hadi. “Iya terima kasih Kang, Vina masuk dulu”
Malam ini serasa sulit untuk memejamkan mata, masih teringat dengan gurauan Mas Hanif tadi siang. Disisi lain aku masih bertanya-tanya, apa mungkin ini yang dinamakan dengan… ah tidak, mikir apa aku ini. Mas Hanif saja tidak memikirkanku, toh mungkin dia sudah mempunyai seseorang yang khusus di hatinya. Tadi siang juga hanya gurauan.
Di seberang sana Hanif selalu menunggu kepulangan Davina. Dia bingung bagaimana caranya untuk mengutarakan isi hatinya kepada Davina, sedangkan Davina tidak ingin menjalin hubungan resmi.
Tak terasa enam bulan telah berlalu, esok lusa adalah liburan pesantren. Aku sudah merindukan Abah dan Umi. Tanpa aku sadari aku pun merindukan Mas Hanif. Santriwati kamar Al-Husna yang bernama Davina Zaila Hamidah telah ditunggu keluarganya di ruang tamu, akhinya speaker penjaga ruang tamu memanggilku.
“Assalamualaikum, Abah Umi, maaf sudah menunggu lama” menyapa orangtuaku. “Waalaikumsala, iya nduk tidak apa-apa, mari kita segera pulang, ada hal yang akan Abah sampaikan padamu”.
Sesampainya di rumah, aku mengganti pakaianku dengan baju santai dan bergegas untuk menuju ruang tamu. Abah telah menanti di ruang keluarga dengan duduk di atas sofa dan memulai pembicaraan.
“Iya begini, nduk, langsung saja,” Abah memulai pembicaraan. “iya, Bah,” jawabku. “Abah dan Umi sudah sepakat untuk menjodohkanmu dengan putra teman Abah di pesanten dulu, namanya Gus Anam. Tapi jika itu kamu bersedia, bagaimana, nduk?” Mendengar penjelasan Abah rasanya aku ingin menjerit dan pergi untuk menghindari dari hal itu, kaget bukan main aku mendengarnya.
“Sebelumnya Vina minta maaf Bah, jikalau diizinkan haruskan Vina menjawabnya sekarang?” bingung aku menjawabnya. “Iya, nduk, besok lusa kamu bisa menjawabnya,” kata Abah. “Terima kasih Abah, Vina kembali ke kamar dulu”.
Di kamar perasaanku jadi bingung dan gusar. Aku butuh seseorang untuk menenangkan hatiku. Sampai akhirnya aku teringat dengan Mas Hanif, segera aku menghubunginya. “Assalamualaikum,” sapa Mas Hanif di sebrang sana. “Waalaikumsalam, Mas Hanif” jawabku. “Iya Davina, kamu sudah pulang?” tanya Mas Hanif. “Iya Mas, Alhamdulillah” sejenak kami saling berdiam diri.
“Mas Hanif mau cerita sedikit, sebenarnya mas mengagumi dan terpesona dengan keindahan bunga di seberang jalan sana. Saat itu, mas ingin sekali memiliki dan menjaganya. Namun lidahku tiba-tiba terasa kaku untuk bertanya siapa gerangan pemilik bunga tersebut, tapi sampai sekarang tidak kunjung kutemukan, bunga itu adalah kamu Davina! Aku menyayangimu dan mencintaimu, aku ingin kamu menjadi ibu dari anak-anakku kelak” Aku terperanjat kaget, seakan dunia ikut tergeser dari tempatnya.
“Tapi maaf, Mas Hanif, Davina tak mengerti harus menjawab apa. Semua sudah terlambat mas, sebenarnya Davina sudah dijodohkan dengan putra teman Abah di pesantren dulu dan Davina tak bisa menolaknya” bagaimanapun aku harus tega mengatakan itu kepada mas Hanif. Handphone seketika mati dan tak ada suara yang menjawab. Mas Hanif serasa terhantam ombak yang akan menenggelamkannya dalam lautan.
Malam ini Mas Hanif mendapat kabar dari rumah untuk segera pulang. Ia harus menggantikan kedudukan ayahnya di pesantren. “Abahmu sakit-sakitan, Nak, dan kakakmu juga tidak bisa menggantikan Abah karena dia juga sedang mengasuh pesantrennya di Magelang. Harapan Abah dan Umi hanya kamu, Nak” pesan Umi Hanif tadi malam membuyarkan lamunannya.
Pemilik nama Hanif Arkan Khairul Anam sebenarnya adalah putra kyai besar di Yogyakarta. Dia memang seorang Gus yang paling tampan dan pintar dari kakak-kakaknya. Setelah sampai di rumah, ternyata dia telah dijodohkan dengan putri teman Abahnya di pesantren dulu, putri kayai Hasan dari Semarang.
“Ya Allah, nduk kamu kenapa? Cerita sama Umi,” Umi kaget melihatku menangis tersedu-sedu di atas tempat tidurku. “Tidak Umi, Vina tidak apa-apa. Hanya saja…” tidak kuat aku menahan air mata yang keluar. “Apakah karena perjodohan?” tanya Umi. Aku hanya mengganggukkan kepala. Umi tetap memaksaku untuk bercerita, karena Umi tidak tega jika melihat putrinya bersedih. Aku pun mulai bercerita dari awal hingga akhir.
“Tapi nduk, apakah kamu tidak merasa tersakiti?” tanya Umi kepadaku. “Tidak Umi, Vina ingin Abah dan Umi bahagia,” jawabku. “Kamu sudah pikirkan baik-baik nduk?” tanya Umi lagi. “Sudah Umi, insyaallah besok lusa Vina akan memberi jawaban,” mantabku.
Hari ini adalah hari di mana aku harus memberi keputusan. “Aku menerima perjodohan ini, tapi setelah Davina menghatamkan Qur’an dan mengabdi di pesantren selama satu tahun,” jawabku tentang tawaran Abah kemarin. “Alhamdulillah, baik Nak” jawab Abah dengan raut wajah yang penuh kebahagiaan. “Davina percaya dengan pilihan Abah dan Umi, Abah dan Umi tentu memberikan yang terbaik untuk Davina” kucium tangan Abah dan Umi sebagai tanda terima kasih. “Iya, nduk, untuk putri kesayangan Abah dan Umi haruslah yang terbaik,” jawab Abah.
Dua minggu selanjutnya, Abah dan Umi berangkat ke Yogyakarta untuk menemui teman Abah yang sekaligus akan menjadi besannya. Abah menyampaikan kabar baik tentang penerimaanku perihal perjodohan itu dan menentukan tanggal pernikahanku. Aku tidak ikut pergi ke sana, karena aku sudah mantab dan percaya akan pilihan Abah Umi dan aku juga harus segera kembali ke pondok pesantren.
Tak terasa satu tahun berlalu, kepulangaku telah ditunggu oleh banyak orang, termasuk Abah dan Umi. “Alhamdulillah Davina kamu sudah pulang, Umi merindukanmu,” sapa Umi dengan memelukku. “Iya Umi, Vina juga sangat merindukan Umi dan Abah,” jawabku dengan meneteskan air mata, karena hari esok adalah hari pernikahanku. “Bagaimana nduk persiapan untuk besok?” tanya Abah padaku. “Insyaallah Bah, Vina sudah siap,” dengan mantab aku menjawab pertanyaan Abah.
Hari pernikahan tiba, kebahagiaan tersebar di seluruh sudut ruangan. Umi menjemputku di kamar. “Davina, pengantin putra sudah datang Nak, mari kita keluar” panggil Umi. “Baik, Mi” dengan senyum aku membalas pertanyaan Umi.
Para tamu undangan dan keluarga calon suamiku seakan terperangah dengan kedatanganku. Kutanggalkan senyum terbaikku kepada mereka, tapi mengapa aku tak melihat calon suamiku dan hanya calon mertuaku yang ada di tempat.
Akad nikah dimulai, aku melihat calon suamiku dari kejauhan. Aku benar-benar tak berani untuk menatap wajahnya. Saat ku dengar dia mengucap basmalah, terperanjat kaget dan ingin aku memandang wajahnya saat dia mengucapkan namaku. “Davina Zaila Hamidah” dia terhenti sejenak dan kami saling pandang. Tetes air mataku semakin deras, bukan artinya kesedihanku bertambah, tapi kebahagiaan yang sangat mendalam kurasa. Selama ini Gus Anam adalah Mas Hanif.
SELESAI
Cerpen Karangan: Riska Dyah Oktaviani Blog / Facebook: Riska Dyah Oktaviani
Riska Dyah Oktaviani. Beralamat di Desa Jimbaran, Rt 03 Rw 01, Kecamatan Margorejo, Kabupaten Pati. Berdomisili di Desa Pucangan, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo. (a) Instagram: @riskadyaho_ (b) Facebook: Riska Dyah Oktaviani (c) Twitter: @riskadyaho. Mahasiswa Program Studi Tadris Bahasa Indonesia, IAIN Surakarta. Bahwa hidup harus menerima penerimaan yang indah, tak peduli lewat apa penerimaan itu datang, tak masalah meski lewat keadaan yang sedih dan menyakitkan.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 8 Mei 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com Maaf kakak sempet off beberapa hari karena harus bolak balik ICU, ada anggota keluarga yang sakit meski pada akhirnya harus berpulang… stay safe ya guys!