Hasan Al Ghifari, satu nama yang membuat aku menjadi pandai berkata-kata, dari aku yang tidak menilik sedikitpun bagaimana konsep menulis dan kepenulisan yang sebenarnya, menjadi aku seperti saat ini, seseorang yang lebih cenderung takut untuk memulai sesuatu jika tidak ada dorongan dan seseorang yang sudah beberapa kali medapat apresiasi atas kepenulisaanya, tidak sedikit hal yang ia berikan kepadaku saat kedekatan kita mulai merambah, iya merambah menjadi kedekatan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, aku hanya mengaguminya dan semua hanya kulontarkan pada sahabatnya, Arka.
Namun takdir telah menjalankan misinya untuk mempersatukan kami dengan kedekatan yang lebih dari sekedar seorang teman, 1 tahun lebih 4 bulan adalah waktu dimana menjadi saksi kedekatan kita aku mulai mengenalnya lebih jauh begitupun sebaliknya, tak kusangkan ia juga memiliki adik yang namanya senada dengan Azkia bedanya Azkiaku bernama lengkap Azkia Maura, sedangkan Azkianya bernama lengkap Azkia Azani, dengan semangat ketika ada waktu senggang kami saling berebut menceritakan Azkia kami satu sama lain, ternyata Azkianya sangat cantik, mirip dengan artis cilik Hadijah Shahab, pemeran lilu si Robot merah dalam sinteron Tangan tangan mungil yang sempat marak di tahun 2013 di chanel TV nasional. Beberapa kali ketika kami sedang liburan pondok pesantren aku diperdengarkan dan diperlihatkan olehnya kefashihan Azkianya dalam membaca ayat suci Al Qur’an di usianya yang masih kecil.
Hasan dididik oleh keluargnya menjadi anak yang sholeh yang tak lain dukungannya berupa menempatkan Hasan di pondok pesantren sejak ia dinyatakan lulus dari bangku sekolah dasar sampai saat ini tepatnya ia masih mengabdikan diri di Pondok pesantren kami, ia mendedikasikan dirinya tidak hanya raganya, namun juga hatinya, karena ia adalah anak yang rajin kerap kali ia menjadi tangan kanan para Ustadz sampai Bu Nyai sekalipun meski sekedar untuk membersihkan selokan Ndalem (istilah jawa: Rumah), berbelanja ke Pasar, sampai membadalinya (menggantikan) untuk mengajar.
Lahir dalam keluarga yang sederhana membuat ia memiliki prinsip hidup yang membuat aku iri dengannya, menjadi anak pertama dan juga sebagai anak laki laki menjadi alasan mengapa didikan orangtua terhadap dirinya berbeda dengan didikan orangtuanya terhadap Azkia. Keras, selalu jujur, bertanggung jawab, semangat, dan hanya mengaharap Ridho Allah SWT adalah prinsip yang selalu ia pegang.
Keras bukan berarti harus diterapkan dengan kekerasan, menjadi tegas bukan alasan untuk selalu memberikan belas, belas asih. Pengajaran untuk selalu berkata dan berperilaku jujur bukan berarti tidak pernah berbohong. Bertanggung jawab bukan berarti label untuk menjadi pengecut tersisihkan, dibalik kata semangat bukan semata hanya untuk penggiat namun bukan berarti tidak pernah sambat (mengeluh), semuanya diajarkan hanya karena kesadaran bahwa akhlak dari keturunan yang kita harapakan harus dibentuk, jika kita menginginkan anak turun kita memiliki akhlaqul Karimah, akhlak yang baik, maka sepandai pandainya kita membentuk akhlak dalam kepribadiannya, karena akhlak bukan hereditas, tidak dapat dipastikan didapat diklaim turunan orang baik pasti memiliki akhlak yang baik, begitupun sebaliknya. Oleh karena itu semua didikan dan ajaran dari orangtuanya semata hanya menginginkan kebaikan darinya.
Seperti hujan yang tidak pernah sadar kepada siapa dan apa yang ia basahi saat ia mengguyur bumi dengan airnya, seperti api yang pernah tau sepanas apa saat tangan menyentuhnya, dan seperti kupu kupu yang pernah tau seindah apa dan dari sisi mana ia dikagumi…
Seperti saat itu juga aku tidak sadar bahwa Azkiaku juga menaruh hati pada Hasan, iya dapat dirasional bahwa beberapa santri memang juga sama sepertiku menggilai suaranya, mengagumi parasnya, mencintai akhlaknya, sampai menyukai hal hal yang ia lakukan, namun sayangnya Azkia lebih dulu mengetahui rumor bahwa aku telah dekat dengan Hasan, jadi dia seolah mengelak dan menyangkal rasa itu. Bahkan kami berdua, aku dan Azkia kerap kali bercengkrama satu sama lain aku menceritakan Hasan padanya begitupun sebaliknya karena Azkia kebetulan satu kelas Madrasah Diniyah dengan Hasan, namun tidak hanya sampai itu bahasan kami semuanya luas seolah sudah tidak ada batas seperti yang sudah kuceritakan diawal kali, lambat laun Azkia berkata bahwa dia menyukai kakak kelas kami satu tingkat lebih tinggi dari aku lebih tepatnya.
“Mbak,”. sapa Azkia memulai pembicaraan diantara kami. “Iyaaa? Apa topik nggibah kita kali ini eheheheh” sahutku sambil tertawa “emmm apa ya mbak, oh iyaa aku mau cerita kalo Mas Hilman suka sama aku kata temen temnnya, aku malu deh.” sambil mengernyitkan dahinya karena kesal. “eheemmm, ceilah Azkia udah mau aja, Mas Hilam rajin tau, pendiem, not bad pula” godaku sambil menyenggol pundak Azkia “bukan gitunya mbak.. masalahnya emang iya bener atau enggak dulu” “oh gituu, gampanglah kan Hasan deket tuh sama Mas Hilman nanti tak tanyain terus suruh ngeresmiin deh, udah yaa aku mau nyuci dulu numpuk banget” saranku seolah menenangkan Azkia dan beranjak meninggalkannya sendiri di depan kamarnya.
Waktu begitu cepat berlalu, hari demi hari telah aku lewati, mengukir sejuta harapan, seribu cita, semuanya sudah dikemas rapi dalam balutan kasih sayang, ketulusan, namun secepat kilat sirna… seperti dihantam ombak pantai, seperti disambar kilat, seperti dihempas oleh angin. hampa, sudah seperti tidak ada keinginan. Takut, takut untuk kembali menaruh rasa, takut kembali percaya, takut untuk kembali merajut harapan, takut untuk kembali melukiskan kenangan, takut untuk kembali merasakan kecewa, takut jika hanya kesiaan dan kekecewaan yang akan kuraih, yang akan kutuai, yang akan kudapat, serta masih banyak ketakutan ketakutan yang tidak bisa kutoreh dengan tinta hitam ini.
Menjadi pelangi untuk orang yang buta warna adalah sebuah kesalahan, menjadi mentari pagi bagi orang yang menyukai senja juga kesalahan karena secepat kita muncul secepat itu pula senja meruap dari singgasananya, menjadi pelukan hangat bagi orang yang menyukai dingin masih juga sebuah kesalahan, lalu dimana arti kebenaran? dimana arti sebuah kepercayaan? dimana rasa ketulusan harus berpijak? serta dimana rasa cinta harus berpihak, agar tidak menjadi sebuah kesalahan.
Iya, benar semuanya hanyalah kesalahan jika kau memilih orang yang salah, semuanya hanya akan menjadi kesalahan jika kau memberikannya diwaktu yang tidak tepat, semua hanya-hanya akan menjadi kesalahan jika tidak ada kepercayaan yang terikat, semua hanya akan menjadi kesalahan jika tidak ingin untuk saling mengerti, memahami…
Aku, Kamu dan Dia adalah kita. Orang yang sama, sama sama manusia, sama sama memiliki rasa, sama sama ingin dikasihi, sama sama ingin dibalas perasaannya, sama sama ingin saling dipercaya, sama sama ingin saling dimengerti, sama sama ingin memiliki namun sama sama juga tidak ingin untuk berbagi, semua sama persis sehingga momen yang tidak kita inginkan bersama ada, muncul, berwujud secara nyata, tidak bisa dipungkiri, sulit untuk dihindari, semuanya telah terjadi. ibarat pepatah nasi telah menjadi bubur, aku hanyalah salah satu diantara kita yang tidak ingin menyalahkan siapapun, aku hanyalah diriku sendiri yang sadar akan semua kekuranganku dimata orang yang tidak memiliki ketulusan terhadap pandangannya untukku, aku memiliki rasa yang sama dengannya mencintaimu tanpa batas, ingin kau perlakukan dengan pantas, dan ingin kau pandang secara seiras, yah itu semua hanya keinginan, kini semuanya hanya menjadi kenangan, awal cerita beserta fasenya begitupun akhirnya yang sama sekali tidak pernah terduga dalam benakku, benakmu, dan benaknya.
Semuanya telah menjadi pelajaran yang sangat berarti, memberi makna dalam kehidupan ini, menjadikan aku tau dimana seharusnya menaruh hati, dan biarkan harapan serta ucapan ucapan yang mungkin belum sempat terucap melalui kata, kini kata hati yang akan menyampaikan dengan penuh kemauan meski terpaksa agar sampai ke langit, serta biarkan aku menjadi seseorang yang tidak pernah bisa memangkas rindu dan hanya Do’a yang menjadi wakilnya, kamu adalah lelaki terhebat setelah Ayah yang pernah kukenal, harapanmu mungkin kita dapat baik baik saja menjalani esok hari setelah semuanya terjadi, namun aku belum siap menjadi payung kesedihanmu untuk yang kedua kalinya, aku tidak siap jika semua ketulusanku kembali kau sia siakan, biarkan aku kembali menjadi sosok yang mengenalmu seperti sedia kala yang menjadikan semuanya seolah tidak pernah ada, mengenalmu tanpa ada rasa. Dia adalah adik perempuan terbaik bagiku setelah Ashfa, Kalian adalah aktor penting dalam caraku memaknai kehidupan, memahami ketulusan, serta melalui fase terberat yang belum pernah kulalui serta kesanggupan hanya menjadi lambaian keputus asaan, Mengikhlaskan…
Cerita Pendek Adaptasi Dari Teori Interaksionisme Simbolik Oleh George Herbert Mead.
Cerpen Karangan: Taschiyatul Hikmiyah
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 12 Mei 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com