Berusaha tegar saat hati masih merasa gusar, berusaha melepas meski diri masih belum ikhlas, berusaha melupakan meski ada keinginan untuk bertahan, dari membangun sebuah kepercayaan menjadi cara terbaik untuk merelakan dengan… Saat ini aku baru saja menduduki bangku kelas 1 Madrasah Aliyah selaras dengan kelas 10 Sekolah Menengah Atas dan sederajat, lebih tepatnya sudah memasuki minggu ketiga aku bersekolah setelah liburan Hari Raya Idul Fitri, Senja baru saja menyapa kami, para penduduk bumi yang menyukainya. Tak terkecuali aku, aku sangat menyukai senja, cantik, indah, membahagiakan, tak lain karena namanku juga memiliki makna selaras dengan senja yang kini sedang kutatap dari depan kamar asramaku sayup sayup bersamaan dengan angin sore yang bersemilir, adzan maghrib mulai berkumandang, suara muadzinnya terdengar begitu merdu.
“Suaranya merdu banget ya,”. seraya menepuk punggung alina, temanku yang sedang asyik melamun. Alina terkejut “Syafa, yaa Allah ngagetin aja ih… Iyaa merdu banget. Tapi kok didenger denger asing ya, kayaknya orang luar deh”. gumamnya sambil menimpali argumenku.
Sejenak kami berdua saling mengadai-andai memiliki seorang imam sebagai pemimpin keluarga seperti muadzin yang bersuara merdu itu, bayangan indah kami dengan spontan dibuyarkan oleh pengurus keamanan yang sedang berkeliling asrama untuk mengingatkan para santri untuk segera bergegas menuju ke Masjid untuk melakukan sholat berjama’ah. Memang iya dulu semua santri yang ada di Pondok Pesantrenku selalu melakukan sholat jama’ah di masjid antara santri putra maupun putri, namun sekarang setelah bagian belakang asrama putri direnovasi dan disulap menjadi sebuah Mushollah, bagi santri putri tidak lagi diperkenankan untuk melakukan sholat jama’ah di Masjid melainkan berjama’ah di Mushollah.
Waktu sudah menujukkan pukul 19.30 WIB saatnya seluruh santri baik santri putra maupun santri putri melakukan kegiatan rutinitas yang dijalani dan dianggap wajib saat masih menyandang gelar santri dalam dirinya. Aku beserta teman-temanku bergegas menuju kelas kami yang jaraknya lumayan jauh ibarat sudut bangunan pondok sebelah kanan menuju sudut bangunan pondok sebelah kiri, tepatnya didepan gerbang asrama putra, disamping Mini Market Pondok Pesantren, tempat untuk berbelanja di dalam asrama. Kelasku saat itu menduduki 3 Wustho, kelas pertengahan di Madrasah Diniyah Pondok Pesantrenku, dan setelah itu kami satu kelas di wisudah untuk melanjutkan ke tahapan kelas Ulya.
Gemuruh angin malam sepoi-sepoi, beriringan dengan lantunan nadhom yang saling bersahutan dari berbagai kelas yang ada di Madrasah Diniyah Pondok Pesantrenku. Untuk nadhom sendiri di Pondok Pesantrenku di kelompokkan menjadi beberapa tahapan sesuai dengan kelas yang diampu, ada nadhom jurumiyah, imrithi, dan alfiyah.
Santri di pondok pesantrenku juga tidak jauh beda dari santri lainnya, saat nadhoman ada tipe santri yang nurut banget sama aturan Madrasah Diniyah, bawa Majmu’ nadhom sambil tekun bacanya, ada yang Cuma cengir cengir baru datang, ada yang nggibah belum mulai kelasnya eh kepala satu pondok udah dighibahin, dan macem macem deh ngangengin suasananya, setelah nadhoman berakhir, saatnya menunggu Ustadz/dzah datang atau kalau enggak pasti ada badalnya (pengganti), karena ustadznya tak kunjung datang kuberanikan bertanya pada teman putra di kelasku tentang siapa yang adzan tadi maghrib demi terlepas dari beban rasa ingin tahu…
Seraya menengok kebelakang “hei, mau nanya nih…” Arka meyahutiku sambil asyik menembel kitabnya, karena keseringan ditinggal meraih mimpi disaat yang tidak tepat, “Iya, mau nanya apa fa? Apa mau bantu nembelin kitab ni masih banyak” dengan menyodorkan kitab tebal Tafsir Jalalainnya. “enggak ih, enak aja. Yang tidur siapa yang tanggung jawab siapa?, aku mau nanya tadi yang adzan maghrib orang luar ya kok asing suaranya?” “Oalah.. gitu ta, enggak dia santri baru temen seangkatan kita namanya Hasan Al Ghifari, hayoo ngaku kamu suka ya fa?”
Sambil menggodaku dia berhenti menembel kitabnya dan berpindah duduk di seberang bangkuku karena sepertinya Ustadz kami berhalangan hadir dan belum ada tanda tanda ustadz badal menghampiri kelas kami kuhabiskan beberapa menit mendengar cerita dari Arka tentang Hasan. “Sini sini kuceritain dia anaknya sopan banget fa, baik, pendiem, suaranya beh… merdu banget suara aku aja kalah sama dia”. “idih.. percaya diri banget kamu ka, emang pernah suara kamu bagus, ngomong aja kadang udah bikin telinga sakit”. “oh gitu yaa ya uda lah bikin hati temen seneng dikit napa. Lanjut nih, dia pindahan dari Pondok Pesantren Darul Amanah, urusan kenapa dia pindah kesini ga usah ditanyain, kepo kamu kebangetan fa…” sambil menertawakan aku dengan puas. “Emm… gitu ya udah iya aku nggak kepo, oke makasi udah mau njelasin meskipun nyeselin juga”. “okee samasama” sahutnya sambil pindah ke tempat duduknya semula.
Ternyata kelasku memang benar benar tidak ada Ustadz maupun Ustadzah badalnya sampai lonceng sebagai tanda berakhirnya jam madrasah diniyah selesai. Beranjaklah aku dan Maheera menuju asrama.
Kususuri jalan dengan pohon rindang yang menjulang, bersama dengan derap langkah santriwan santriwati lainnya, desir angin yang memeluk erat tubuh kami serta gemuruh dari langit sebagai penanda bahwa langit ingin membasahi bumi, langit memang tidak pernah menyadari siapa saja dan apa saja yang terbasai karena guyupannya, dari situ kita belajar bahwa mungkin saja perkataan, perbuatan kita dengan tanpa kita sadari bisa melukai hati siapapun…
“Fa, habis ini ngapain? temenin aku nyuci yok…” pinta Maheera sambi sedikit merengek. “waduu.. kayaknya ngga bisa deh, aku udah janji tadi sama Azkia buat bantuin dia nugas.” “oh gitu.. okelaa apasi maknanya saya buat kamu kalo bersanding sama Azkia” canda Maheera kepadaku Sedekat asap yang meruap dari didihan air, sedekat aroma khas kopi panas dengan hidung, memang keduanya dekat dalam benakku namun lambat laun bisa menjauh sejauh angin membawanya kemanapun ia pergi.
Azkia, ia adalah adik kelas satu tingkat lebih rendah dariku namun ketika ditilik dari usia dia dua tahun lebih muda, parasnya yang cantik membuat siapa saja yang melihatnya pasti terpesona, oh iya cantik memang. Namun tidak hanya dia yang cantik banyak yang cantik seperti dirinya namun tidak ada yang baik sepertinya, dari sudut pandangku karena aku menganggapnya sudah tidak ada jarak bagi kami antara kakak kelas dan adik kelas, aku menganggapnya sama berat seperti aku menganggap maheera, seberat rindu milea pada dilan, seberat kekaguman zulaikha kepada Yusuf.
Kami telah dekat sejak Azkia duduk di kelas 8 Sekolah Menengah Pertama dan saat itu aku duduk di kelas 9. Biasalah, namanya juga santri gimana sih kedekatan kita, karena kami disini tidak terpaut dengan gadget (handphone) maka waktu kebanyakan habis dikikis oleh sebuah kumpulan penuh candaan, gelar tawa, tangis, dan kadang hanya iba yang menyapa, tanpa saran atau kritik.
Azkia adalah anak yang cantik, kalem, dan selalu kukuh terhadap apa yang ia inginkan yang paling penting ia selalu menjadi teman setia dalam istiqomahku ketika sedang berada dalam kesepian dan butuh tempat untuk meluapkan segala yang menggumam dalam hati. Entah sampai kapan kami sedekat ini hanya takdir yang bisa menjawab…
Secerca harapan dan Do’a mungkin akan hanya terlontar lalu tersampaikan ke langit, kini ada banyak kata yang masih kupendam yang tak sempat terucap entah sudah menjadi tak sempat atau belum lebih tepatnya terucap secara nyata, namun percayalah harapan dan kesemogaanku akan selalu bermetamorfosa, engkau yang pertama kali kukenal lewat merdu dan renyahnya kumandang Adzan, engkau yang pertama kali kusapa dengan penuh kegugupan, dan engkau yang pertama kali membuat aku tersenyum dan terbuai kagum, namun kemudian membuat aku sadar untuk belajar menjadi tegar, engkau yang pernah menguntaikan kata “sesuatu yang diawali dengan belajar akan berjalan dengan tulus” dari belajar bertahan berubah menjadi belajar untuk mengikhlaskan…
Cerpen Karangan: Taschiyatul Hikmiyah
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 12 Mei 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com